By M Rizal Fadillah

Nadiem seperti ‘kalem’ tetapi memang kontroversial. Sejak awal penunjukan sebagai Menteri Dikbudristek pengusaha ojek online ini dinilai sebagai orang yang tidak tepat dalam jabatannya. Nadiem tidak memiliki basis pengalaman manajemen pendidikan yang kuat. Banyak guru besar yang lebih pantas untuk menjabat Menteri Pendidikan.

Kelemahan dalam pemahaman agama mewarnai kebijakan. Road map pendidikan yang steril agama menjadi masalah publik. Demikian juga kurikulum moderasi beragama yang dipastikan sekularistik. Dan terakhir, kontroversi Permendikbudristek 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kontroversi Permen ini karena tidak memenuhi asas hukum yang baik. Secara filosofis tidak berbasis agama padahal persoalan relasi seksual itu sarat akan nilai agama. Secara yuridis cacat karena tidak memiliki payung hukum Undang-Undang sejenis. RUU P-KS gagal menjadi UU. Secara sosiologis Permen ini ternyata mendapat penolakan dimana-mana. MOI, MUI, dan Muhamadiyah minta pencabutan atas Permen tersebut.

Filosofi “barat” yang berbasis kontrak tercermin pada Pasal 5. Menyatakan bahwa larangan dan penyimpangan itu terjadi apabila dilakukan “tanpa persetujuan”. Konsekuensi dengan “argumentum a contrario” atau “mafhum mukholafah” nya adalah apabila dilakukan dengan persetujuan maka menjadi boleh. Karenanya Permendikbudristek ini wajar jika ditafsirkan tunggal yaitu melegalisasi zina, bahkan juga LGBT.

Permen PPKS kontroversi karena di satu sisi berprinsip pada kesetaraan gender, tetapi di lain pihak baik Pansel maupun Satgas ternyata dipersyaratkan minimal 2/3 harus diisi oleh perempuan. Artinya berprasangka buruk dan mendiskriminasi gender laki-laki. Apalagi Pasal 1 menegaskan bahwa norma kekerasan seksual itu berbasis “ketimpangan relasi kuasa”. Dalam agama Islam kedudukan laki-laki dan perempuan adalah mitra.

Bertentangan pula dengan prinsip Ketuhanan YME dan visi pendidikan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Bahwa Sistem Pendidikan Nasional itu untuk “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UU”. Agama itu penting.

Nadiem jika tetap mempertahankan dan menjalankan Permendikbudristek No 30 tahun 2021 ini maka akan disorot sebagai Menteri yang menginjak-injak agama dan moral bangsa. Wajah Makarim berubah menjadi Maa Karim. Yang pertama bermakna “mulia” sedangkan yang kedua justru “tidak mulia”.

Meski didukung oleh Menteri Agama dan beberapa tokoh PDIP, namun Permen ini ditentang oleh kekuatan agama. Situasi tidak akan kondusif bagi Kementrian dan Pemerintah sendiri. Karenanya pencabutan merupakan sesuatu keniscayaan. Buktikan bahwa peraturan itu dibuat dengan bersendikan tertib hukum, tertib sosial, maupun tertib nilai bahkan tertib ideologi.

Kembalilah Menteri Nadiem ke jalan yang mulia, kembalilah menjadi Makarim bukan Maa Karim.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 12 Nopember 2021