Rita Rossie/ist

Oleh Rita Rusman, Aktivis Perempuan Bandung

Di negeri yang katanya Demokrasi, kebebasan kita untuk berserikat dan berkumpul telah dijamin UUD’45. Tapi dalam kenyataan-nya mental feodal dan ABS masih kental dalam kultur bangsa ini.

Telah terbukti betapa kaum puja dan puji akhirnya mendapat posisi, tanpa mempertimbangkan kapasitas serta kapabilitasnya, yang penting bapak senang. Prinsip right person on the right place hanya isapan jempol belaka.

Padahal seorang Buya Hamka saja sudah mengingatkan tidak akan hancur sebuah negeri dengan jutaan kritik tapi akan terjerembab hanya karena sebuah pujian.

Lalu bagaimana nasib para patriot yang mengkritisi negeri ini?

Kebanyakan mereka harus check in di hotel prodeo seperti Buya Hamka jaman Orla dulu.
Tentu saja keadaan negeri ini menjadi semakin menyedihkan manakala benar dan salah menjadi sumir dan tidak lagi hitam putih.

Persatuan yang digaungkan sebagai landasan kekuatan, terkoyak dalam kotak2 kelompok yg mengedepankan kepentingan-nya sendiri.

Mereka bahu membahu melakukan pembelaan dan self justifikasi terhadap kelompoknya masing2.

Negeri demokrasi ini berubah menjadi negeri yang antikritik. Negeri baper yang akan menuduh para kritisi sebagai haters.

Sepertinya negeri ini memang butuh introspeksi lebih dalam, kalau memang ingin menjadi bangsa yang besar.

Bukan besar utang dan keruwetan yang ditimbulkan oleh berbagai kebijakan yang tumpang tindih serta tidak populis.

Kita memang butuh gelombang gerakan moral untuk menyelamatkan bangsa ini, moral para patriotis seperti yang Malcolm X, Katakan: ” You are not supposed to be so blind with patriotism that you can’t face reality. Wrong is wrong no matter who says it”.

Karena kalau kita selalu permisif terhadap sebuah kesalahan, jangan harap bisa melahirkan generasi muda yang patriotis, yang ada malah generasi penerus yang hipokrit dan penjilat.

Bdg,14/11/21