JAKARTASATU.COM – Peneliti Senior INDEF & Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan bahwa sata kerugian illegal ekspor nikel Indonesia ke China bisa menyentuh angka triliunan. “Data custom adm of China menyebutkan pada 2020 terdapat 3,4 juta ton impor biji nikel ke China dari Indonesia senilai 193,6 juta USD (Rp2,8 trilun-rate 14,577). Pada tahun 2021 terdapat impor biji nikel China dari Indonesia sebanyak 477 ribu ton,” ungkapnya Faizal dalam Diskusi Publik yang digelar Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bertajuk “Dampak Investasi China untuk Indonesia: Produktif atau Korosif?” lewat Zoom Selasa, 2 November 2021.
Faisal juga mengungkakan dalam ranking dunia negara tujuan investasi Indonesia berada pada urutan ke 26 dari seluruh investasi China di seluruh dunia (data economist intelligent unit). Nomor 1 FDI adalah di Singapura, dari negara tersebut pada 2016 perusahaan-perusahaan China secaa drastis menanamkan investasi di Indonesia ketika semua fasilitas dan kemudahan diberikan.
“Perlu dievaluasi kembali ihwal pekerja dari China yang selalu dibawa oleh investor China tanpa memperhatikan kepentingan banyak warga lokal Indonesia yang membutuhkan pekerjaan. Biasanya, 1 % porsi investasi China akan membawa serta 3,4 % porsi pekerja dari China. Jadi sangat banyak pekerja China yang dibawa bahkan sampai level Satpam dan juru masak. Indonesia harus menegosiasi ulang soal pekerja dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional rakyat Indonesia,” beber Faizal.
Faisal dengan tegas mengtakan bahwa ini amat berbahaya jika suatu negara dikuasai secara total oleh oligarki, bahkan dikabarkan perusahaan China di luar negeri sampai mendesign kudeta suatu negara bekerjasama dengan aktor-aktor lokal.
“Pada 2020 untuk pertama kalinya China menjadi aktor FDI terbesar di dunia mengalahkan Jepang. Bahkan di tengah pandemic China malah menebar 133 miliar USD FDI ke seluruh dunia. Tetapi China juga menjadi negara tujuan investasi nomor 2 terbesar dunia. Pada 2019-2020 FDI yang masuk ke China lebih besar daripada dana FDI China yang tersebar ke seluruh dunia,” jelasnya.
Meskipun demikian sebenarnya lanjut Faisal China akan patuh jika suatu negara menegakkan rule of law secara konsisten. Karenanya amat disayangkan jika Indonesia malah mengumbar segala fasilitas kepada investor luanegeri dengan tidak proporsional.
“Masalah KA Cepat Jakarta-Bandung, yang diragukan bukan kualitas KA China, tetapi soal kualitas investasi sekarang, apakah tetap kondusif ataukah telah menjadi korosif. Apalagi dengan bengkaknya biaya dan ketidakjelasan perhitungan investasi kembalinya modal,” pungkasnya. (aendra/jaksat)