Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Saat ini tarip listrik relatip stabil itu karena adanya subsidi. Namun perlu diketahui, kelistrikan nasional saat ini di operasikan PLN dng strategi dua panggung. Yaitu panggung depan dan panggung belakang ! Dengan gambaran sbb :
I. PANGGUNG DEPAN :
Keberadaan PLN digambarkan masih belum berubah sejak lahirnya tgl 27 Oktober 1945 sampai saat ini. Masih berfungsi sbg “infrastruktur” kelistrikan di Indonesia. Para petinggi kelistrikan masih terlihat professional dalam melaksanakan tugasnya. Masih melakukan kajian mendalam dan menetapkan RUPTL (Rencana Usaha Pengembangan Tenaga Listrik) meskipun faktanya saat ini terjadi “over supply” sebesar 25.649 MW atau 68,1% (Gatra 15 September 2021). Dan semua itu masih aman selama PLN masih mampu membayar TOP (Take Or Pay) 70% pembangkit yg “tidur” itu, meskipun dari hutang LN. Dan tdk perlu khawatir atas hutang PLN diatas Rp 500 triliun krn NKRI masih ada. Yang penting PLN masih gebyar2 !
Dalam Laporan Keuangan PLN 2020 pun masih menggambarkan bahwa PLN masih untung Rp 5,9 triliun , yang kontradiktif dng pejabat Pemerintah yang lain yang selalu berseru bahwa kelistrikan masih devisit dan masih hrs di subsidi ! Pertanyaannya, sinkron kah antara pernyataan masih di subsidi tetapi di lain pihak untung Rp 5,9 triliun ?
Apalagi suatu saat seorang pejabat Kemenkeu mengatakan PLN masih hrs di subsidi Rp 200,8 triliun pada 2020 ( Repelita Online 8 Nopember 2020). Artinya pernyataan diatas “co eccident” alias “klop” dengan kondisi sekarang yang sebenarnya sudah dalam keadaan MBMS (Multy Buyer and Multy Seller) System, hanya saja PLN P2B (Pusat Pengatur Beban) di Cinere sana, yang mestinya berstatus Independen dan berfungsi sbg Pengatur System Kelistrikan Jawa-Bali dan Pengatur Pasar, saat ini masih di “grip” PLN guna menyelaraskan dng kebijakan subsidi listrik secara Nasional.
Dari kejadian perbedaan statemen atas posisi keuangan diatas, apalagi “jomplang”, mestinya Komisi VII DPR RI panggil Menkeu dan Dirut PLN, klarifikasi mengapa bisa terjadi ketimpangan informasi ? Atau kalau perlu sebelumnya DPR RI tugaskan BPK untuk investigasi PLN ! Tetapi semua tdk dilakukan ! Ada apa ?
Perlu diketahui Konsultan Audit Keuangan PLN 2020 adalah Price Waterhouse Coopers (PWC) adalah Consultant yang dipakai IFIs dalam program penerapan “The Power Sector Restructuring Program” oleh IFIs. Sehingga wajar kemudian mendukung “Pat gulipat” bernama tahap “Provitisasi”, yaitu suatu tahap yang hrs “dilakoni” perusahaan listrik agar memberikan kesan bahwa “privatisasi” berhasil !
II. PANGGUNG BELAKANG :
Sebenarnya sejak terbit “Letter Of Intent” (LOI) 31 Oktober 1997 PLN hrs sudah mengikuti “Blue print” International di Sektor Ketenagalistrikan bernama “The Power Sector Restructuring Program” (PSRP). “Blue print” ini kemudian menjadi naskah akademik UU Ketenagalistrikan mulai UU No 20/2002, UU No 30/2009 yg di kedua UU tsb telah di batalkan pasal “privatisasi” nya , namun kemudian muncul UU No 11/2020 ttg Omnibush Law cluster Kelistrikan pasal 42 halaman 243.
Perlu diketahui meskipun saat ini operasional kelistrikan di topang oleh UU No 11/2020 Omnibush Law tetapi disana ada putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 serta No 111/PUU – XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 yg berisi putusan yg melarang praktek “Vertically Unbundling” atau System kelistrikan harus dilaksanakan secara “Vertically Integrated System” atau total operasional dari “hulu ke hilir” oleh PLN guna memenuhi pasal 33 ayat (2) UUD 1945, yang secara teknis diatur dalam PP No 23/1994 ttg PT.PLN (PERSERO).
III. FAKTA LAPANGAN :
Fakta lapangan Sektor Ketenagalistrikan saat ini mengikuti “Blue Print” PSRP yang diciptakan oleh IFIs (International Financial Institutions) WB,ADB, IMF (disini IMF tidak lebih hanya sbg jubir ). Dan regulasi listrik dalam UU Omnibush Law pun memiliki naskah akademik PSRP ini. Artinya, meskipun saat ini berada pada Rezim yang condong ke China tetapi penerapan System kelistrikan tetap mengikuti “The Power Sector Restructuring Program” milik Rezim Kapitalis.
Apalagi operator lapangan tetap melibatkan “oknum” yang sama seperti JK dan Dahlan Iskan yang di ikuti oleh “embrio” baru seperti Luhut Binsar P dan Erick Tohir !
Maka fakta lapangan di sektor pembangkitan Jawa-Bali saat ini sudah di dominasi oleh Shen Hua, Huadian, Chinadatang, Chengda dkk. Sedang ritail PLN oleh Dahlan Iskan sudah dijual ke perusahaan pribadinya serta Tommy Winata, James Riady , Trihatma serta Taipan 9 Naga yang lain.
Boleh saja Managemen PLN dan Pemerintah menyanggah uraian diatas, namun semua itu berasal dari data yang muncul dalam Seminar Serikat Gabungan di lingkungan PLN pada 22 Juli 2020. Terutama dari karyawan anak perusahaan PLN yang komplain bahwa saat itu hanya 10 % dari kapasitas pembangkitnya (atau 3.000 MW ) yang dioperasikan dari 30.000 MW seluruh Jawa- Bali. Diluar itu adalah Huadian dkk.
Apalagi sekitar sebulan yang lalu Serikat Pekerja Gabungan di PLN berunjuk rasa terkait adanya program “Holdingisasi” PLTP (Pusat Listrik Tenaga Panas bumi) spt Kamojang dll yang akan di akuisisi Pertamina. Semua ini akan mengancam keberadaan karyawan di anak perusahaan PLN.
Namun kalau kita tengok konsep “The Power Sector Restructuring Program”, maka kedepan tidak ada lagi pembangkit PLN yang beroperasi di Jawa-Bali. Untuk itu ada program Holdingisasi PLTP ke Pertamina, kemudian akan disusul dng Holdingisasi PLTU ( semua PLTU akan dicabut dari PLN dan disatukan dalam satu holding BUMN terpisah), semua PLTA akan diserahkan ke Perusahaan Jasa Tirta (dibawah PUPR), sedang PLTGU (Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap) akan direlokasi ke luar Jawa-Bali untuk memperkuat PLW (Perusahaan Listrik Luar Jawa-Bali) selanjutnya PLW kelak akan di “Unbundling” secara horisontal dan masing2 pecahannya diserahkan ke masing2 PEMDA !
Setelah tidak ada pembangkit PLN di Jawa-Bali maka di kawasan tsb akan terjadi “Vertically unbundling”, dan selanjutnya PLN P2B akan di lepas dari PLN dan menjadi Lembaga Independen yang berfungsi sbg :
1). System Operator.
2). Market Operator.
Selanjutnya di Jawa-Bali akan dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPETAL).
Selanjutnya Jawa-Bali diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar bebas (swasta) dan Luar Jawa-Bali duserahkan ke PEMDA.
Dan PLN Holding sesuai kelanjutan LOI 31 Oktober 1997 dinyatakan bubar !
ITULAH ESSENSI “TRANSFORMASI” PLN SAAT INI !!
IV. FENOMENA KARTEL
Sesuai pengalaman empirik yang terjadi di Negara2 lain yang melakukan privatisasi kelistrikan, yg diceritakan Prof. David Hall (Saksi Ahli dari Green Which University, UK) dan Dr. Louis Coral (dari Philipina) bahwa bila sudah terjadi “Total Vertically unbundling” spt Jawa-Bali, akan terjadi MBMS dan selalu disusul terbentuknya sebuah Kartel (gabungan para pengusaha listrik baik dari pembangkit, transmisi, distribusi sampai ritail). Hal ini untuk menentukan harga jual listrik secara ber sama2 dalam satu System ! Dan ini sesuai theori Edhard Eppler (Jerman) yang menyatakan bahwa dalam kondisi apapun Sektor Kelistrikan itu bersifat “Execlussive right” atau “Monopoli Alamiah” !
Maka dalam Ideologi Islam pun ada doktrin bahwa energi (antara lain listrik) harus di kuasai Negara/Kholifah dan haram di komersialkan , sebagaimana Hadhist Riwayat Ahmad, “Almuslimuuna Shuroka’u fii shalasin fil ma’i wal kala’i wan nar wa shamanuhu haram “.
V. KESIMPULAN :
Siapapun penguasa kelistrikan maka dia akan memonopoli nya ! Dan ingat saat sektor strategis seperti kelistrikan sudah jatuh ke orang per orang maka akan ada kecenderungan untuk mencari keuntungan setinggi tingginya !
Dan saat ini Pemerintah masih menutup nutupi kejadian ini dengan kucuran subsidi ! Tapi ingat semua ada batasnya !
Dan ketika kecenderungan tidak kuat lagi , maka Pemerintah akan melepas tarip sesuai keadaan sebenarnya , dan otomatis tarip listrik akan melejit spt terjadi di Kamerun dan Philipina ! Untuk itu rakyat harus lakukan Class Action karena kejadian ini akibat pelanggaran Konstitusi seperti di uraikan diatas !***