OLEH Agustinus Edy Kristianto
Coba ingat-ingat. Pada Agustus 1998, ketika dana BLBI sebesar Rp144 triliun dikucurkan hanya dalam waktu tiga hari kepada bank-bank, kebanyakan kita sedang apa?
Saya anak kampung yang sedang khawatir menunggu bapak pulang kerja. Ia satpam di sebuah pabrik obat pinggiran Jakarta. Gajinya kecil. Hari itu mulai rusuh.
Ingatan itu takkan pernah hilang. Masalah BLBI selalu jadi perhatian saya (untuk tidak menyebut istilah “dendam”).
Itu kejahatan luar biasa. Itu salah satu pangkal utama ketidakadilan. Itu yang menjelaskan kenapa ada kalangan jetset, kenapa ada kalangan kere di Indonesia sekarang.
Kompas (14/4/2021) pernah menulis: “Satgas BLBI, Taktik atau Gimik Politik”.
Satgas dibentuk untuk memburu Rp110,4 triliun sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti. Batasnya sampai Desember 2023.
Tak ada ampun, pokoknya siapa saja yang menikmati duit itu harus dikejar. Mungkin sekarang baru Tommy Soeharto, tapi kita harus pastikan ini bukan gimik politik dan betul-betul harus serius.
Saya lampirkan dokumen audit BPK 2006 tentang para penerima dan penyelesaiannya. Secara sekilas saya kutip dari CNBC (24/8/2021).
Ini para penerimanya: BDNI milik Sjamsul Nursalim (Rp37,04 triliun); BCA milik Liem Sioe Liong (Rp26,59 triliun); Bank Danamon milik Usman Admadjaja (Rp23,05 triliun); Bank Umum Nasional milik Bob Hasan dan Kaharudin Ongko (Rp12,06 triliun); Bank Indonesia Raya milik Bambang Winarso (Rp4,02 triliun); Bank Nusa Nasional milik Aburizal Bakrie (Rp3,02 triliun); Bank Tiara Asia milik HR. Pandji M. Noe (Rp2,97 triliun); Bank Modern milik Samadikun Hartono (Rp2,55 triliun); Bank Pesona Utama milik Tommy Soeharto (Rp2,33 triliun); Bank Asia Pacific (Rp2,05 triliun).
Itu nilai uang 1998. Harga emas masih Rp140 ribu/gram. Uang itu banyak betul. Jadi tidak usah banyak omong kebijaksanaan soal value investing dan kerja keras kepada generasi muda sekarang. Dulu mainkan selisih mata uang saja sudah untung berlipat-lipat.
Kekayaan itu diwariskan dan makin memperlebar kesenjangan kaya-miskin generasi sekarang. Makanya tak usah ‘kampanyekan’ orang jadi miskin karena malas.
Orang miskin karena tidak semua orang bisa dapat BLBI. Ini yang tepat!
(berita hari ini pemerintah anggarkan Rp3 miliar untuk anak yatim piatu korban Covid-19. Bandingkan dengan taipan yang triliunan itu).
KPK, yang konon sebagai representasi semangat reformasi dan anti-KKN, letoy. Pada 31 Maret 2021, malah menerbitkan SP3 kasus Sjamsul Nursalim. Apapun alasannya, itu menyakitkan, apalagi KPK seolah ‘diistimewakan’ dengan anggaran triliunan rupiah dan insentif khusus personelnya.
Sama menyakitkannya dengan Teten Masduki. Pendiri ICW itu lantang bersama saya dulu menyuarakan kasus BLBI. Sekarang tenang-tenang saja dalam jabatan Menteri Koperasi dan UKM. Kekuasaan memang lezat!
Yang saya tulis di atas baru data angka. Kita perlu gambaran suasana ketika peristiwa terjadi. Apa yang berkecamuk di dalamnya. Ketika beberapa obligor dihapuskan utangnya alias lunas.
Kita buka Putusan No. 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST dalam perkara atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (eks Kepala BPPN).
Ini keterangan mantan Menkeu/Kepala BPPN Bambang Subianto. Ia pernah meminta BPKP mengaudit Rp144 triliun BLBI. Hasilnya ada Rp10 triliun disalurkan tanpa data pendukung. (Hlm. 135).
Ini keterangan Syafruddin Temenggung. “Sjamsul Nursalim dan Salim Grup (BCA) selalu menjadi pembicaraan tentang pemegang saham yang kooperatif atau tidak kooperatif sedangkan banyak obligor yang tidak mau menandatangani perjanjian kerja sama atau tidak mau membayar sama sekali kewajibannya namun tidak dibicarakan.”
Salah satunya Samadikun Hartono. Utang Rp2,8 triliun, hanya kembalikan Rp126 miliar. (Hlm. 679).
Keterangan Kwik Kian Gie (Menko Ekuin 1999-2000 sekaligus Ketua KKSK) lebih dahsyat. Saya menyaksikan sidangnya langsung di PN Jakpus. Ia bicara soal personal guarantee/jaminan pribadi dan SKL (Surat Keterangan Lunas).
“Personal Guarantee selain diberlakukan ke BDNI juga diberlakukan ke BCA melalui Antoni Salim yang juga menerima BLBI.” (Hlm. 249).

Apa yang terjadi dengan BCA?
Kwik berkata waktu itu ia bilang ke Menkeu Bambang Sudibyo bahwa ini seperti pemerintah membeli bank milik sendiri layaknya keluar kantong kanan masuk kantong kiri. Itu supaya memberikan ketenangan kepada manajemen bank dan menunggu ekonomi pulih agar bank itu bisa dijual dengan nilai mendekati nilai obligasi rekap yang diinjeksi.
“Tetapi hal itu tidak terjadi. Maka terjadilah rencana penjualan BCA yang di dalamnya ada tagihan Rp60 triliun akan dijual dengan harga Rp5 triliun untuk 51% saham.”
(Siapa yang urus IPO BCA itu? Ya, coba tengak-tengok sekarang, siapa bekas orang BPPN yang paling getol bisnis bank rencana digital dan baru saja masuk 10 besar orang terkaya Forbes. Halo juga JT, sang tangan kanan bos).
Bisa kebayang. Pemerintah suntik dana, setelah sehat dibeli murah oleh dia lagi-dia lagi lewat berbagai cara. Ada tagihannya pula.
Kwik menentang pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri. Seharusnya personal guarantee itu jangan dicabut supaya setelah ekonomi pulih negara bisa menagih. Jaminan pribadi digantung saja.
“Mengapa ketika itu saya begitu yakin mengapa mesti digantung terus, karena nantinya MEREKA akan menjadi kaya-raya setelah krisis berlalu karena infrastruktur bisnisnya sudah kokoh.”
Paham, kan, mengapa ada orang tidak berseri duitnya di Indonesia, yang dipuja-puja sebagai taipan…
Soal suasana keputusan SKL itu digambarkan begini, terutama pada Rapat Kabinet ke-3. Kwik mengilustrasikan ia sudah dua kali berhasil menggagalkan SKL dalam rapat sebelumnya tapi pada ketiga kalinya ia diserang TOTAL FOOTBALL.
Rapat itu membahas tentang SKL untuk para obligor yang kooperatif. Tapi Kwik berkata kooperatif itu sikapnya saja tapi secara de facto tidak mau bayar. Bagi dia, ukuran kooperatif adalah uang tunai yang masuk kas negara.
Akhirnya urutannya begini. Pada rapat pertama, Presiden Megawati setuju SKL dibatalkan. Rapat kedua, masih sama, dibatalkan. Rapat ketiga Total Football, SKL diketuk oleh Megawati.
“Mati aku!” reaksi Kwik.
“Kalau ibu Mega menerbitkan, maka akan sangat sulit di kemudian hari.”
Kemudian Bambang Kesowo langsung menulis sebuah catatan dan diletakkan di pinggir presiden.
“Ya sudah… kita putus akan menerbitkan (SKL),” kata Megawati.
Kita ceritakan barang ini turun-temurun ke anak cucu. Begitulah caranya ‘value investing’, bank digital, ‘kerja cerdas’, dan cita rasa sukses.
Ceritakan juga tulisan pajangan seperti tercantum di website Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang Ketua Dewan Pengarahnya adalah Megawati Soekarnoputri: KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA.
Sialnya, Presiden kita adalah petugasnya!
Salam Taipan.