JAKARTASATU.COM – DISKUSI PUBLIK FRAKSI PAN – MPR RI tentang “Tantangan dan Peluang Ekonomi Indonesia Serta Bauran Kebijakan Dalam Menghadapi Issue Carbon Trading” di Bogor, 15 November 2021 mengahdirkan pembicara Eisha M Rachbini, Peneliti INDEF, Drajat Wibowo, Ekonom Senior, Jon Erizal, Ketua Fraksi PAN MPR RI, dan Dr Ir Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Anggota MPR RI Fraksi PAN.
Yang sangat menarik juga disampaikan Drajat Wibowo yang menyoroti Perpres No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan nasional, sudah cukup rinci menjelaskan tentang karbon pada pasal 33 dengan lead sectornya Menteri LHK.
“Kabon dan climate change tidak bisa bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) No. 13 dalam melawan perubahan klim dan dampaknya. Masalah sustainability dan keberlanjutan berperan dalam meningkatkan ekspor dan ekonomi Indonesia. Efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah. Kelalaian mengurusi kelestarian terbukti memberikan kerugian besar baik bagi pengusaha mapun negara,”jelasnya.
Drajat juga mengatakan bahwa perubahan iklim menjadi isu prioritas Joe Biden yang pada 27 Januari 2021 menerbitkan Executive Order (EO) 14008 yang cakupannya tidak hanya di dalam negeri Amerika Serikat (AS) tetapi juga di luar AS. John Kerrry, sang tokoh kunci Paris Agreement, menjadi pejabat setingkat menteri di AS yang mengurusi climate change. Amerika pun tidak hanya mengutus lembaga-lembaga lingkungannya saja untuk mengurusi climate crisis, tapi lembaga-lembaga keamanan nasionalnya juga diminta ikut terlibat. Karena, AS mengantisipasi isu climate change yang oleh AS diprediksi akan menjadi salah satu sumber konflik ke depan.
“Yang menjadi kunci bagi negara berkembang adalah soal finance. Selalu ada komitmen dan selalu ada consensus tapi real mechanism tidak pernah bisa dijalankan sehingga uang 100 miliar USD yang selalu didengungkan sampai sekarang belum terbukti. Monetary value dari carbon agreement yang pertama paling real bisa diihat pada 100 miliar USD. itupun masih panjang karena mekanismenya belum ada,”pungkasnya.
Diforum yang sama Jon Erizal menilai Ekonomi Karbon menjadi penting karena dapat mendorong investasi hijau, mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim, menjadi peluang penerimaan negara, mendorong pertumbuhan berkelanjutan dan mendorong internalisasi biaya ekstenalitas.
“Potensi pendapatan Indonesia dari perdagangan karbon cukup menjanjikan yakni sebesar USD 565,9 miliar atau Rp8.000 triliun. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton,” jelasnya.
Indonesia punya luas area hutan mangrove Indonesia mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekira 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove. Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia sebesa 7,5 juta hektar, mampu menyerap emisi karbon mencapai 55 miliar ton. Total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesarr 113,18 gigaton. Jika pemerintah dapat menjual kredit karbon seharga USD 5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai USD 565,9 miliar atau Rp8.000 triliun.
“Pemerintah harusnya dapat melakukan usaha-usaha signifikan dan merencanakan transisi ke ekonomi hijau dan terbarukan dengan cara meningkatkan inovasi dan implementasi teknologi. Kedua, Adanya upaya penguatan kebijakan pengendalian perubahan iklim dengan mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi ke depan. Ketiga, Penguatan kebijakan pengendalian perubahan iklim yang dilakukan melalui forum-forum internasional untuk memperoleh pengetahuan dan praktik kebijakan yang relevan bagi Indonesia,”paparnya.(aen)