Pertemuan Ciganjur dihadiri empat tokoh, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Amien Rais. Menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya : Konsisten pada kesatuan dan persatuan bangsa./ist
OLEH Hendrajit, Wartawan Senior.
DALAM episode pertama tulisan terdahulu, saya berjanji untuk menggambarkan bagaimana keempat sosok yang tergabung dalam Kelompok Ciganjur tersebut sebagai kesatuan dan barisan. Mari kita mulai dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kalau bicara organ basis dan akar rumput tiada lain adalah Nadhlatul Ulama. Kurang apa lagi,. lha wong cucu pendiri NU, Hadratus Syech Hasyim Asyary.
Namun jejaring terorganisir yang yang beliau rajut sejak paruh kedua masa pemerintahan Orde Baru, justru yang paling menentukan dalam menyusun skema dan agenda politik Gus Dur.
Pertama adalah jejaring para cendekiawan maupun agamawan lintas agama, dan jejaring kerja yang dirajut lewat para pegiat sosial-ekonomi maupun sosial-budaya Muslim yang berkiprah lewat Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan perguruan tinggi.
Namun pada skala yang lebih praktis dan operasional ketika Gus Dur mulai menjabat Ketua PBNU, jejaring terorganisir mulai semakin mengerucut dan melembaga sebagai sarana untuk melancarkan Operasi Politik, yaitu terbentuknya Forum Demokrasi.
Dari sinilah simpul-simpul pergerakan politik yang lebih rumit mulai terlihat dengan masuknya beberapa eksponen angkatan 66 yang kritis terhadap pemeintahan Suharto seperti Marsilam Simanjuntak, Rahman Tolleng, Todung Mulya Lubis. dan beberapa eksponen Sosilias Demokrat lainnya yang satu nasab dengan duet Marsilam-Tolleng. Beberapa cendekiawan Muslim yang sehaluan dengan pandangan Gus Dur seperti Djohan Effendi dan AS Hikam juga bergabung di dalamnya. Juga bergabung salah satu simpul dari kalangan nasionalis yang juga karib Gus Dur, Bondan Gunawan.
Melalui Forum Demokrasi, meskipun keanggotaan yang telibat di dalamnya bersifat longgar karena cuma semacam kelompok studi, namun kaukus politik Pasca Suharto secara sistematis dan terencana dirajut lewat organ yang kerap lebih populer dengan sebutan Fordem. Oleh sebab lewat para pemain kunci Fordem seperti Marsilam, Tolleng, Djohan Effendi dan Bondan Gunawan, seluruh eksponen jejaring aktivis LSM yang termasuk Big NGO, berada dalam jejaring terorganisir dan barisan Gus Dur.
Lantas bagaimana dengan Amien Rais? Tentu saja organ basis adalah Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia selain NU. Namun bagaimana jejaring terorganisir dan barisan yang terajut di belakang Amien Rais? Sebetulnya Amien lingkup hubungan dan jejaring yang terbangun tidak seluas Gus Dur di luar lingkup organ basisnya.
Kalau Gus Dur selain lingkup kompoennya luas juga beragam, meski kebanyakan yang berkiprah di lingkup LSM dan perguruan tinggi, namun Amien Rais selain dari organ basisnya Muhammadiyah, lingkup jejaringnya hanya meluas di seputaran lembaga-lembaga kajian seperti LIPI maupun para akademisi dan cendekiawan perguruan tinggi lintas provinsi.
Namun ada peristiwa yang tak terduga, atau sebenarnya sudah dirancang lama, saya kurang pasti, dan itu terjadi pada sebuah seminar di Hotel Rodison, Yogyakarta, pada 1997. Dalam pertemuan yang bisa dibilang semi seminar atau semi rapat, hadir dalam pertemuan tersebut selain Amien Rais juga pengusaha nasional Arifin Panigoro. Singkat cerita, dalam pertemuan tersebut terbentuklah suatu kerjasama strategis mematangkan kejatuhan Presiden Suharto.
Dalam berbagai kesempatan saya kerap menyebutnya “perkawinan siri” Amien Rais dan Arifin Panigoro. Arifin dalam kapasitas pribadi mungkin tidak terlalu penting, namun dilihat dalam konteks sebuah jejaring kerja politik, Arifin boleh dibilang semacam hub atau connecting dot. Karena di dalam jejaring yang melibatkan Arifin itu sendiri, pada masa pemerintahan Suharto praktis masih bergerak di bawah tanah. Selain Arifin ada Marzuki Darusman, SBY, dan Osman Sapta Odang. Adapun dua pengusaha yang juga tergabung dalam jaringan ini dan kelak merupakan dua pemain kunci Golkar pasca reformasi adalah Fahmi Idris dan Aburizal Bakri.
Mereka inilah yang menjadi nuklius politik Indonesia pasca Suharto dan konsolidasi reformasi sejak 1998, dan semakin dilembagakan setelah Pemilu pertama reformasi pada Juni 1999. Maka tak heran jika Amien Rais kelak jadi pemain penting dengan didudukkannya sebagai Ketua MPR sejak 1999.
Untuk sementara cukup sekian dulu soal Amien. Bagaimana dengan Megawati? Terlepas
fakta bahwa Mega merupakan ketua umum PDIP yang semakin diperkuat sejak Kongres Bali pasca reformasi, Mega menjadi tumpuan seluruh geneologi keluarga besar PNI (Partai Nasional Indonesia) maupun kaum nasionalis mahzab Sukarno yang tidak terikat pada keanggotaan PDIP maupun partai manapun.
Maka itu, sejak kepemimpinannya sebagai ketua Umum PDIP dikukuhkan secara legal lewat Kongres Bali, Mega selain ketua umum partai, secara informal juga merupakan simpul dari jejaring kerja politik pendukung Mega dari luar lingkup kepartaian sempit PDIP. Pada konstelasi seperti inilah, Mega bertaut dengan simpul-simpul pergerakan yang dimotori oleh Amien Rais dan Arifin Panigoro.
Jadi ketika waktu 1997-1998 sempat berkembang wacana SIAGA, Solidaritas Aliansi Amien-Mega, atau Mega-Mudrik Sangido yang kelak mencuat dengan sebutan Mega-bintang (PPP), nah itu merupakan varian dari rajutan Amien-Mega yang dibelakangnya adalah para eksponen Jenggala Group yang dimotori Arifin Panigoro.
Lantas bagaimana dengan Sri Sultan HB X? Mungkin hanya sosok inilah yang tidak memiliki jaringan sekompleks ketiga anggota Kelompok Ciganjur lainnya. Selain sebagai Sultan Yogya ahli waris HB IX, keikutsertaan HB X sejatinya merupakan apresiasi dari ketiga tokoh nasional Kelompok Ciganjur atas peran kesejarahan Sri Sultan HB IX semasa revolusi kemerdekaan, maupun persahabatan erat antara Bung Karno dan keluarga besarnya kepada jasa Sri Sultan HB IX.
Selain itu, Yogyakarta merupakan basis penting yang memantik sikap non kooperasi terhadap pemerintahan Suharto baik dari kalangan mahasiswa maupun elemen2 masyarakat lainnya.
Bahkan di kalangan mahasiswa di Yogykarta kala itu, populer jargon “Gejayan Memanggil.”
Melalui latarbelakang inilah, pertemuan Ciganjur digelar. Seperti saya katakan pada episode pertama tulisan, yang menarik bukan kesepakatan tertulis yang tertuang dalam Deklarasi Ciganjur. Yang utama adalah pesan tak tertulis Kelompok Ciganjur sebagai kesatuan dan jejaring kerja politik sehingga menjadi sebuah barisan yang bersifat jangka panjang.
Artinya, meskipun sebagai formasi politik berseberangan, namun dalam visi dan misi tetap satu kesatuan dan satu barisan. Misalnya dalam hal apa? Memilih presiden kepala negara, maupun dalam menyusun formasi politik di parlemen.
Dalam episode awal drama, ketika Presiden Habibie harus lengser dan laporan pertanggungjawaban presiden di depan sidang umum MPR harus ditolak, maka terbentuklah formasi politik yang cukup menarik karena terkesan terpecahnya barisan. Padahal tidak.
Karena sejak hasil pemilu 1999 PDIP tampil sebagai pemenang pemilu dengan perolehan 34 persen, maka arus opini menghendaki Mega sebagai presiden sebagai konsekwensi hasil pemilu yang mendudukkan partainya di rating pertama. Namun karena waktu itu UUD 1945 masih asli dan belum diamandemen, berbagai pihak yang tidak menghendaki Mega jadi presiden, mendapat celah hukum untuk bermain.
Amien Rais dalam koordinasi dengan Jenggala Group yang dimotori Arifin Panigoro, kemudian menggulirkan Kelompok Poros Tengah. Secara kasatmata, banyak kalangan yang menduga, terutama para pendukung Mega garis keras, manuver Amien ini bertujuan menjegal Mega melalui penggalangan partai-partai Islam yang waktu itu memang cukup banyak di DPR/MPR. Ada PAN, PPP, PKB dan PKS. Belum lagi PBB yang dimotori Yusril Ihza Mahendra.
Namun sebagai respons terhadap berbagai manuver politik yang rumit dan kompleks yang kemudian mengerucut pada perhadapan antara Megawati versus Presiden Petahana Habibie, Kelompok Ciganjur dan Jenggala Group menyusun skenario berlapis. Pertama mewacanakan Poros Tengah yang dimotori Amien Rais yang arahnya lebih ke mengawal terpilihnya Mega sebagai presiden lewat pemungutan suara di DPR/MPR.
Dalam skenario terburuk jika langkaha pengawalan Mega ini berkembang jadi komplikasi dan berpotensi gagal, maka skenario B dtempuh. Poros Tengah yang dimotori Amien dan Jenggala Group akan mengalihkan penggalangan dukungannya ke Gus Dur sebagai presiden alternatif.
Pada akhirnya, Skenario B inilah yang dipilih. Mendukung Opsi pencalonan Gus Dur sebagai presiden. Rupanya dalam manuver pasca penolakan laporan pertanggungjawaban Habibie oleh MPR, Amien dan Jenggala Group membaca gelagat permainan akan tidak terkendali. Golkar yang dalam menyikapai laporan pertanggungjawaban Habibie terpebelah antara yang menerima dan menolak, sehingga Habiie kalah suara. Dalam memilih presiden baru, Golkar nampaknya dipaksa untuk bersatu suara. Sehingga syaraqtnya haruslah memunculkan calon presiden yang bukan Megawati.
Di sini Amien dan Jenggala Group yang kebetulan punya mentor yang cukup cerdas dan licin dalam manuver politik, politisi senior Ginandjar Kartasasmita, berpandangan yang penting Golkar bersatu dulu setelah kekecewaan dan kemarahan faksi Habibie di Golkar yang tergabung dalam kaukus Irama Suka(Indonesia Timur). Maka memunculkan Gus Dur jadi pilihan yang tersisa untuk menyatukan semua faksi.
Apalagi dalam jejaring kerja politik Gus Dur yang diorganisir lewat Fordem, Marsilam dan Tolleng punya hubungan perkawanan yang cukup lama sejak era kemahasiwaan. Sehingga keputusan mendukung Gus Dur bukan sekadar menyatukan internal Golkar antara yang pro dan kontra Habibie, tapi yang utama Gus Dur merupakan alat politik nyata terhubungnya operasi politik jejaring Fordem dan Jenggala Group. Baik di dalam Golkar, maupun di PDIP dan PPP yang mana waktu itu Hamzah Haz juga sudah terajut dalam jejaring Amien Rais dan Jenggala Group.
Nah begitu Gus Dur terpilih jadi presiden dengan mengalahkan Megawati yang terpaut perbedaan suara sekitar 100 suara, dalam Sidang Umum MPR hari berikutnya, mulailah pemungutan suara memilih Wakil Presiden.
Pada saat inilah pertarungan antar faksi Jenggala Group di Golkar yang dimotori Marzuki Darusman, dan Kaukus Irama Suka yang dimotori Marwah Daud Ibrahim, mencuat ke permukaan, dengan adegan dramatis ketika Marzuki mematikan mikropon Marwah seraya mengatakan bahwa sikap Marawah Daud bukan garis politik partai.
Singkat cerita, Megawati meemenangkan dukungan suara dan terpilih jadi wakil presiden mendampingi Gus Dur. Maka jadilah duet Gus Dur-Mega sebagai pemimpin pertama di era pasca reformasi.
Sampai sejauh ini, nampaknya skema Fordem yang bersimpulkan Gus Dur maupun Jenggala Group yang bersimpulkan Mega dan Akbar Tanjung di Golkar, berjalan lancar bebas hambatan.
Namun tiba-tiba mencuat dinamika Black Swan yang tak terduga, yaitu merajalelanya orang-orang dekat Gus Dur yang punya jalur langsung atau hotline ke Gus Dur, tanpa harus lewat para eksponen Fordem yang sementara itu sudah mulai menduduki pos2 penting di pemerintahan. Johan Effendi sebagai menteri sekretaris negara, marsilam jadi
menteri sekretaris kabinet. Begitu juga Bondan Gunawan dan AS Hikam.
Berbagai keterlibatan kroni2 Gus Dur sendiri di lingkar NU, membuat jejaring Fordem maupun Jenggala tidak nyaman. Maka ketika muncul informasi keterlibatan Gus Dur dalam kasus Bullogate, maka jejaring Fordem maupun Jenggala Group memainkan kartu ini sesuai kepentingannya sendiri-sendiri.
Faksi Fordem yang dimotori oleh Marsilam sebagai lingkar dalam Gus Dur di istana, memanfaatkan bergulirnya kasus Bullogate di Pansus DPR, untuk alat menciptakan kompromi politik. Salah satu ide yang tercetus dari kubu Gus Dur atas saran dari kawan-kawannya di Fordem, menggiring adanya pembagian kekuasaan antara Gus Dur dan Mega.
Karena Mega menolak dengan alasan tidak ada aturan hukumnya, maka Marsilam menggagas terbentuknya Tim 7. Yang terdiri dari SBY, Alwi Shihab, Mahfud MD, Marsilam Simanjuntaka dan Khofifahn Indar Parawansa.
Di sini mulai terlihat agenda tersembunyi Marsilam dan klan Fordem untuk secara terencana memanggungkan SBY secara bertahap sebagai presiden masa depan. Selain dipanggungkan sebagai ketua tim 7, pada saat skema tim 7 gagal untuk mengawal skema pembagian kekuasaan antara Gus Dur dan Mega. Maka Marsilam kembali menggagas konsep baru. Pelimpahan kekuasaan ala Supersemar kepada SBY.
Waktu itu dalam atmosfer eforia reformasi dan kecurigaan bangkitnya kembali Orba, maka manuver klik Fordem memanggungkan SBY sebagai pengembang surat perintah Gus Dur, dianggap sebagai rencana kudeta merangkak. Padahal kalau kita cermati manuver SBY pasca surat pelimpahan wewenang, bukanya melemahkan gerakan Pansus DPR mengusut Bullogate, malah secara teknis membiarkan aksi tersebut tetap berlangsung.
Namun pada perkembangannya, Gus Dur ini tidak sepenuhnya mengandalkan bisikan dan kisikan dari Marsilam dan klik Fordem. Gus Dur juga dapat masukan dari orang-orang dekat Gus Dur dari lingkaran NU maupun keluarga. Termasuk masukan dari adiknya, alm Hasyim Wahid (Gus Im). Yahya Staquf yang waktu itu Jubir presiden. Belum lagi ada Adi Massardi.
Alhasil, karena merasa skema Fordem dianggap tidak efektif menyelamatkan Gus Dur, lantas Gus Dur bersikukuh untuk mengumumkan dekrit presiden membubarkan parlemen. Menyadari langkah tegas Gus Dur yang kekeuh mau dekrit presiden, maka klik Fordem mulai melihat gelagat ini sebagai bunuh diri politik. Maka, sejak saat itu klik Fordem yang dimotori Marsilam lepas tangan.
Maka dalam konstelasi seperti itu, Jenggala Group yang menguasai konfigurasi politik di DPR/MPR kecuali PKB dan Partai Damai Sejahtera, mulai mengambil-alih skenario permainan. Semakin kencang mengeluarkan memorandum Bullogate yang menyatakan Gus Dur bersalah.
Dalam situasi yang xemakin memanas dan Gus Dur akhirnya mengumumkan dekrit, titik balik terjadi. Gus Dur dilengserkan lewat Sidang Istimewa MPR, dan Megawati terpilih sebagai presiden menggantikan Gus Dur.
Sejak saat ini, Gus Dur secara sadar turun panggung. Klik Fordem hilang dari peredaran, karena kartu trufnya sudah jadi kartu mati. Sedangkan Jenggala Group berjaya, karena kartu trufnya Megawati justru berkibar.
Skema ini berjalan lancar, namun konfigurasi dan formasi politik baru nampaknya harus segera disusun ulang, menyusul pertikaian antara Mega dan salah satu menteri andalannya, Menko Polhukam SBY. Yang berujung pada keputusan SBY mengundurkan diri dari kabinet Megawati. Sekaligus jadi momentum SBY mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2004, yang merupakan pilpres langsung pertama di era refomasi.
Gimana cerita selanjutnya, ikuti episode ketiga tulisan saya selajutnya. Cheers. ()