Hendrajit Direktur Eksekutif Global Future Institute/ist
OLEH HENDRAJIT*)
SAYA tidak tahu apa yang ada di benak alm Mas Arifin C Noer ketika membuat film terkait G-30 September 1965. Namun sebagai orang yang gandrung sejarah, saya suka nonton film2 sejarah apalagi yang semi dokumenter seperti film karya mas Arifin ini, meskipun belum tentu saya setuju dengan versi kisahnya. Karena dengan menyaksikan film tersebut, terutama kronoligi dan psikologi para pelaku yang terlibat dalam cerita, baik yang pro gestapu maupun yang kontra gestapu, akan terlihat celah dan titik lemahnya.
Selain dari itu, mas Arifin C Noer yang putra asli Cirebon ini, punya kemampuan simbolik maupun bahasa sanepo untuk mengekspresikan jalan pikirannya lewat gambar ketimbang secara verbal.
Misal pada adegan awal, Bung karno, dengan kaos oblong dan celana piyama, duduk terpekur di ruang kerjanya yang penuh koleksi buku, lalu membaca sebuah buku entah karangan siapa, berjudul Politics has no moral.
Adegan yang tak kalah menarik, pengumuman dari pihak pelaku gerakan lewat RRI mengenai komposisi Dewan Revolusi, yang sama sekali tidak menyebut Sukarno sebagai presiden, apalagi sebagai pemimpin besar revolusi. Adapu pengumuman berikutnya ketika RRI berhasil diserbu pasukan Pangkostarad, Pangkostrad Suharto menyatakan bahwa selain gerakan Letkol Untung itu ilegal, juga menekankan bahwa Presiden Sukarno dalam keadaan selamat dan semua tetap setia pada Sukarno sebagai presiden dan pemimpin besar revolusi.
Kalau kita mencermati plot-plot adegan tadi, sepertinya ada missing link sejarah atau matarantai yangterputus yang tidak terjelaskan dalam sejarah, bahwa antara rencana gerakan 30 September dan pembentukan Dewan Revolusi, ada sesuatu yang tidak menyambung.
Apalagi dalam dokumen-dokumen sejarah yang berhasil disusun secara memikat oleh Viktor Fic dalam bukunya tentang analisa kudeta 1965, tersingkap adanya benturan pendapat yang cukup prinsipil dan perdebatan sengit antara Letkol Untung dan Brigjen Sopepardjo di rumah Susanto di Halim. Letkol Untung yang punya jalur hubungan langsung kepada Ketua PKI DN Aidit dan Syam Kamaruzaman, berpendapat bahwa Dewan Revolusi harus melikuidasi atau menyingkirkan Sukarno. Skenario seperti ini memang kemudian jadi sasaran tembak para pihak yang meyakini bahwa PKI merupakan aktor tunggal gerakan 30 September.
Adapun Brigjen Soepardjo, yang menariknya adalah perwira lulusan Fort Leavenport, Amerika dan berasal dari kesatuan Kodam Siliwangi yang kita kenal sangat anti komunis, berpendapat bahwa pembentukan Dewan Revousi haruslah melibatkan Sukarno tetap sebagai presiden pemimpin besar revolusi. Karena popularitas dan wibawa kepemimpinan nasional Sukarno tak ada duanya kala itu.
Dari konstruksi Dr Viktor Fic tersebut, meskipun tesis utama bukunya tetap dalam kerangka menyorot PKI sebagai pelaku tunggal, ada banyak informasi yang bisa jadi bahan2 untuk penelitian penelitian lebih mendalam.
Sebab dari rekonstruksi Viktor Fic terhadap dokumen-dukumen sejarah yang amat lengkap itu, ada sebuah pola menarik yang sudah terbangun sejak awal. Namun anehnya justru tidak menggugah para sejarawan mengkajinya lebih jauh.
Pertama, meskipun Viktor Fic maupun penulis lain cenderung meyakini dari awal ini adalah rancangan PKI, selalu merujuk pada perintah 4 Agustus 1965 terhadap Untung. Dan fakta ini jadi logis ketika menyimpulkan bahwa PKI adalah dalang tunggal.
Karena ada hubungan jalur langsung antara Letkol Untung yang tergabung dalam Paspampres dan DN Aidit dan Syam Kamaruzaman dari Biro Khusus dan Polit Biro PKI, lewat Waluyo sebagai perantara.
Missing link pertama dari fakta ini, siapa Waluyo yang merupakan mediator Untung yang bergerak di istana dan Aidit-Syam di biro khusus dan politbiro PKI? Karena sosok sama sekali tidak tertangkap radar pengawasan intelijen karena tidak berkiprah di jajaran struktural PKI.
Missing link kedua, kalau memang Untung dan Aidit-Syam memang ada jalur khusus, menjadi misterius ketika sontak melibatkan juga Brigjen Soepardjo ke dalam kancah operasi yang kelak meletus jadi G-30 September 1945. Lebih aneh lagi, dan misteri ini juga berhasil secara non-verbal digambarkan mas Arifin dalam filmya, bagaimana ceritanya seorang brigjen bintang satu dalam operasi dipimpin oleh seorang berpangkat Letkol.
Dari sini saja sudah terlihat kekacauan matarantai komando dalam rencana operasi, yang tak terbayangkan kebodohan semacam ini akan dilakukan oleh Lenin atau Mao dalam merancang skenario perebutan kekuasaan.
Dari sini saya dapat kesan, apapun motivasi di balik gerakan 30 September 1965, sama sekali tidak bersifat ideologis. Namun semata dipandu oleh nafsu kekuasaan dan didasari perhitungan politik yang penuh fantasi dan khayalan, sehingga tidak sesuai dengan kondisi oyektif dan dinamika politik yang berlangsung saat itu.
Dualisme komando Untung dan Soepardjo inilah, menurut saya fakta penting yang harus ditelisik lebih mendalam untuk menemukan motif dan otak sesungguhnya di balik Gerakan 30 September 1965.
Resep cespleng untuk menemukan dua hal itu, kita harus membaca berbagai ragam sumber yang saling bertentangan sekalipun, untuk menemukan kebenaran hakiki.
Sayangnya, kalangan eksponen PKI yang bersimpati pada gerakan itu, selalu mengandalkan jargon bahwa gestapu adalah konflik internal angkatan darat. Padahal Cornell Paper yang disusun oleh Ben Anderson, Ruth McVay dan Frederick Bunnel, belakangan sudah merevisi tesisnya tersebut. Bahwa fakta-fakta yang yang berhasil ditemukan kemudian, ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar konflik internal AD.
Dalam konteks ini, para eksponen PKI justru menghianati diktum Karl Marx yang paling penting, yang justru orang-orang yang sama sekali bukan komunis seperti Sukarno dan Hatta maupun para founding fathers lainnya seringkali merujuk pada karya-karya Marx sebagai pisau analisa bedah sosial-ekonomi, yaitu mengamalkan diktum Marx tersebut: Carilah kebenaran dari fakta-faktanya, karena kebenaran ada dalam praktek.
*) Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) dan Wartawan Senior