OLEH Agustinus Edy Kristianto

Saya selalu berharap tulisan saya selama ini menjadi makanan yang menyehatkan pikiran dan jiwa orang lain. Menjadi teman selama pandemi dan memberikan manfaat. Semoga saja itu menguatkan imun tubuh kita juga.

Di sini bukan kumpulan orang frustrasi yang melampiaskan amarah secara serampangan. Saya selalu menulis dengan santai, terukur, dan gembira.

Alhasil perubahan mental diharapkan terjadi tanpa perlu jargon revolusi mental ala Presiden Jokowi.

Kita membentuk ‘vaksin’ yang sesungguhnya dengan menjadi orang yang beriman kepada Tuhan dan senantiasa bersyukur, memiliki jiwa dan pikiran yang sehat, bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungan, berkata benar dan adil, tahu batas dan tidak memakan makanan orang lain (korupsi), disiplin dan tidak membahayakan sesama…

Life is beautiful!

Oke, kita bicara lagi tentang Kartu Prakerja.

Saya selalu disclaimer bahwa yang fokus saya persoalkan adalah pos biaya pelatihan Rp1 juta/peserta (untuk target 5,6 juta peserta) yang digunakan untuk beli video pelatihan melalui 7 platform digital swasta dan BUMN (Tokopedia, Ruangguru, Pintaria, Sekolahmu, Bukalapak, Mau Belajar Apa, Pijar Mahir/Telkom) yang alokasinya Rp5,6 triliun.

Bukan pos insentif Rp600 ribu/bulan yang diterima peserta selama 4 bulan sebagai bansos!

Kita ingat beberapa hari lalu pemerintah/manajemen pelaksana menyebarkan berita bahwa program Kartu Prakerja sudah clear karena telah diaudit dan diperiksa oleh KPK, BPK, BPKP, dan Inspektorat Jenderal.

Saya sanggah. Sudah diaudit adalah satu soal, hasilnya adalah soal lain. Itu tidak berarti program ini clear and clean.

Lalu kemarin BPK merilis Laporan Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2020 pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN.

Bersamaan waktunya dengan momen itu, keluar hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Bisnis (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Isinya: Kartu Prakerja berdampak positif pada kesehatan mental orang saat pandemi COVID-19.

Saya amati, LPEM UI biasa ‘dipakai’ untuk pengalihan isu Prakerja. Kalau kita tidak teliti, bakal mudah termakan opini. Padahal substansinya bukan itu. Substansi itulah yang justru mau ditutup-tutupi.

Apa yang saya curigai selama ini terkonfirmasi dalam audit BPK.

Terdapat pelanggaran ketentuan bahwa nilai yang dibayarkan kepada platform digital dan lembaga pelatihan tidak didasarkan atas pelatihan yang benar-benar diikuti oleh peserta.

BPK pun meminta pemerintah: 1) meninjau kembali ketentuan tentang pembayaran pelatihan agar selaras dengan tujuan program dan efektivitas pengelolaan keuangan negara; 2) memastikan NILAI RIIL yang layak dibayarkan dengan memerhatikan biaya yang telah dikeluarkan oleh lembaga pelatihan dan platform digital untuk masing-masing pelatihan.

Bukan tanpa dasar kalau saya menyebut program Kartu Prakerja itu acak-acakan dan berpotensi korupsi.

BPK juga menemukan bahwa penentuan program Prakerja tidak mempertimbangkan karakteristik belanja bantuan sosial seperti dalam Buletin Teknis SAP Nomor 19 tentang Akuntansi Bantuan Sosial.

Asal tahu saja, akun yang dipakai adalah jenis akun selain Belanja Sosial, yaitu Akun Belanja Lain-Lain dengan keterangan seperti ini: “Program Kartu Prakerja dengan output ‘Pelaksanaan Program Kartu Prakerja’”.

BPK berkata: “Realisasi Belanja Lain-Lain untuk Program Kartu Prakerja Sebesar Rp2,81 Triliun Tidak Dilaksanakan Secara Bertahap Sesuai dengan Kesiapan Kegiatan”.

Lihat sendiri. Program ini tidak clear and clean.

Mari kita berhitung lebih detail.

Jadi realisasi belanja lain-lain untuk program Kartu Prakerja pada tahun 2020 sebesar Rp18,25 triliun, menggunakan Rekening Pemerintah Lainnya (RPL) di BNI.

Saldo per 31 Desember 2020 sebesar Rp5,43 triliun yang dicatat sebagai Dana yang Dibatasi Penggunaannya (DDP).

DDP itu ternyata sudah disalurkan pada Januari, Februari, Maret 2021 untuk: 1) biaya pelatihan dan insentif yang tidak digunakan disetor balik ke rekening negara sebesar Rp2,62 triliun; 2) Biaya pelatihan dan insentif yang disalurkan selama Januari-Maret 2021 sebesar Rp2,53 triliun; c) Biaya pelatihan dan insentif yang tidak berhasil disalurkan selama periode 2021 sebesar Rp278,17 miliar disetorkan ke kas negara.

Saldo RPL Prakerja per 25 Mei 2021 sebesar Rp0!

Itu juga yang dijelaskan Head of Communication Manajemen Kartu Prakerja Louisa Tuhatu, yang adalah mantan pimpinan di lembaga konsultan komunikasi Fleishman-Hillard (dia menggantikan direktur komunikasi sebelumnya yang sekarang jadi direksi Pupuk Indonesia).

Jika kita tidak cermat, kita akan anggap semua baik-baik saja. Apalagi opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Tapi kita tidak lari ke situ. Kita juga tahu hasil audit BPK bukanlah alat bukti sebagaimana diatur KUHAP. Tapi ia bisa menjadi pintu masuk/bahan bagi proses hukum selanjutnya.

Lagipula yang kita kejar adalah berapa sebenarnya uang yang diterima platform digital dan lembaga pelatihan, apakah jumlahnya layak dan prosesnya patut.

Dari pemeriksaan BPK di atas kita jadi tahu bahwa ada biaya PELATIHAN dan INSENTIF yang disalurkan ke platform digital selama Januari-Maret 2021 sebesar Rp2,53 triliun.

Saya baca di CNBC Indonesia, ada keterangan dari Louisa yang menyatakan temuan BPK bahwa ada Rp125,93 miliar pembayaran pelatihan yang sebenarnya tidak diikuti peserta hingga 31 Desember 2020 itu jumlahnya setara dengan 6,58% dari total dana pelatihan yang sudah terjadi transaksinya.

Dia bilang begini:

“Pada saat ini SUDAH TERJADI pembayaran dari rekening virtual peserta ke REKENING DIGITAL PLATFORM sebagai marketplace yang menaungi lembaga pelatihan.”

Dia tegaskan, “… tidak mungkin kami meminta digital platform/lembaga pelatihan untuk mengembalikan dananya.”

Kalau Rp125,93 miliar adalah 6,58% dari total transaksi yang terjadi, berarti 100%-nya adalah Rp1,91 triliun.

Bisa kita anggap bahwa dari Rp2,53 triliun yang disalurkan sebagai biaya pelatihan dan insentif ke platform digital selama Januari-Maret 2021, sebesar Rp1,91 triliun adalah transaksi untuk pembayaran biaya pelatihan ke platform digital (beli video).

Permenko Perekonomian mengatur platform digital boleh mengambil komisi/biaya jasa maksimal 15%.

Berarti terdapat total komisi jasa untuk 7 platform digital (minus Sisnaker) sebesar 15% x Rp1,91 triliun = Rp286,5 miliar.

Jika dibagi 7 maka rata-rata setiap platform digital mendapat komisi Rp40,9 miliar.

Berapa harga per video paket pelatihan?

Rp1,9 triliun – Rp286,5 miliar (komisi/biaya jasa) = Rp1,62 triliun.

Jumlah pelatihan di Kartu Prakerja sebanyak 1.701 pelatihan.

Berarti rata-rata harga per video paket pelatihan adalah:

Rp1,62 triliun/1.701 = Rp954,4 juta!

Skak-mat.

Jadi pertanyaan kita selama ini terjawab sudah:

1. Rata-rata platform digital mendapat komisi/biaya jasa Rp40,9 miliar;
2. Rata-rata harga per pelatihan (yang dulu sempat dikritik karena materinya ada juga di Youtube dkk) adalah Rp954,4 juta!

Silakan Anda lihat video pelatihan Prakerjanya, lalu nilai sendiri apakah layak harganya hampir Rp1 miliar per unit.

Di dalam kesulitan, ternyata ada juga yang tertawa.

Kepada siapa kita harus mengadu?

Rasanya kepada Presiden Mali atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Kepulauan Fiji saja lebih tepat.

Ketimbang Presiden dan KPK di sini.

Salam 5,6 Triliun.

(RED/JAKSAT)