Amelia Achmad Yani/ist
JAKARTASATU.COM – Putri Pahlawan Revolusi Jendral Achmad Yani, Amelia Achmad Yani memberikan penyataan sikap atas terpukul kejadian kelam 1965, Amelia tetap meneruskan semangat nasionalisme ayahnya dan berkontribusi bagi masyarakat dan Negara.

Ia juga berkomentar panjang atas penghilangan Patung yang bertepatan dengan Peringatan Gerakan Tiga Puluh September (“GESTAPU”) yang ke-56, Puteri Pahlawan Revolusi Jenderal TNI (Purn.) Achmad Yani, Amelia Yani menyampaikan ungkapan rasa keprihatinannya atas berbagai pemberitaan yang beredar seputar upaya pemindahan patung tokoh TNI Angkatan Darat (“AD”) yakni Jenderal Besar TNI (Purn.) Alm. H.M. Soeharto, Jenderal Besar TNI (Purn.) Alm. Abdul Haris Nasution, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Alm. Sarwo Edhi Wibowo.

Sebagaimana kita ketahui, sewaktu meletusnya kejadian GESTAPU, Alm. H.M. Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis (“Pangkostrad”) TNI AD, Alm. Abdul Haris Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan Alm. Sarwo Edhi Wibowo sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (“RPKAD”). Pemindahan ketiga patung perwira tersebut telah diprakarsai oleh mantan Pangkostrad, Letnan Jenderal TNI (Purn.) A.Y. Nasution dan disetujui oleh Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Dudung.

“Pemindahan patung-patung tersebut telah menimbulkan gonjang ganjing di Tanah Air khususnya di lingkungan Keluarga Besar TNI AD. Dilihat dari perspektif tujuan penempatan ketiga patung perwira, yang diletakan pada diorama Museum Komando Cadangan Strategis AD (“Kostrad”) dapat dinilai sangatlah penting, “Pemindahan ketiga patung sangat disayangkan. Walaupun patung adalah sebuah ‘benda mati’ namun patung tersebut merepresentasikan para tokoh TNI AD, sehingga jangan sampai pemindahan patung diartikan sebagai upaya penyimpangan sejarah. Tujuan utama penempatan patung (dalam diorama) agar fakta sejarah dapat ditegakkan dan publik mendapatkan informasi se-akurat mungkin,” ujar Amelia Achmad Yani, Puteri Pahlawan Revolusi, Jenderal TNI (Purn.) Achmad Yani dalam rilisnya yang diterima Redaksi.

Dini hari 1 Oktober 1965, seluruh pimpinan TNI AD berkumpul di Markas Kostrad dan tengah menunggu perintah Presiden Soekarno, Panglima Tertinggi ABRI / Pemimpin Besar Revolusi yang tidak diketahui keberadaannya. Beberapa saat kemudian, Radio Republik Indonesia mengumumkan upaya pengambil-alihan kekuasaan oleh Dewan Revolusi, yang diprakarsai oleh unsur politik yang mempunyai kepentingan, Partai Komunis Indonesia.

“Dalam situasi yang sangat mencekam, ketiga perwira tersebut telah mengambil suatu strategi untuk melumpuhkan Dewan Revolusi, yakni dengan menutup jalan keluar-masuk Ibukota Jakarta, menelusuri keberadaan para Jenderal TNI AD yang telah diculik dan memerintahkan Pangima Daerah Militer Jaya, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah untuk mengumumkan bahwa Ibukota Jakarta dalam keadaan darurat,” tambah Amelia.

Selain itu, strategi yang tidak kalah pentingnya adalah untuk merebut kembali kanal-kanal informasi yang telah dikuasai oleh Dewan Revolusi, yaitu Radio Republik Indonesia dan instansi Telekomunikasi. Dalam menjalankan strategi ini, Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo diperintahkan untuk merebut kembali Radio Republik Indonesia dan instansi Telekomunikasi. Kemudian, sejarah mencatat Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, yang kelak menjadi Mertua dari Presiden Republik Indonesia ke-6, Jenderal TNI (Purn.) DR. (HC) H. Susilo Bambang Yudhoyono, berhasil merebut dan menyelesaikan proses perebutan kedua instansi tersebut dalam waktu 25 (dua puluh lima) menit.

“Perwira-perwira inilah yang memainkan peran utama dalam memulihkan kestabilan politik Indonesia, sebagai insan yang menghargai sejarah, ada baiknya kita tidak melakukan upaya denialisme sejarah, atau penyimpangan sejarah,” lanjut Amelia.
Selanjutnya, bangsa Indonesia mengalami masa-gelap yang cukup panjang dalam menumpas Partai Komunis Indonesia dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berada dibawah naungannya, sampai ke akar-akarnya. Tidak bisa dibayangkan situasi politik pada saat itu, dengan berbagai ancaman instabilitas politik yang dipicu oleh
berbagai kekuatan Partai Komunis Indonesia dan organisasi kemasyarakatan dibawahnya.
Apabila ketiga perwira salah dalam mengambil keputusan dalam berstrategi, maka bukan saja nyawa yang menjadi taruhannya, akan tetapi kestabilan politik Indonesia juga akan dipertaruhkan.
“Seluruh eksekusi strategi penting tersebut dilakukan dengan risiko tinggi, karena tidak adanya perintah atau instruksi langsung dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selanjutnya, sejarah mencatat bahwa Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah,
dan kemudian diarahkan ke Istana Bogor. Apabila sebuah Negara melakukan denialisme atau penyimpangan sejarah, tidak menutup kemungkinan penyimpangan-penyimpangan lainnya untuk terjadi,” lanjut Amelia.
Sungguh disayangkan, pemindahan ketiga patung perwira dapat terindikasi sebagai upaya menghilangkan fakta sejarah. Dalam hal ini, GESTAPU merupakan salah satu lembaran kelam bangsa Indonesia, sebuah peristiwa kudeta yang gagal, penuh darah.
“Berpuluh-puluh tahun setelah kejadian GESTAPU, 56 tahun bangsa Indonesia memendam luka, sudah saatnya kita melihat segala sesuatu secara optimis. Partai Komunis Indonesia sudah tidak ada! Sudah musnah! Karena bangsa Indonesia sudah menentukan arah hidupnya, yaitu Pancasila,” tutup Amelia. (TRA/JAKSAT)