Pertemuan Ciganjur dihadiri empat tokoh, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Amien Rais. Menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya : Konsisten pada kesatuan dan persatuan bangsa./ist
OLEH Hendrajit, Wartawan Senior.
SEBENTAR. Saya ingat-ingat dulu ampai mana saat saya mengakhiri episode kedua tulisan saya kemarin ya? Oh ya, saat SBY pecah kongsi dengan Presiden Megawati, dan memutusukan mundur dari kabinet sebagai menko polhukam.
Jadi kalau mau menelisik sampai terjadinya pecah kongsi keduanya, kita harus kilas balik saat Megawati ditetapkan sebagai presiden pengganti Gus Dur oleh Sidang Istimewa MPR. Karena Mega sudah definitif sebagai presiden, maka MPR fokus memilih siapa wakil presiden pendamping Mega. Nah di sinilah drama berikutnya dri Kelompok Ciganjur dan Jenggala Group mulai dipentaskan.
Misi Poros Ciganjur-Jenggala ini berlapis dua. Pertama, melalui koalisi lintas partai yang tentunya minus PKB yang tetap konsisten mendukung Gus Dur dan menilai pelengseran tokoh sentral NU itu merupakan hasil dari konspirasi ketimbang koalisi, mencalonkan Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sebagai wapres pendamping Mega.
Namun sontak, Akbar Tanjung yang waktu itu Ketua Umum Golkar, juga mencalonkan diri sebagai wapres yang tentunya dijagokan Golkar. Waktu itu suasana memanas dan terpancar betul kemarahan dan kegusaran Hamzah Haz, karena hal itu berarti konstelasi dukungan suara yang semula aman dan bisa dipastikan akan menang dalam voting, tiba-tiba suara bisa jadi pecah.
Bagi Mega yang pastinya saat itu menimbulkan kekecewaan atau bahkan kemarahan para pendukung die hard Gus Dur, memilih sosok sentral NU sebagai pendamping jadi amat penting. Di sini para skondan politik Mega cukup jeli perhitungan politiknya. Di dalam pemetaan internal NU, ada sebuah kutub yang sangat diperhitungkan dan punya basis akar rumput cukup kuat di luar lingkar inti kelompok Gus Dur. Kelompok Cipete ini ini salah satu tokoh panutan dan imam besarnya adalah KH Idham Kholid. Disebut Kelompok Cipete karena ini rumah tempat tinggal Pak Idham.
Nah Hamzah Haz, merupakan sosok kader NU yang berada dalam naungan bimbigan Pak Idham dan Kelompok Cipete. Maka manuver para skondan Mega mencalonkan Hamzah Haz, dipandang sangat taktis dan bahkan strategis. Selain daripada itu, Hamzah Haz bisa juga berhasil masuk dalam orbit Jenggala Group. Maka Hamzah sejatinya merupakan bagian dari jejaring kerja politik Mega di luar struktur PDIP.
Kembali ke manuver politik yang memanas gegara Akbar Tanjung mencalonkan diri juga sebagai wapres, maka skenario Jenggala Group bisa terancam ambyar kalau suara terbelah antara yang pro Hamzah dan pro Akbar. Namun di saat genting itu, muncullah tokoh alternatif ketiga, Susilo Bambang Yudhoyono. Yang juga mencalonkan diri sebagai wapres.
Dengan tampilnya SBY sebagai calon alternatif di antara Hamzah dan Akbar, maka Jenggala Group yang bermanuver lewat Koalisi Lintas Partai (PDIP-PAN-PPP-PKS) kembali dapat diuntungkan situasi. Kalau saya cermati kilas balik pemunculan SBY sebagai alternatif pada waktu itu, memang berhasil mengkanalisasi dukungan suara yang berpotensi ke pihak Akbar, agar mendukung SBY. Sehingga Akbar kehilangan dukungan potensial.
Kedua, nah di sini Jenggala Group dan Kelompok Ciganjur dalam bacaan saya, justru menerapkan pakem logika terbalik. Bukannya bersekutu dengan musuh hari esok. Tapi bersekutu dengan musuh hari ini yang akan jadi sekutu hari esok.
Gini penjelasannya. Mega dan Jenggala Group butuh dukungan diam-diam SBY untuk mengacaukan konstelasi dukungan Akbar dengan cara ya itu tadi, SBY sendiri mencalonklan diri. Dengan demikian, para pendukung Gus Dur maupun yang tidak menukung skema Jenggala Group dan koalisi lintas partai, baik di DPR maupun MPR yang kala itu karena masih UUD 1945 asli, masih ada utusan golongan dan utusan daerah, mendapatkan pijakan yang aman dan nyaman pada diri SBY.
Kenapa saya katakan Ciganjur dan Jenggala ibarat bersekutu dengan musuh hari ini demi persekutuan hari esok? Karena dengan memunculkan SBY, maka menantu pak Sarwo Edhy ini memulai debutnya sebagai politisi. Meski SBY kalah dalam voting, dua misi tercapai. Memecah dukungan suara yang pro Akbar, dan kedua, SBY sebagai tokoh pimpinan nasional mulai manggung di pentas politik nasional.
Ketika Mega menyusun kabinet, SBY mendapat pos sebagai menteri Polhukam. Jusuf Kalla, yang juga merupakan putra pendiri NU yaitu Haji Kalla, jadi Menko Kesra. Dalam masa antara 2001-2004 pemerintahan Mega memang diguncang banyak masalah, termasuk aksi terorisme di Bali. Dan dalam menerapkan strategi dan cara menangkal dn menanggulangi ancaman terorisme, yang sering terlibat percekcokan sengit justru kerap terjadi antara SBY dan Wakpres Hamzah Haz.
Adapun di pos-pos ekonomi, skema Jenggala Group sepenuhnya pegang komando. Dorojatun Kuncorojakti jadi menko ekonomi. Budion jadi menteri keuangan. Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi.
Pada 2002 saat Mega presiden, UUD 1945 diamandemen. MPR bukan lagi lembaga negara tertinggi. Dan atas dasar UUD 1945 hasil 4 kali amandemen, maka UU Pilpres melalui pemilihan langsung segera dibuat.
Maka paradigma politik baru pun tercipta. Disinilah momentum persekutuan kembali Kelompok Ciganjur dan Jenggala Group dirajut kembali setelah terpaksa memecah fromasi pada saat pemilihan wapres antara Hamzah versus Akbar.
Sebab dalam lanskap politik pemilihan presiden langsung, perlu sosok yang populer dan punya magnet untuk menarik dukungan suara dari berbagai kalangan. Seraya mengamankan kendali kekuasaan Kelompok Ciganju dan Jengala Group dalam lanskap politik baru pasca reformasi. Dan sosok yang tepat untuk dipanggungkan untuk mengamankan hajatan oligarki baru ini adalah SBY.
Maka dimunculkan lah plot selanjutnya untuk semakin menyempurnakan skenario, maka tayangan drama selanjutnya mengambil tema: SBY melawan Megawati.
Ikuti kisah selanjutnya pada episode keempat tulisan saya berikutnya. ()