Oleh Tarmidzi Yusuf
Pegiat Dakwah dan Sosial

Perdebatan di ruang publik masih mewarnai tentang covid. Ada yang percaya 100%. Ada yang setengah percaya setengah tidak percaya. Ada pula yang tidak percaya sama sekali. Waspada harus. Paranoid jangan. Tengah-tengah aja.

Menariknya, yang tidak percaya itu terbilang tidak sedikit. Banyak. Mereka jarang bermasker tapi tidak terpapar. Gaul dan berinteraksi seperti biasa. Layaknya bukan zaman wabah corona. Tengoklah para pedagang keliling atau pedagang di pasar tradisional.

Tragisnya. Yang full pakai masker dan social distancing secara ketat. Eh malah terpapar covid. Bahkan sampai meninggal dunia. Kasusnya? Banyak.

Yang agak heran. Seringkali kita melihat suami istri yang selalu nempel bagai perangko, namun saat berkendaraan, dua-duanya bermasker. Maaf cuma nanya doang, emang ketika diranjang pake masker dan APD?

Lebih aneh lagi. Sendirian berkendaraan, sepanjang jalan pakai masker. Tidak _eungap_ gitu? Memang virusnya gentayangan di dalam mobil dan nempel di helm? Mengikuti kemana pergi.

Dulu, sebelum merebak covad covid. Orang demam, sakit tenggorokan atau batuk-batuk biasa-biasa aja tuh. Ada penyakit keren baru, hilang penciuman. Tambah parno. Akibat hidungnya dikorek-korek kali? _Wallahua’lam_

Sekarang, banyak diantara kita, paranoid. Lihat orang batuk sedikit seperti lihat kuntilanak. Kompak. Semua mata tertuju kepada yang batuk.

Bagi yang batuk, demam dan flu dilarang ke masjid. Padahal itu penyakit pasaran. Belum apa-apa sudah ‘tertuduh’ covid, padahal belum tentu. Hubungan sosial pun jadi renggang. Tidak nyaman gara-gara covad covid.

Testimoni yang dicovidkan banyak. Sudah menjadi obrolan di warung kopi. Wajar bila banyak yang takut ke rumah sakit. Tidak usah disalahin yang takut ke RS. Intinya, bagaimana caranya agar rakyat percaya sama pemerintah. Satu kata, antara ucapan dan perbuatan. Bukan boong melulu.

Mau rawat inap di rumah sakit harus di PCR swab atau swab antigen dulu. Tidak seperti dulu, bebas. Rakyat curiga. Hayu tebak-tebakan bisnis siapa?

Desas desus tentang jenazah yang dicovidkan dengan kompensasi sejumlah fulus tertentu banyak terungkap. Banyak pengakuan dari keluarga yang meninggal karena dicovidkan.

Baru-baru ini di TPU Cikadut Bandung, sebanyak 196 makam dari 1.400 liang lahat di kuburan khusus Covid-19 telah dibongkar dan dipindahkan ke tempat pemakaman lain setelah jenazah dinyatakan negatif Covid-19. Korban salah urus covid.

Sesak dada membaca berita seperti ini. Belum ditambah kasus lain yang tidak dipublikasikan. Berapa ratus bahkan ribuan jenazah yang terlanjur diurus dengan protokol penguburan _ala_ covid. Shalat jenazah _ala_ Satgas Covid. Dosa loh!

Ada kisah lain. Pasien yang awalnya ketika masuk rumah sakit positif covid. Ketika sembuh, mau pulang dari RS. Pihak RS menyatakan virusnya tidak ditemukan. Maksudnya opo iki?

Ada pula seorang ibu di sebuah kota di Banten. Ditawarkan oleh tenaga medis untuk dicovidkan. Kompensasinya, uang tunai dan bebas biaya berobat.

Sekarang lonjakan kasus covid meningkat tajam. Ada yang mengaitkan dengan sidang putusan IB HRS kamis lusa (24/6), isu presiden tiga periode dan isu Indo China raya.

Orang flu, demam, batuk-batuk paling ditakuti. Takut covid. Mudah-mudahan masih takut sama Allah _subhanahu wata’ala._ Covid telah mengcover semua penyakit, melebihi penyakit pembunuh nomor satu, jantung. Menakutkan dan mengerikan propaganda mereka.

Seperti dilansir sebuah situs online (21/6/21), seorang mata-mata top China dilaporkan telah membelot ke Amerika Serikat (AS) dan menawarkan data rahasia intelijen tentang bagaimana pandemi COVID-19 dimulai. Nah loh. Lama-lama akan terkuak permainan covad covid yang berasal dari China komunis.

Kita riweuh begini. China komunis dan Yahudi dapat duit dari bisnis vaksin. Yahudi pesek juga ikut-ikutan jadi mafia vaksin.

Lucunya, vaksin tidak menjamin tidak terpapar covid. Kalau begitu ngapain divaksin? Divaksin tidak divaksin podo wae. Begitulah akibat terlalu percaya sama pembohong. Riweuh sendiri.

Bandung, 12 Dzulqa’dah 1442/23 Juni 2021