Radhar Tribaskoro/ist
Oleh: Radhar Tribaskoro
Strategi Menghadapi Virus
Dalam menghadapi wabah atau pandemi, ilmu kesehatan mengembangkan dua strategi, yaitu karantina wilayah dan vaksinasi. Karantina wilayah atau lockdown bertujuan mencegah transmisi dengan mengisolasi virus. Oleh karena itu karantina harus segera dilakukan segera setelah diketahui infeksi terjadi. Semakin cepat semakin baik.
Celakanya virus itu hanya berukuran beberapa mikron sehingga sulit dideteksi keberadaannya. Tetapi kita bisa mendeteksi inangnya, yaitu manusia, dan bisa mengisolasi mereka.
Asalkan bisa menguji bahwa seseorang sudah menjadi inang maka mengisolasi virus dapat dilakukan dengan mengisolasi manusia. Artinya, karantina mengharuskan orang tinggal di rumah saja selama batas waktu tertentu (sekitar 14 hari, yaitu jangka waktu inkubasi virus). Orang tidak boleh berkegiatan kecuali untuk mengambil atau membeli kebutuhan pokok. Bekerja dan belajar sedapat mungkin dilakukan di rumah.
Apakah itu cukup? Tidak. Virus itu juga bisa tinggal di pegangan pintu, pohon, di mobil atau dimana saja, walau cuma beberapa menit atau jam. Orang bisa tertular virus bila bersentuhan dengan benda-benda, tidak hanya dari manusia. Varian delta bahkan jauh lebih berbahaya. Virus itu bisa mengkontaminasi udara, sehingga penularan terjadi lebih cepat dan lebih banyak.
Dengan demikian karantina tidak cukup meminta orang-orang mengisolasi diri di rumah tetapi tempat dan jalan yang dipergunakan dan menjadi perlintasan manusia harus diisolasi juga. Dengan kata lain, isolasi manusia kemudian sama artinya dengan isolasi wilayah.
Tujuan isolasi wilayah membungkus tujuan isolasi virus, yaitu agar virus tidak menyebar ke inang atau daerah lain. Dalam strategi militer isolasi wilayah berarti mengidentifikasi keberadaan musuh dan menyiapkan front untuk menghancurkannya. Paling celaka bagi seorang ahli perang adalah bila musuh berada dimana-mana dan ia tidak tahu pasti kedudukan musuh itu. Itulah esensi dari kebijakan karantina wilayah atau disebut juga lockdown.
Karantina wilayah dapat juga dianggap sebagai kebijakan kuratif. Dalam analogi militer karantina wilayah mirip operasi Search and Destroy, cari dan bunuh musuh! Cari inang (orang-orang yang sakit), bawa ke rumah sakit, dan bunuh virusnya.
Operasi pencarian dilakukan dengan dua cara: testing dan contact tracing. Orang-orang ditest PCR atau Antigen untuk diketahui apakah ia sudah menjadi inang. Kalau iya seluruh orang-orang yang ditemui dalam beberapa hari terakhir ditest juga apakah mengidap virus yang sama. Langkah kedua ini disebut contact tracing. Mereka yang teridentifikasi menjadi inang kemudian dipisahkan untuk mendapat treatment pembersihan virus. Jadi karantina wilayah yang diikuti oleh test dan tracing adalah esensial untuk membersihkan suatu wilayah dari virus.
Sementara itu mewajibkan orang menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan hanya langkah perbantuan agar tidak terlalu banyak orang terinfeksi.
Di awal pandemi Cina, negara asal virus SARS-Cov-2, melaksanakan semua yang diuraikan di atas. Cina melockdown kota Wuhan. Lockdown kemudian meluas ke seluruh provinsi Hubei, dan provinsi-provinsi lainnya. Kebijakan ini terbukti berhasil.
Walau Cina berpenduduk sangat besar sampai hari ini, 26 Juli 2021, berhasil menekan kasus menjadi total 92.529 kasus dan 4.636 kematian. Bandingkan dengan Indonesia, walau populasinya hanya seperlima Cina, ada total 3.166.505 kasus dengan korban meninggal 83.279 orang.
Catatan di atas perlu ditunjukkan ke muka Menko Marinvest yang selalu beretorika, “Negara mana yang berhasil menangani Covid-19?”. Retorika itu sangat ironis, sebab Luhut dikenal sebagai pencinta Cina, tetapi ia luput berkaca kepada kiprah Cina dalam hal ini.
Strategi kedua adalah vaksinasi. Strategi tersebut bersifat preventif yaitu meningkatkan kekebalan penduduk, sehingga dalam jangka panjang virus corona itu tidak menimbulkan korban yang besar. Belajar dari pengalaman flu spanyol tahun 1920an para ahli kesehatan menemukan bahwa pandemi berakhir ketika 70% penduduk telah memiliki kekebalan terhadap serangan virus. Kekebalan yang dimiliki oleh suatu komunitas dikenal dengan sebutan herd immunity.
Virus mati sendiri atau melemah ketika sudah semakin sedikit inang yang bisa ia tinggali. Temuan itu belakangan akan menjadi tumpuan kebijakan pandemi Jokowi. Ia melonggarkan karantina walau beresiko virus menyebar, dengan harapan cz dapat menghabisi virus itu dengan vaksinasi.
Langkah Jokowi tidak mempunyai pembenaran ilmiah. Mantan Menkes Siti Fadhillah Supari mengatakan bahwa tidak pernah terjadi di dunia dimana vaksinasi jadi strategi utama melawan pandemi. Kedua strategi di atas selayaknya berjalan berurutan. Menurut standar ilmu kesehatan dan militer kedua strategi itu bukan pilihan. Kalau mau berhasil jalankan keduanya sampai maksimal. (BERSAMBUNG)