Gedung Pertamina/istimewa

JAKARTASATU.COM – Pengamat Ekonomi dari Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai sengkarut mega proyek RDMP Balikpapan bisa menjadi kasus yang besar.

“Kalau semua data dari temuan BPKP yang muncul saat ini benar, maka sungguh ini kasus yang besar,” ungkap Salamuddin Daeng kepada wartawan, Kamis (7/10/2021).

Daeng mengatakan, peningkatan nilai kontrak yang tidak wajar dan pembengkakan nilai kontrak akan membebani Pertamina, mengingat proyek-proyek Pertamina sekarang pasti dibiayai dengan utang.

“Proyek ini tampaknya rawan menjadi bancakan dan konflik antar oligarki, dan punya nuansa politik yang kental,” ulasnya.

Salamuddin Daeng juga menilai, mega proyek RDMP Balikpapan sebenarnya tidak relevan di masa pandemi. “Pertumbuhan ekonomi rendah akan punya dampak penjualan Migas dan petrochemical akan rendah dalam beberapa tahun mendatang,” ulasnya.

Dari sisi geopolitik, lanjut Salamuddin Daeng, proyek itu tidak sejalan dengan agenda climate change. “Yang diperlukan sekarang adalah usaha ke transisi energi dari migas secara bertahap,” tegasnya.

Sehingga, lanjut Salamuddin Darng, penegak hukum harus mengusut tuntas temuan-temuan BPKP pada mega proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan.

“Karena berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar. Belakangan ini makin banyak masalah dalam Pertamina diakibatkan manajemen yang makin buruk,” ujarnya.

Sementara itu, diberitakan sebelumnya, beredarnya pernyataan keras Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) terhadap Konsorsium Kontraktor EPC Kilang RDMP Balikpapan di berbagai media, mengindikasikan terdapat masalah dalam pelaksanaan pembangunan Kilang RDMP Pertamina Balikpapan.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman kepada wartawan Minggu (3/10/2021). “Ahok mengeluarkan pernyataan itu setelah berkunjung ke Kilang Balikpapan pada Senin 27 September 2021. Pernyataannya di akun Instagram @Basukibtp itu pun telah dikutip oleh banyak media,” ungkap Yusri.

Pesan Ahok itu menurut Yusri sangat tegas. Pertama, agar konsorsium kontraktor EPC menyelesaikan pembangunan dengan kualitas yang ditentukan. Kedua, harus sesuai target. Proyek kilang RDMP harus selesai pada tahun 2024, meskipun perencanaan awal akan beroperasi pada tahun 2023. Ahok ingin proyek ini selesai dengan segala konsekwensinya, tetapi harus tetap sesuai aturan dan asas keadilan.

“Pesan ketiga Ahok secara tegas melarang adanya biaya yang bisa merugikan Pertamina dan nilai keekonomian proyek ke depannya. Kekhawatiran ini didasari fakta dimana saat ini telah terjadi peningkatan nilai capital expenditure (capex) cukup signifikan,” beber Yusri.

Yusri menduga, pernyataan keras Ahok itu dilandasi temuan terbaru dari lembaga pemeriksa BPKP yang baru selesai melakukan audit terhadap proyek RDMP Balikpapan.

Proses audit BPKP dimulai sekitar awal Maret 2021, pada pertengahan Juni 2021 ada tiga konsorsium yang pernah ikut tender kilang RDMP Balikapapan diundang resmi oleh pemeriksa BPKP untuk klarifikasi, kata Yusri berdasarkan informasi pejabat kilang Pertamina.

“Konon kabarnya hasil audit telah dipresentasikan kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina beberapa hari sebelum Ahok berkunjung ke kilang Balikpapan,” ungkap Yusri.

Lebih lanjut Yusri mengatakan, dari desas-desus di kalangan internal Pertamina, telah ditemukan tiga hal penting dari hasil audit yang bisa berujung ke proses pelanggaran hukum. Lebih jauh, bila cukup bukti hal ini dapat menjadi pertimbangan rekomendasi penghentian pekerjaan.

“Hal itu ditengarai lantaran telah terjadi advanced payment dan peningkatan nilai kontrak akibat banyak perubahan perintah kerja atau Change Order yang melebihi nilai yang diperbolehkan menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Fakta ini telah membuktikan adanya dugaan pelanggaran yang nyata dan sulit dibantah,”ungkap Yusri.

Selain itu, kata Yusri lagi, hal krusial lain yang telah terjadi ketika proyek akan berjalan, pimpinan konsorsium SK Energi mengundurkan diri.

“Tetapi anehnya Pertamina saat itu menyetujui pergantian Hyundai EC sebagai pimpinan konsorsium. Padahal menurut aturan jika pimpinan konsorsium mundur, seharusnya Pertamina melakukan tender ulang,” beber Yusri.

Informasinya, kata Yusri, berdasarkan pengalaman yang ada, Hyundai E&C secara administrasi saat itu belum memenuhi syarat sebagai pimpinan konsorsium untuk proyek sejenis itu.

“Hingga saat ini, akhir September 2021, kemajauan kerja proyek kilang RDMP Balikpapan baru sekitar 42 persen, jauh dari target semula yakni 84 persen, meskipun pandemi Covid 19 dipakai sebagai alasan pembenar,” kata Yusri.

Cilakanya lagi, kata Yusri, ketika dimulainya proyek ini, telah dilakukan perubahan basic design unit RFCC pada unit gasoline blok. “Akibatnya, diduga konsorsium pemenang terpaksa menaikan nilai proyek menjadi sangat signifikan, yakni awalnya senilai USD 6,5 miliar menjadi sekitar USD 7 miliar,” ungkap Yusri.

Diketahui, kata Yusri, Pertamina pada 10 Desember 2018 telah menanda tangani kontrak EPC dengan Konsorsium SK Engineering & Contraction (leader) dengan anggotanya Hyundai Engineering Co Ltd, PT Rekayasa Industri dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.

“Adapun nilai kontrak EPC saat itu bernilai USD 4 miliar atau Rp 57, 8 triliun untuk pembangunan Inside Battery Limit (ISBL) dan Outside Battery Limit (OSBL). Pembangunan kilang akan diselesaikan dalam jangka waktu 53 bulan terhitung groundbreaking,” ungkap Yusri.

Pembiayaan untuk pembangunan kilang RDMP, menurut keterangan Yusri, sejak awal direncanakan dan dijalankan dengan Trustee Borrowing Scheme. Namun, karena peningkatan Capex yang di luar kewajaran telah mengakibatkan proyek hingga saat ini belum mendapatkan investor yang mau berinvestasi untuk proyek kilang ini.

“Mungkin para investor meyakini tingginya resiko proyek, sehingga terpaksa Pertamina membiayai sendiri, dan konon kabarnya Pertamina hanya sanggup membiayai hingga akhir 2021,” beber Yusri.

Sehingga, kata Yusri lagi, wajar saja jika Ahok baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras. Proyek tidak boleh molor penyelesaiannya dan nilai proyek serta kinerja kilang yang dibangun harus menghasilkan nilai produk berkualitas dengan kapasitas sesuai perencanaan awal, sehingga efisiensi kilang dapat diperoleh.

“Ahok sebagai komisaris utama tentu mempunyai beban tanggungjawab yang besar agar proyek strategis nasional yang merupakan kebijakan Presiden Jokowi untuk menjaga ketahanan dan kemandirian energi nasional dapat direalisasikan segera,” ulas Yusri.

“Tampaknya Dewan Direksi Pertamina Holding dan Subholding PT Pertamina Kilang Internasional saat ini lagi pusing tujuh keliling mencari solusi dari temuan BPKP terbaru ini,” sambung Yusri.

Karena sebelumnya, kata Yusri, pada Sabtu 18 September 2021 Majalah Tempo telah mengupas tuntas proses tender kilang Olefin Tuban dengan judul Cover “Sengkarut Proyek Kilang TPPI” terkait berlarut-larutnya penentuan konsorsium pemenang tender DBC (Design Build Competition) untuk bangun Kilang Olefin TPPI Tuban bernilai di atas Rp 50 triliun.

“Konsep pembangunan kilang dengan strategi DBC adalah yang pertama kali dilakukan oleh Pertamina, yakni dengan menyerahkan semua pekerjaan design yang diawali pemilihan tehnologi atau lisensor untuk tahap pembuatan BED dan FEED dan rencana pembiayaan pembangunanya kepada pemenang tender DBC, sehingga kilang berpotensi menghasilkan produk yang tidak sesuai dengan keinginan pasar”, beber Yusri.

Dari isi berita Tempo tersebut, kata Yusri, memperlihatkan ada potensi masalah dari mulai proses prakualifikasi hingga penetapan pemenangnya. Ada beberapa rekomendasi Dewan Komisaris yang tidak dijalankan oleh tim tender.

“Faktanya, proses tender DBC Kilang Olefin itu dimulai sejak Febuari 2020, pemenang baru ditetapkan pada 6 September 2021, dan pemenang pertama adalah konsorsium Hyundai EC dengan anggota konsorsium PT Rekayasa Industri, PT Enviroment Tehnology International dan Saipem. Pemenang kedua konsorsium Technip Italy SpA, PT Tripatra EC, PT Technip Indonesia dan Samsung EC Ltd,” ulas Yusri.

“Ironisnya, ternyata konsorsium pelaksana kontraktor EPC kilang RDMP Balikpapan adalah hampir sama dengan konsorsium pemenang pelaksana pekerjaan DBC Kilang Olefin TPPI Tuban,” ungkap Yusri.

Oleh sebab itu, kata Yusri, seyogyanya penegak hukum bisa serius menelisik ada apa di balik pesan Ahok terkait proyek RDMP Balikpapan tersebut, dengan melakukan upaya pencegahan potensi kerugian Pertamina.

Sementara itu, ketika perihal temuan BPKP dikonfirmasi kepada Ahok Kamis (30/9/2021) malam, dia hanya menjawab singkat. “Tanya sama Direksi,” ujar Ahok.

Namun, pejabat sementara SVP Corporate Communication and investors Relation PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman ketika dikonfirmasi mengenai hal tersebut sejak Jumat (1/10/2021) pagi hingga Sabtu, mengatakan bahwa pertanyaan itu sudah diteruskan ke Sekretaris Perusahaan PT Kilang Pertamina Internasional, Ifki Sukarya.

Ketika hal itu ditanyakan ke Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya, Sabtu malam menjelang berita mau ditayangkan Ifki baru menjawab. “Lagi disiapkan jawabannya,” ungkap Ifki. (AHM/JAKSAT)