M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.(foto ajiesukma/JakSat)

by M Rizal Fadillah

Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Hukum Ketatanegaraan kita menempatkan partai politik sebagai wadah untuk proses pengajuan Calon Presiden. Dengan angka Presidensial Threshold yang cukup tinggi menyebabkan koalisi antar partai terpaksa dibangun.

Berbeda dengan Calon Kepala Daerah yang memungkinkan adanya calon independen yang diajukan dari luar partai, maka untuk calon Presiden tidak dikenal calon independen tersebut. Pengajuan Calon Presiden/Wakil Presiden adalah domein partai politik. Bukan Ormas atau lembaga lain.

Menarik saat ini Organisasi Kemasyarakatan NU diramaikan media dengan agenda Konvensi calon Presiden. Sejumlah tokoh baik Ketua Umum, Menteri, akademisi, maupun lainnya yang terafiliasi dengan organisasi ini ditampilkan sebagai kandidat. Diisukan panitia pun dibentuk yang dikenal dengan sebutan “Panitia 9” entah merujuk kepada Panitia 9 Piagam Jakarta atau “Wali Songo”. Konvensi yang viral di media tersebut kebenarannya telah dibantah oleh PBNU.

NU mesti mengusut pembuat berita dan poster viral tersebut. Orang bisa berfikir macam-macam. Asumsinya bisa saja ada gagasan yang kemudian bocor dan diviralkan. Nantinya pilihan hasil Konvensi akan disalurkan kepada PKB atau ditawarkan kepada partai politik lain. Atau ada yang mengaitkan dengan aspek historis bahwa dulu pernah ada Partai NU, jangan-jangan hasrat politik membawa pada deklarasi Partai NU kembali.

Sementara Muhammadiyah dan Ormas lain tidak muncul isu melakukan Konvensi atau apapun namanya untuk calon Presiden. Sebagainana NU, Muhammadiyah juga telah banyak makan asam garam dalam berpolitik atau berkontribusi dalam membangun negara. Tokoh dan pandangan politiknya turut dalam memberi warna kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ormas mesti menggariskan soal pembagian tugas dan kewenangan. Kompetensi berpolitik praktis menjadi ranah partai politik dan organisasi politik lainnya. Ormas khususnya Ormas keagamaan diharapkan tetap fokus pada berbagai amal usaha di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, maupun sosial kemasyarakatan lainnya. Tanpa harus mengabaikan aspek pengaruh politik terhadap pengambilan keputusan politik tentunya.

Dalam iklim politik yang pragmatik dan transaksional saat ini, konvensi bukan penentu dan jaminan. Tokoh politik “juara” dalam konvensi belum tentu diterima oleh partai atau koalisi partai politik. Organisasi Kemasyarakatan tidak boleh ikut terjebak pada politik pragmatik dan transaksional tersebut.

Rakyat sudah faham dan bosan dengan tipu-tipu politik termasuk konvensi yang kadang juga pura-pura demokratis. Partai politik sejak dini telah memiliki calon Presiden sendiri. Buruknya Konvensi adalah menjadi ajang bisnis yang dikenal dengan politik mahar. Untuk berjuang mendapatkan kendaraan kandidat harus siap membayar. Konvensi pun menjadi kamuflase dari seleksi figur politik.

Jika ingin ada perubahan pada sistem politik maka hal mendesak yang mesti dilakukan saat ini adalah demokratisasi di lingkungan partai politik itu sendiri. Oligarkhi partai harus diubah, apalagi jika kekuasaan tunggal berada di tangan Ketua Umum. Ini adalah penggeseran bahkan penghianatan atas prinsip demokrasi.

Segera evaluasi, koreksi, dan reformasi Ketum-krasi.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 17 Juni 2021