Gedung KPK/JAKSAT-ata

JAKARTASATU.COM Diskusi Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini yang bertema “Evaluasi Kelembagaan dan Kinerja KPK” yang digelar pada, 19 September 2021, malam
menarik. Hadir yang berbicara Wijayanto, (Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES) dan Malik Ruslan, Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES

Inti dari diskusi ini adalah bagaimana menyelamatkan demokrasi kedepan di tanah air ini. Dan sorotannya adalah menyelamatkan KPK dan menyelamatkan demokrasi ke Depan.  Dalam pengantar forum Prof Didik J Rachbini membuka isi politik yang tidak berhenti diperbincangkan publik sampai hari ini adalah soal pemecatan 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal itu menjadi amat penting dibahas karena pangkal persoalan dari kemelut KPK adalah keputusan politik yang telah diambil negara untuk mengamandemen UU KPK yang lama. Amandemen UU KPK tersebut ditengarai lahir dari lobby-lobby politik tingkat tinggi DPR dan eksekutif (Presiden).

“Dari rekaman sejarah upaya pelemahan KPK sejak 15-20 tahun lalu, para politisi memang tampak berkeinginan untuk memberangus KPK. Tetapi menjadi gagal karena Presiden menolak dan rakyat selau keras setiap upaya pelemahan KPK. Ketika presiden setuju maka jadilah amandemen tersebutn seperti yang sudah terjadi sekarang, meskipun rakyat menolak dan melakukan demonstrasi di seluruh antero negeri,”jelas Didik.

Didik dengan tegas juga mengatakan bahwa disimpulkan jika presiden selaku kepala negara tidak memberikan persetujuan atas usulan pelemahan KPK, maka sejak dulu upaya amandemen KPK tidak akan pernah berhasil. Amandemen UU KPK yang saat ini berhasil dilakukan adalah karena presiden setuju. DPR dan presiden melakukan kerjasama melakukan amamndemen menempatkan KPK di bawah kekuasaan. Meski ditentang keras oleh aksi-aksi penolakan lewat demo-demo mahasiswa, tetapi amandemen UU KPK tetap berjalan dengan dukungan buzzer politik di media sosial. “Sejak itu KPK seakan hanya menjadi alat politik dan kekuasaan yang terus dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk memberangus lawan politik, alih alih berfungsi sebagai lembaga penegak hukum dalam perang besar melawan korupsi,”ungkapnya.

Sementara itu Malik Ruslan Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES menyoroti
setelah agenda amandemen UU KPK berhasil dilakukan, dan sekarang proses pemecatan 56 pegawai kritis KPK juga telah sukses dilaksanakan, maka KPK saat ini memang tengah menghadapi persoalan paling sulit sepanjang hidupnya.
“Program pemberantasan korupsi pun nampaknya telah mengalami perubahan fokus. Kalau dulu prioritas pertama KPK adalah pada penindakan, maka sekarang diubah, menjadi pendidikan anti korupsi dan pencegahan korupsi,”jelasnya.

Mali juga memaparkan bahwa korupsi yang dalam metafora telah tumbuh menjadi sebuah pohon besar dengan rangkaian cabang dan ranting telah menjadi sesuatu yang amat menggurita sampai ke daerah. Beberapa kasus korupsi di daerah bahkan sampai melibatkan keluarga anak beranak, dan juga kasus yang melibatkan mantan gubernur Sumatera Selatan serta seorang mantan walikota di Jawa Timur, menunjukkan percabangan yang semakin kompleks dari perilaku korupsi. Termasuk aspek budaya dan cara berpikir warga masyarakat terhadap pola perilaku korupsi para pejabat.
“Saat ini negara sebenarnya sedang bingung mau diapakan lembaga anti rasuah KPK. Negara memang ditengarai terlibat dalam pelemahan KPK, tapi juga tidak mau diseret dalam kemelut yang menjadikan aktor negara sebagai pihak yang turut berperan dalam pelemahan itu,” paparnya.

Wijayanto yang menjadi nara sumber kali ini mengungkap bahwa sejarah keinginan untuk memperlemah peran KPK sebagai ujung tombak dalam perang melawan korupsi memang telah terjadi pada masa-masa sebelum sekarang. Namun yang membedakan misalnya pada masa Cicak vs Buaya 1, 2 dan 3 (kasus Soesno Duadji), upaya pelemahan itu selalu kandas karena presiden kala itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak untuk menyetujui pelemahan KPK. Presiden pasang badan untuk membela KPK.

“Namun apa yang terjadi pada 2019 lalu ketika DPR justru mengesahkan amandemen UU KPK dalam ketuk palu yang hanya berlangsung sekitar 20 menit untuk perbincangan pengesahan amandemen UU KPK. Menjadi lebih tragis, ketika Presiden Jokowi tidak kunjung mengeluarkan Perppu agar membatalkan amandemen UU KPK tersebut,”bebernya.

Ditambahkannya bahwa Presiden ditengarai justru menjadi bagian dalam proses pelemahan KPK dengan menyetujui apa yang telah diusulkan parlemen untuk merevisi UU KPK. Dari jejak rekam selama reformasi bergulir, Presiden Jokowi menjadi kepala negara di era reformasi yang paling sukses melakukan pelemahan KPK dan tidak berbuat apa-apa untuk melawan pelemahan tersebut.

“Tetap berlangsungnya pemecatan 56 pegawai KPK juga menjadi penanda lainnya betapa Jokowi menjadi presiden yang paling tidak peka dengan aspirasi rakyat. Hal itu terekam ketika terjadi protes dan demo-demo besar ratusan ribu mahasiswa di seluruh Indonesia bersama kelompok-kelompok masyarakat yang menolak amandemen UU KPK (2019), Pengesahan UU Omnibus Law dan UU Minerba (2020) sebagai contoh. Namun semua protes tersebut tidak didengar,” ungkapnya.

Masih kata Wijayanto berbagai analisa para ilmuwan politik internasional yang menyoroti perkembangan demokrasi di Indonesia memang menyatakan telah terjadi proses kemunduran demokrasi yang cukup parah di Indonesia, bahkan mengarah pada kembalinya otoriterisme. Rangkaian kejadian dalam contoh-contoh di atas telah menguatkan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Analisa struktur politik yang terjadi pun menyatakan bahwa terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia, tak lain berlangsungnya hal yang kurang lebih sama ketika masa Suharto berkuasa, yakni adanya konspirasi oligarki dengan penguasa untuk melanggengkan kekuasan dan kekayaan yang dimiliki.

Hal lain dinyatakan, kenapa di era presiden Habibie, Gus Dur dan Megawati tidak terjadi kemunduran serius dalam perkembangan demokrasi di Indonesia? karena para aktor politik yang terpilih secara demokratis tetap menjaga kualitas demokrasi agar tetap sehat. Namun, hal yang tragis terjadi pada era sekarang, di mana para aktor politik pemenang pemilu dari pemilihan yang berlangsung secara demokratis, justru menjadi aktor-aktor politik yang terlibat dalam proses kemunduran demorasi dengan cara memunggungi demokrasi yang ada, tambahnya.

“Proses kemunduran demokrasi yang berakibat serius pada KPK sebagai lembaga utama pengemban amanah reformasi, untuk tegaknya rule of law dalam penegakan hukum yang tidak pandang bulu melalui KPK, telah dinyatakan tidak lagi berfungsi alias mati. Kasus pemecatan 56 pegawai KPK mengindikasikan hal itu. Dari kemelut TWK di KPK diketahui, dari 13 kasus besar korupsi yang tengah disidik, 5 diantaranya justru sedang ditangani oleh para pegawai KPK yang dipecat,”jelasnya.

Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil yang mendambakan kembalinya kualitas demokrasi dan kebebasan sipil menghadapi situasi seperti sekarang?

“Adalah perlunya melakukan otokritik dan konsolidasi dari segenap unsur-unsur masyarakat sipil, termasuk pers/media massa agar bersama-sama berjuang membangun sinergi untuk menyelamatkan demokrasi ke depan,” ungkap Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES ini. |AME/JAKSAT