JAKARTASATU.COM – MENTERI Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar diduga melarang seluruh jajarannya untuk mengikuti webinar mengenai moratorium sawit yang digelar Madani dan Tempo. Hal itu diketahui dari beredarnya pesan Whatsapp atas nama Siti Nurbaya Bakar.
“Ini MADANI dan TEMPO membuat Webinar dengan judul Moratorium Sawit Tak Diperpanjang, Komitmen Iklim Indonesia Terancam? … UMP // Agenda ini tidka hokeh ada yang mengisi dr KLHK,” demikian kutipan pesan Whatsapp yang beredar di jejaring media sosial.
Pesan whatsapp tertanggal 19/8/2021 pukul 13.53 diduga beredar di group whatsapp pejabat Kementerian KLHK, kemudian bocor keluar dan beredar pada awak media, yakni sehari sebelum acara webinar dilaksanakan.
Ketua Penasehat LPPHI (Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia) Yusri Usman kepada wartawan, Rabu (25/8/2021) menyatakan telah mengkonfirmasi adanya pesan itu kepada Siti Nurbaya Bakar pada Jum’at malam 20/8/2021. Namun, hingga Rabu sore, tidak ada keterangan atau bantahan apa pun dari Siti Nurbaya Bakar mengenai pesan Whatsapp tersebut.
Yusri meyayangkan jika benar pesan itu dari Menteri KLHK, padahal soal moratorium sawit itu merupakan Intruksi Presiden nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktifitasnya.
Banyak pihak, khususnya aktifis lingkungan berharap pemerintah memperpanjang motatorium itu untuk menjaga kelestarian hutan dan ancaman perubahan iklim yang menjadi perhatian masyarakat global.
Mengingat, dari data statistik yang diterbitkan KLHK dan Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2007 hingga 2019, jumlah Luas Dataran Kawasan Hutan berkurang 10.783.414 Ha, pada setiap jam berkurangnya luasan hutan 149, 84 ha atau 1,36 luas lapangan bola.(catatan media Tataruang)
Sehingga, kebijakan pemerintah menerbitkan PP nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan disoal banyak orang. Satu hektar kawansan hutan tropis hanya dihargai Rp 11 juta hingga Rp 15 juta, sangat merugikan kepentingan nasional dalam menjaga kondisi lingkungan hidup.
Pasalnya, kebijakan itu tidak sejalan dengan kekuatiran MenterI Keuangan Sri Mulyani, yakni ” Indonesia membutuhkan sekitar Rp 3.779 triliun untuk mengatasi perubahan iklim atau mengurangi CO2 sampai tahun 2030″.
Webinar oleh media Tempo itu sendiri diketahui berlangsung pada 20 Agustus 2021, mulai pukul 09.00 WIB. Dalam pemberitahuannya, Webinar itu sejatinya menghadirkan beberapa pemateri, di antaranya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugadirman.
Selain itu webinar itu juga menghadirkan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Ekonomi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia M Iqbal Damanik serta Redaktur Ekonomi Bisnis Majalah Tempo Khairul Anam.
Belakangan diketahui, Ruandha Agung Sugadirman dan Sutarmidji ternyata memang tidak hadir pada Webinar tersebut.
Sementara itu, dalam webinar tersebut, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengemukakan, pemerintah telah menetapkan dokumen strategi jangka panjang (LTS) penurunan emisi hingga 540 metrik ton setara karbon dioksida (Mton CO2e) pada tahun 2050. Sedangkan untuk sektor kehutanan dan tata guna lahan ditargetkan dapat menyerap emisi hingga 2030.
”Artinya, Indonesia juga harus berupaya lebih serius mengurangi emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Akan tetapi, dalam dokumen tersebut, dengan memakai skenario yang paling ambisius pun masih terdapat 3,58 juta hektar hutan alam dalam izin sawit yang berisiko terdeforestasi,” ujarnya dikutip dari kompas.id.
Sedangkan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menambahkan, moratorium memang mengamanatkan untuk tidak menambah izin baru perkebunan sawit. Akan tetapi, Indonesia juga memiliki target yang tertuang dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) Kesepakatan Paris 2015 dengan cara mencegah deforestasi.
”Hutan primer dan gambut yang dianggap bisa mewujudkan komitmen Indonesia dalam NDC juga seharusnya turut dilindungi. Sedangkan hutan primer dan gambut yang memiliki izin masih perlu perbaikan tata kelola,” ucapnya.
Masih dalam webinar itu, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mochammad Edy Yusuf mengatakan, kelapa sawit merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Sebab, 13 persen dari total ekspor berasal dari sawit dan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 3,5 persen.
Fakta tersebut membuat pemerintah terus mendorong agar kelapa sawit dapat berkelanjutan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Selain moratorium sawit, pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO).|TOM/JAKSAT