JAKARTASATU.COM –  LP3ES bersama Sepaham Indonesia, CALS dan LaporCovid-19
pada  Jumat, 16 Juli 2021 sore menggelar WEBINAR HAM DAN PANDEMI COVID-19 Pengantar dibuka Herlambang P Wiratraman, Peneliti LP3ES, CALS dan Dosen FH UNAIR yang memaparkan laporan Worldometer memperlihatkan, kasus kematian Covid-19 di Indonesia tertinggi di dunia dalam dua hari terakhir, melampaui India dan Brasil. “Penambahan kasus nasional 56.757, kematian 982 orang, jumlah kasus aktif 480.199 orang atau ada penambahan 36.726 sehari (15/7) Bila 20 persen tambahan kasus aktif ini butuh perawatan, artinya butuh tambahan tempat tidur 7.345 unit dalam sehari. Data LaporCovid-19 Jumat (16/7) pagi, ada 625 pasien isoman meninggal dunia,”jelasnya.

Laporan terbanyak di Jawa Barat, disusul Yogya, Jateng, Banten, Jatim, baru Jakarta. Bahkan dalam catatan WHO melaporkan 15 propinsi mengalami lonjakan >50 %. 5 propinsi alami peningkatan > 100 persen yakni NTB (200%), Gorontalo (194 %), Maluku (169 %), Sulut (139%), dan Kaltara (107 %), lanjutnya.

“Mengapa Indonesia sampai di titik sekarang? Begitu banyak warga kehilangan nyawa, fasilitas kesehatan kolaps akibat kamar rumah sakit penuh, krisis pasokan oksigen, dan bahkan ratusan dokter maupun perawat pula meninggal terpapar Covid-19,” jelas Herlambang.

Di tengah kabar memilukan atas meningginya angka kematian dan kasus aktif Covid-19, pemerintah justru membuat kebijakan vaksin berbayar.

“Bukankah jaminan perlindungan dan pemenuhan hak atas sehat dan layanan fasilitas kesehatan merupakan tanggung jawab Negara? Apa saja bentuk pelanggaran konstitusi dan HAM yang terjadi dalam konteks pandemi saat ini, dan bagaimana pula konsekuensi hukum dan politiknya?” tanyanya.

Disisi lain Sri Palupi (Peneliti The Institute for Ecosoc Rights) mengatakan tanggung jawab dalam pencegahan dan pengendalian wabah adalah tanggung jawab negara, hal mana sampai sebelum pandemi berlangsung diketahui penguatan terhadap fasilitas kesehatan dasar masyarakat masih amat minim, terlebih di luar Jawa.

“Sumber daya yang terbatas dari faskes di tingkat kabupaten/kota menjadi salah satu penyebab dari collapsenya sistem pelayanan kesehatan ketika pandemi melonjak seperti sekarang,” ungkapnya.

Sri menilai bahwa hal itu diperburuk oleh sikap denial pemerintah ketika masa-masa awal pandemi merebak di Indonesia. Terjadi kelangkaan APD, kemudian penanganan yang tidak serius ketika pandemi diketahui memang telah menyebar di Indonesia.

“Alokasi Anggaran jumbo sebagian besar ternyata diprioritaskan untuk penguatan ekonomi ketimbang keselamatan rakyat. Cenderung diperuntukkan bagi hal hal yang tidak urgent daripada peruntukan bagi pengendalian pandemi,” lanjutnya.

Kerjasama dan bantuan terhadap organisasi masyarakat berbasis komunitas yang menangani dampak pandemi juga terlihat amat minim. “Namun ironis, lebih mengutamakan pendekatan elite yang menggunakan buzzer. Kepemimpinan yang lemah dan tidak transparan juga memperparah situasi, di samping tidak adanya pemihakan (diskrimasi) terhadap kelompok miskin dan marjinal,”ungkapnya.

Perspektif HAM benar-benar ditinggalkan, padahal arahan jelas dari sisi undang-undang untuk memprioritaskan mereka yang lemah dan miskin di masa pandemi. “Terlebih pada komunikasi publik pemerintah yang membingungkan masyarakat. Masa pandemi yang parah juga mencatat adanya peningkatan perkawinan usia dini yang meningkat di perdesaan. Hal itu terpaksa dilakukan para orang tua dengan alasan ekonomi untuk mengurangi beban keluarga akibat wabah,” tegasnya.

Sementara itu  Eko Riyadi (Ketua Pusham UII dan SEPAHAM Indonesia, Tim Ahli SNP Komnas HAM Hak atas Kesehatan) mengatakan pemerintah harus selalu diingatkan bahwa ha katas kesehatan adalah hak asasi manusia (HAM) yang merupakan konsekuensi logis dan kewajiban pemenuhan layanan kesehatan warga negara dan menjadi kewajiban negara. “Jika masyarakat turut memperbincangkan hak atas kesehatan, hal itu adalah hak publik yang harus dihormati sebagai bagian dari hak atas layanan kesehatan oleh negara,” jelasnya.

Hak atas layanan kesehatan tersebut adalah kewajiban bagi negara untuk tidak mempermainkan kebijakannya mengikuti kepentingan elit parpol politik ataupun oligarki. Hak untuk mendapatkan dan menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai setiap orang. Vaksin berbayar (gotong royong) jelas sebuah diskriminasi HAM atas warga negara, ujarnya.

Eko menjelaskan bahwa PKPM Darurat tidak akan efektif karena normanya yang multi tafsir dan sulit dipahami publik. “Mana sektor yang esensial dan mana yang tidak esensial. Hal itu akibat dari ketidaktegasan apa yang disampaikan oleh negara ihwal keputusan lockdown total atau tidak,”ungkapnya.

Iqbal Elyazar (Kolaborator Saintis LaporCovid-19 dan Anggota ALMI) menyatakan pandemi COVID-19 merupakan ujian terhadap cita-cita bangsa Indonesia di tahun 1945 yaitu apakah pemerintah mampu melindungi segenap bangsa Indonesia.

“Serangan gelombang kedua ini jauh lebih besar dan dampaknya jauh lebih berat dari gelombang pertama Januari-Februari 2021. Diperkirakan jumlah orang terinfeksi mencapai 80 ribu-1.2 juta orang per hari. Jauh lebih besar dari angka yang dilaporkan,” tegasnya.

Iqbal juga menambahkan bahwa dengan angka positivity rate yang mencapai 40% di skala nasional, mengindikasikan lebih banyak orang infektif yang tidak terdeteksi. Narasi yang mengatakan bahwa penanganan pandemi terkendali atau proyeksi kasus akan melandai bukanlah realita penularan virus di lapangan.

“Banyak aspek kemanusiaan dan hak asasi manusia yang terjadi seperti perlindungan tenaga kesehatan, hak untuk mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan di tengah penuhnya ketersediaan tempat tidur, meledaknya isolasi mandiri tanpa mendapatkan pemantauan dan dukungan, krisis oksigen, beban tenaga pemakaman, stigma dan kekerasan warga terhadap penderita dan korban COVID,” urainya.

Pengendalian pandemi ini, lanjutnya semakin sulit ketika kekerasan di ruang publik semakin sering terjadi akibat benturan antara pelaksana di lapangan dan masyarakat. “Dibutuhkan konsistensi kebijakan di pusat, ketegasan eksekusi di lapangan dan kepatuhan masyarakat,” paparnya.

Muktiono (Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Anggota SEPAHAM) mengungkap bahwa mendiskusikan soal Vaksinasi Covid-19 bagi setiap orang adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi negara dengan standar pencapaian tertinggi. Proses vaksinasi ini harus diliputi dengan prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi sesuai dengan kaidah hukum dan HAM.

“Kebijakan komersialisasi vaksin dalam situasi darurat kesehatan mengakibatkan setiap orang tidak lagi mempunyai kesempatan yang adil dan setara untuk mendapatkan perlindungan atas hak hidup dan hak atas kesehatan yang dijamin Konstitusi (Pasal 28I ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (1)). Ketidaksetaraan dan diskriminasi ini terjadi karena vaksinasi berbayar memunculkan bias preferensi atau pemihakan berbasis status ekonomi yang berdampak pada terancamnya hak kesehatan dan hak hidup masyarakat,” ungkapnya.

Ia menabhakn abahwa preferensi dalam kebijakan vaksinasi tidak diskriminatif sejauh objektif dan mempunyai alasan yang dapat dibenarkan (objective and reasonable) menurut kaidah ilmu pengetahuan (science), bukan karena status ekonomi.

Kebijakan vaksinasi yang diskriminatif dalam masa pandemi merupakan pelanggaran hukum dan HAM yang sangat serius. Diskriminasi tersebut melanggar: 1) UUD 1945, Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”; 2) UU HAM, Pasal 3 ayat (3) “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”; UU 11/2005, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 2 ayat (2) “Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya”.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 sebagai kebijakan pemerintah yang mempunyai karakter diskriminatif harus dievaluasi oleh Komnas HAM sebagai lembaga yang memegang mandat sebagai institusi HAM nasional (National Human Rights Institutions (NHRIs)). Komnas HAM berdasarkan Pasal 89 UU 39/1999 mempunyai tugas dan kewenangan untuk melakukan pengkajian dan penelitian sebagai dasar penerbitan rekomendasi untuk mengubah atau mencabut Permenkes Nomor 19 Tahun 2021. Selain itu, Komnas HAM juga dapat melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan terbitnya aturan tersebut.

“Hal ini untuk menjamin bahwa kebijakan pemerintah selama pandemi khususnya vaksinasi dapat mencapai standar tertinggi untuk melindungi hak hidup dan hak kesehatan masyarakat,”pungkasnya.

Di akhir sesi usai tanya jawab, Herlambang Wiratraman membuat tiga poin utama,
1. Memperlihatkan kebijakan sejak awal pandemik telah menyebabkan begitu banyak pelanggaran HAM, termasuk dampaknya yang luas dimana Negara gagal melindungi hak ekonomi sosial budaya maupun sipil dan politik.
2. Dalam konteks hari ini, sebaiknya Presiden Joko Widodo segera umumkan kegentingan, jangan menyangkal atas kegagalan ini. Pengakuan menjadi penting untuk membangun sense of emergency hingga level terbawah sehingga semua turut ambil langkah extraordinary, termasuk jika perlu minta bantuan/kerjasama internasional.
3. Hal yang paling bisa disegerakan adalah keberanian untuk mendorong keterbukan informasi untuk membantu pengendalian pandemic. Misal, keterbukaan testing rate di daerah-daerah, kemungkinan defisit oksigen dibandingkan kebutuhan dalam beberapa hari ke depan, perlu strategi terobosan.

“Keberhasilannya pengendalian pandemi kuncinya dengan mengedepankan sains, integritas dan keberpihakan untuk penyelamatan rakyat. Ini karena pandemi tak akan pernah selesai hanya dengan pengendalian data dan informasi,”pungkas Herlambang.(JAKSAT/RED)