Hendrajit Direktur Eksekutif Global Future Institute/ist

OLEH Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior

KALAU Pak Agus Widjojo mau fair, baiknya menyorot dulu apa praktek demokrasi pasca reformasi sudah melahirkan para pemimpin politik nasional dan daerah benar-bnar berasal dari rahimnya rakyat.

Kalau sudah, baru supremasi sipil atas militer baru bisa ditegakkan, yang mana presiden atau kepala daerah merupakan wujud dari otoritas sipil tertinggi.

Sehingga kalau Pak Agus bilang tentara itu milik presiden jadi masuk akal. Sayangnya ada dua masalah krusial sejak reformasi, yang berakibat pandangan Pak Agus tidak kontekstual.

Pertama, sistem demokrasi kita yang berbasis pemilihan langsung baik legislatif dan eksekutif, dalam politik rekrutmennya dikuasai dan ditentukan oleh sebuah oligarki politik dan konglomerasi ekonomi yang tidak pro rakyat.

Alhasil, pemerintahan terpilih maupun para legislator terpilih sejak hasil pemilu 1999 hingga kini, merupakan agen-agen perpanjangan tangan oligarki politik maupun konglomerasi ekonomi.

Dengan begitu, dalam menerapkan supremasi sipil atas militer, didasari niat dan kepentingan subyektif para oknum penguasa, ketimbang atas dasar meritokrasi dan kompetensi dalam memilih para pimpinan tentara.

Kalau meminjam istilah dalam literatur politik yang saya baca waktu kuliah dulu, subjective civilian control lebih diutamakan ketimbang objective civilian control.

Di sinilah pandangan pak Agus jadi tidak kontekstual.

Kedua, untuk sampai pada ucapan Pak Agus dengan menggunakan frase tentara itu milik presiden, Gubernur Lemhanas kita ini kurang imajinatif dalam membaca sejarah pergulatan di TNI dalam menyusun skema dan strategi tentara dalam ikut berpolitik di luar lingkup dunia kemiliteran.

Nah di sini Agus Wijoyo tidak boleh melakukan lompatan kuantum, tanpa menyelami suasana kebatinan TNI pada era 1950-1970.

Sejak era 1950an, wacana tentara berpolitik bertumpu pada gagasan konsepsi “Konsepsi Jalan Tengah” rancangan Jendral Abdul Haris Nasution, KSAD kala itu. Meski konsepsi jalan tengah terkesan moderat dan tidak nafsu kuasa, namun dalam konsepsi ini terkandung sebuah kesadaran kolektif di dalam kalangan perwira militer, utamanta para pendukung konsepsi Pak Nas, bahwa selain sebagai institusi militer, juga berpotensi sebagai infrastruktur politik. Berarti TNI secara kolektif merupakan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Maka pada prakteknya, TNI bisa menjelma jadi sebuah dewan jendral atau junta militer.

Konsepsi kedua adalah Dwi Fungsi ABRI rancangan Jendral Suharto yang mulai digulirkan pada masa pak Harto mulai berkuasa.

Pak Harto didikan PETA zaman Jepang, lebih dipengaruhi etos samurai dalam pembentukan watak ketentaraannya. Jiwa samurai atau ksatria memang tidak sebatas pada dirinya selaku perwira militer melainlainkan ketika berkiprah sebagai sipil. Namun sifatnya personal, bukan secara kelembagaan. Maka, dalam konsepsi Dwifungsi ABRI, tidak memberi ruang pada tentara sebagai junta militer.

Inilah yang membedakan Suharto dengan Nasution yang didikan KNIL di era Belanda.

Ketika Dwigungsi ABRI dipraktekkan pak Harto, Jendral nasution galau karena gagal menerapkan konsepsi jalan tengah yang oleh suharto malah dimodifikasi dmenjaďi Dwi Fungsi Abri.

Di sinilah tragedi nasution. Konsep jalan tengah yang sejatinya mau digiring sebagai junta militer terselubung, pada prakteknya oleh suharto lewat skema dwifungsi abri, dibajak watak politiknya sebagai junta, sementara para jendralnya beliau jadikan serdadu tentaranya sekaligus serdadu politiknya.

Begitupun, untuk kembali ke pandangan pak Agus, meski format TNI berpolitik lebih menganut mahzab politik Dwifungsi ABRI ala pak Harto selama 32 tahun, semangat dan impian tentara berpolitik berbasis junta militer, tidak pupus begitu saja. Kiranya masih tetap hidup, meski pengaruh politik dan masa hidup Nasution sang konseptor jalan tengah, telah lama tiada.

Makin jadi lahan subur, ketika ototitas sipil di pemerintahan maupun DPR, sejatinya bukan lahir dari rahim rakyat, melainkan dari oligarki politik dan konglomerasi ekonomi. (*)