M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.(foto ajiesukma/JakSat)

By M Rizal Fadillah

MESKI muncul agak lambat untuk klarifikasi, Mega menayangkan video yang menunjukkan kesehatannya. Dipertanyakan mengapa Sekjen Hasto tidak berada di dekat Ketum di momen penting ini. Mega justru didampingi dua petinggi PDIP lainnya.

Sedih akibat orang membicarakan sakitnya, Mega seperti menahan tangis haru atas perhatian besar pendukungnya. Dengan nada pasrah berbasis kesabaran, Mega menampilkan wajah lain dari yang biasanya. Sekretarisnya dilarang mengamuk ketika mantan Menterinya minta agar soal sakit tidak ditutup-tutupi. Terlihat dalam gambar sebelah, Hasto Kristiyanto menyeka air mata, turut bersedih.

Mengingat hal ini berhubungan dengan partai politik dan tokoh politik, maka wajar muncul berbagai tafsir politik. Ada yang membela habis dan mengecam hoax media, ada pula yang menilai jangan-jangan ini adalah skenario partai untuk bermanuver “playing victim”. Cara mengucapkan, gestur tubuh, tertawa, nyinyir, marah atau tangisan yang dilakukan oleh tokoh politik maupun pejabat dapat ditafsirkan secara politis.

Ada lagi yang mengambil momen untuk cari muka dengan melapor-laporkan ke Kepolisian. Hersubeno Arief akan dilaporkan oleh Gardu Banteng Marhaen ke Bareskrim Mabes Polri dengan alasan menyebarkan hoax. Banyak kalangan menilai bahwa Hersubeno Arief sana sekali tidak menyebarkan hoax tetapi memverifikasi atau mendorong agar ada klarifikasi.

Jika benar dilaporkan maka isu akan semakin bergulir dan membesar. Bukan simpati tetapi juga antipati. Pertarungan politik bukan Mas Hersu dengan Banteng Marhaen lagi tetapi menohok pada Hersubeno versus Megawati. PDIP tidak mendapat manfaat dari guliran ini.

Penyebar awal lah yang semestinya diperiksa, jangan jangan itu dari kalangan internal partai sendiri. Sebenarnya ketika belum ada klarifikasi atas suatu berita, maka semua informasi secara hukum belum dapat dikualifikasi hoax. Setelah ada penjelasan dan pembuktian tetapi masih juga disebarkan maka barulah disebut penyebaran hoax. Disinilah sering terjadi salah kaprah dalam pelaksanaan hukum dan disini pula jebakan-jebakan politik bisa dimainkan.

Tangisan politik Mega ini untuk kedua kalinya. Pertama saat menangisi Jokowi yang menurutnya sering disebut “kurus” dan “kodok”. Ia merasa iba kepada Jokowi. Kedua ya inilah saat ia mengiba dirinya sendiri. Mega terharu atas perhatian orang yang memperdulikan diri dan kesehatannya.

Sebagai manusia wajar jika secara emosional banyak hal yang membuatnya menangis. Wanita ataupun lelaki, petinggi maupun rakyat jelata. Rakyat yang kini banyak menangis karena penderitaannya. Sebenarnya hewan pun bisa menangis pula. Sebagai contoh pada Januari 2013 terungkap berita bahwa seekor banteng yang akan dipotong menangis.

Shiu salah satu pekerja di rumah potong hewan merasa gemetar ketika melihat si banteng matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba banteng itu berlutut dan meneteskan air mata. Shiu menarik-narik, tetapi hewan itu menolak bergerak. Akhirnya ia membatalkan niat untuk memotong dan segera mengumpulkan dana. Ia serahkan banteng itu kepada biarawati di sebuah kuil untuk memeliharanya. Banteng bisa berdiri dan bergerak mengikutinya.

Tayangan video telah ditampilkan, klarifikasi telah dilakukan. Mega sehat. Yang belum terjawab adalah siapa yang memulai melempar isu Mega sakit keras sehingga menjadi “Isu Nasional” ? Maklum Ketua Umum dari partai berkuasa.

Rakyat tidak menghendaki adanya tangisan berseri. Mega tentu memahami hal ini. Bangsa butuh spirit perjuangan yang didorong oleh para pemimpin negeri yang timbul tenggelam bersama rakyat. Bukan yang jauh dari penderitaan rakyat atau sekedar pandai mempermainkan perasaan rakyat.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 12 September 2021