Oleh: K.H. Athian Ali M.Da’i, Lc.,M.A.*
Ketika jatidiri pamit lalu pergi, yang tertinggal hanya kecenderungan hewani, merosot terjun derajat manusia dari “ahsan at takwiim” (QS. At Tin:4) ke jurang “asfala as saafiliin” (QS. At Tin:5).
Mati binasalah hati nurani, moralitas dibelit dalam bungkus kafan, kemanusiaan dikubur di liang lahat terdalam. Innaa lillaahi.
Jasad belum lagi menjadi bangkai, sementara hati nurani keburu punah pada saat belum waktunya mati.
Kemanusiaan dalam diri hanya tinggal nama, Iblis sekalipun tak mampu menandingi, nafsu syaitani yang kini menjelma menjadi ‘llah” (QS. Al Furqon:43).
Manusia semacam ini, yang muntah dari mulutnya hanya janji tanpa bukti,
gemar mencaci-maki kebenaran illahi, karena bertolak belakang dengan syahwat duniawi. Benci melihat yang masih memiliki fitrah iman dan Islam (QS. Al A’raaf:172; Ar Rum:30), lebih dari bencinya Iblis kepada yang sedang meniti shirothol mustaqiim (QS. Al A’raaf:16).
Berulangkali muntah dari mulut tuduhan-tuduhan:
Fundamentalisme, radikalisme, kadrun dan takfiri, demi menutupi kepalsuan keimanan dan keislaman diri sendiri. Kebohongan dan kepalsuan menjadi selimut, untuk menutupi kemunafikan diri.
Manusia seperti ini,
jangankan untuk memimpin orang Iain, bahkan sangat tidak mumpuni untuk sekedar memimpin diri sendiri.
* Ketua Umum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) / Ketua Umum ANNAS Pusat.