Bertepatan HUT ke-64 Provinsi Riau, Senin (9/8/2021), pengelolaan ladang minyak Blok Rokan, Riau, resmi berpindah tangan ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) setelah berakhirnya kontrak bagi hasil (PSC) PT Chevron Pacific Indonesia.
‘’Sah tercatat dalam sejarah. Mestinya ini menjadi kado istimewa bagi Provinsi Riau. Sebab, Blok Rokan sepenuhnya berada di Provinsi Riau,’’ sebut Dr drh H Chaidir MM, Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), kepada media siber ini, Senin (9/8/2021).
Menurutnya, produksi saat alih kelola tercatat sekitar 160.000 barel minyak per hari atau sekitar 24 persen produksi minyak nasional. Di masa jayanya, Blok Rokan bahkan menghasilkan lebih dari 700.000 barel minyak per hari, dan menjadi primadona penghasil minyak nasional.
‘’Dalam gambaran umum tersebut, ketika Blok Rokan kini dikelola oleh perusahaan nasional, semestinya Riau memiliki peluang yang sangat besar ikut berperan,’’ ungkap mantan Ketua DPRD Provinsi Riau ini.
Tentulah putra-putra asli Riau berkesempatan duduk di jajaran komisaris dan direksi perusahaan, apalagi ada lampu hijau dari Presiden Jokowi. Tentulah putra-putra asli Riau berkesempatan untuk bekerja di ladang minyak yang menjadi kebanggaannya.
Tentulah pengusaha-pengusaha lokal memiliki peluang besar untuk ikut sebagai vendor. Tentulah akan banyak mahasiswa-mahasiswa Riau yang akan memperoleh beasiswa. Tentulah banyak anak-anak daerah yang berkesempatan mengikuti diklat.
“Dan tentulah akan mudah bagi Riau untuk mengumpulkan dana abadi (endowment fund) untuk pendidikan anak-cucu kelak di kemudian hari, dan lain-lain sebagainya,’’ ulas Chaidir.
Mimpikah itu? ‘’Tidak. Bahkan sesungguhnya, kolaborasi antara perusahaan besar pertambangan dan masyarakat asli setempat (local communities), adalah sebuah keniscayaan. Menjadi kewajiban bagi perusahaan besar pertambangan untuk menjalin kolaborasi dengan masyarakat asli setempat, tanpa harus diminta-minta.’’
Dia menjelaskan, sebuah jurnal yang ditulis Sinziana Dorobantu dan Dennis Flemming (10/11/2017), dan diterbitkan oleh Harvard Business Review (siapa pun tahu, Harvard University adalah perguruan tinggi terbaik dan paling terkemuka di dunia), sekurang-kurangnya bisa jadi rujukan.
‘’Dorobantu dan Flemming menulis, tak ada yang lebih penting bagi sebuah perusahaan besar di dunia kecuali mendengarkan komunitas masyarakat lokal,’’ tegas Chaidir.
Lebih jauh Dorobantu dan Flemming menulis, konflik antara perusahaan besar pertambangan dan masyarakat lokal akibat perusahaan tidak mau menunjukkan pengertiannya dan keberpihakannya bisa menjadi terbayar mahal oleh perusahaan, karena akan menghabiskan waktu tenaga dan pikiran dalam penyelesaian konflik, menghabiskan biaya berjuta-juta dolar dan juga menyebabkan agenda-agenda business plan investasi menjadi mundur.
Hubungan yang kuat (strong relationship), ujarnya, bisa dibangun melalui berbagai bentuk kolaborasi seperti melibatkan tokoh masyarakat lokal dalam “board” perusahaan, tenaga kerja, kontraktor-subkontraktor, kerjasama penelitian, sehingga semua permasalahan atau konflik di lapangan bisa segera diredam.
‘’Namun, harapan kelihatannya tingal harapan. Kado istimewa tinggal mimpi. Dari gelagat yang terbaca, alih kelola masih menyisakan banyak catatan,’’ tegas beber Chaidir.
Memang, lanjutnya, dari perspektif Tim Alih Kelola yang terdiri dari SKK Migas, PT PHR, dan PT CPI, agenda alih kelola berlangsung mulus, bahkan dalam versi SKK Migas alih kelola Blok Rokan diklaim yang terbaik.
‘’Namun dalam perspektif masyarakat Riau, masih menyisakan banyak PR. Satu dan lain hal penyebabnya adalah, karena Tim Alih Kelola WK Blok Rokan menutup diri terhadap masukan pokok-pokok piikiran dari komunitas lokal di daerah,’’ tegasnya lagi.
Sementara sembilan agenda prioritas Tim Alih Kelola, adalah agenda-agenda berat yang bisa sarat kepentingan, yang kalau tidak tersosialisasi secara transparan akan bisa memancing berbagai persepsi.
‘’Seperti kita baca dari berbagai media, dalam pertemuan LAMR dengan Dirut PT PHR (5/8/2021), ternyata PHR belum siap dengan skema kerjasamanya dengan komunitas lokal. Namun, pada sisi lain kita baca pula bahwa PT PHR telah melakukan seleksi untuk mencari partner dalam pengelolaan Blok Rokan.’’
Sejumlah perusahaan seperti Medco, Energi Internasional (MEI), Energi Mega Persada (EMP), dan Shell Indonesia, telah mengusung proposal. Semuanya berharap bisa diterima sebagai mitra PHR dalam pengelolaan Blok Rokan (sumber ruangenergi.com, 02/08/2021).
‘’Wilayah yang diperebutkan, tentulah wilayah B to B yang 39 persen itu. Bagaimana komitmen PHR terhadap entitas lokal, termasuk vendor lokal?,’’ tanya Chaidir.
Dalam hal alih kerja karyawan misalnya, sejumlah 2.691 karyawan Chevron di Blok Rokan telah setuju untuk bergabung dengan PHR. Sampai saat ini belum terjawab, berapa persenkah warga asli tempatan?
“Harus ada kebijakan dan praktik afirmatif yang mengikat, bahwa tenaga kerja lokal diutamakan dengan kuota minimal 70 persen, seperti yang diputuskan Kongres Rakyat Riau II Tahun 2000,” sebutnya mengutip pernyataan Datuk Seri Al azhar. Menurut beberapa sumber dari dalam, jangankan 70 persen, 10 persen pun tak sampai.
Limbah B3 dan TTM
Lebih lanjut Chaidir mengatakan, penyelesaian masalah tanah terkontaminasi minyak (TTM) atau limbah B3 yang ditinggalkan Chevron juga belum ada kejelasan. ‘’Masalah TTM ini pasti menjadi PR bagi PHR,’’ katanya.
Di samping itu, imbuhnya, pembangkit listrik Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang mayoritas sahamnya dimiliki Chevron Standar Ltd (CSL) dan sekarang sudah dibeli PLN, juga masih menyisakan bom waktu. Sebab, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2006, MCTN ini bermasalah, diduga Chevron tidak berhak melelangnya.
‘’Kemudian, penggunaan formula surfaktan untuk teknologi Chemical EOR untuk memompa sumur-sumur tua di Blok Rokan, juga dianggap bisa menyandera PHR dalam meningkatkan produksi, karena untuk penggunaan formula surfaktan ini, PHR tergantung pada pihak lain,’’ tukasnya.
Dia melihat sekarang ada dua kutub yang berbeda titik perhatian (focus of interest). Kutub pertama, Pertamina, SKK Migas, PHR, dan para pemburu rente yang harus mempertahankan produksi Blok Rokan. Kubu kedua, masyarakat Riau yang bermimpi memperoleh peran lebih besar dan menikmati kue Blok Rokan.
‘’Bila kubu pertama mengabaikan kaidah-kaidah yang berlaku umum maka bersiaplah menghadapi konflik yang berkepanjangan. Bagi kubu kedua, jangan terlalu berharap kado istimewa. Bangunlah dari mimpi. Hadapi kenyataan lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya,’’ pungkas Chaidir. (nb/riau.riau.siberindo)