JAKARTASATU.COM – DISKUSI  Forum Ekomi Politik DIDIK J RACHBINI bertema “PANCASILA, AGAMA DAN IDEOLOGI” pada  Rabu, 17 November 2021 dengan pembicara Pipip A.Rivai Hasan, Ph.D., Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies, Kuswanto, MS, Peneliti dan mantan Direktur LP3ES
dan pengantar diskusi oleh Prof. Dr. Didik J Rachbini menarik.

Pipip A.Rivai Hasan dengan tegas mengatakan bahwa ada dua hal yang dapat diidentifikasi dari kesepakatan nasional yang diwariskan oleh para founding father tentang Pancasila yakni pertama posisi Pancasila yang sudah jelas sebagai dasar negara, hasil dari pergulatan pemikiran berbagai macam kubu agama dan kelompok kebangsaan yang mencapai kata sepakat. Kedua yang paling penting harus dipahami adalah, dalam pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilai yang dikandung Pancasila, nilai-nilai keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila beserta Penegakan Hukum yang fair, harus tetap menjadi hal penting harus dilaksanakan dengan konsisten. Contoh yang paling jelas dari negara tetangga adalah apa yang dilakukan oleh negara Singapura dan China.

“Meski sistem politik berbeda, kedua negara tersebut secara konsisten dan konsekuen melaksanakan Penegakan Hukum yang konsisten dan keras terhadap para pelanggar hukum negara, seperti para koruptor yang dihukum dengan keras. Contoh bagus ditunjukkan oleh mantan presiden Singapura Lee Kuan Yeuw yang ketika mendapat tuduhan korupsi oleh pengkritiknya, Lee malah meminta agar dirinya diajukan ke pengadilan dengan tujuan membuka sejelasnya apakah benar dia telah melakukan korupsi seperti yang dituduhkan,” jelasnya.

Prof. Dr. Didik J Rachbini dalam pengantarnya mengatakan bahwa terkait pelaksanaan dan pengamalan Pancasila terkini, terdapat situasi kontraproduktif dan harus dikritisi. Para intelektual senior seperti Romo Magniz Suseno dan Ariel Heryanto juga menyampaikan kegelisahannya, yakni Pancasila yang seakan-akan telah dijadikan alat untuk memukul pihak-pihak yang dianggap berseberangan pendapat dengan kekuasaan, dan juga ada upaya membenturkan agama dengan Pancasila. Contoh paling actual adalah ketika ketua BPIP sendiri pernah menyatakan agama berpotensi menjadi musuh tebesar Pancasila.

“Padahal Pancasila sebetulnya adalah “payung” yang dapat menaungi semua pandangan kelompok agama dan keyakinan lainnya di Indonesia. Agama pun tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi kriminal dan menjadi musuh dasar falsafah negara, kecuali sekelompok kecil kaum yang menyelewengkan agama menurut kepentingannya. Dalam sejarah yang tertulis, tidak pernah Sukarno menelurkan perkataan bahwa Pancasila akan dapat menggantikan agama atau kepercayaan lain di Indonesia,” kata Didik.

REktor Paramadina University ini juga mengatakan dengan munculnya gejala pihak tertentu yang hendak menjadikan Pancasila sebagai alat untuk mendiskreditkan pihak lain, maka Presiden Jokowi harus berhati-hati dengan pihak di kanan kirinya, yang hendak menggunakan isu Pancasila guna kepentingan diri dan kelompoknya. “Sebab kalau presiden diam saja, maka dikhawatirkan presiden akan didiskreditkan,” ungkapnya.

Paramadina sendiri pernah melakukan dialog dengan pihak BPIP, dan mengusulkan kepada pihak BPIP agar tidak sembarangan menyampaikan narasi yang menyudutkan pihak lain dan mengemukakan ide-ide aneh misalnya agar pesantren melakukan revitalisasi aturan penghormatan terhadap bendera kebangsaan, misalnya. Isu tersebut sebenarnya harus bisa diarahkan agar diselesaikan di internal pesantren, dan tidak dibawah menjadi isu nasional. Jika BPIP melakukan langkah-langkah “over” seperti itu, maka dalam metaforanya adalah pemilik sebuah restoran besar dan bersih yang kemasukan beberapa ekor lalat, lalu untuk mengusir lalat tersebut si pemilik restoran melakukan tindakan naif yang akhirnya merusak semua peralatan meja makan, kursi dan lain-lain pada restoran tersebut. Sedangkan untuk mengusir lalat, saat ini bisa dilakukan dengan teknologi sinar yang dapat mengusir lalat dengan aman.

“Nilai Keadilan Sosial dalam sila kelima Pancasila dalam pekembangan ke depan akan mengadapi tantangan serius yakni ketika masuk pada persoalan dampak isu climate change atau perubahan iklim,” tambahnya.

Dampaknya akan mengancam rasa keadilan sosial masyarakat akibat politik kekuasaan dan politik ekonomi ketika suhu bumi pada akhir abad ini diperkirakan meningkat 5 derajat. Hal itu oleh dunia sudah dianggap krisis planet bumi sebagaimana dinyatakan Joe Biden. Namun bagi Indonesia sebagai pemilik banyak hutan tropis dan lahan gambut terbesar di dunia, hutan dan lahan gambut itu bisa menyerap kabon yang banyak serta berpotensi menghasilkan pendapatan sebesar 565,9 miliar dolar USD atau Rp8.000 triliun.

“Persoalan muncul ketika oligarki kemudian akan mengkapling-kapling hutan dan lahan gambut tersebut dan mengkomersialkannya ke dalam bisnis kabon. Pada saat itulah dapat muncul persoalan ketidakadilan sosial,”ungkap Didik.

Sementara itu Kuswanto Peneliti dan mantan direktur LP3ES menyebutkan terdapat dua problem pokok soal posisi Pancasila, yakni :
Pertama, Posisioning Pancasila dalam konteks ketika dasar negara tersebut lahir terkait eksistensi ideologi dan keyakinan agama beserta sistem nilai yang terdapat di dalamnya, dan pasti sudah dipahami secara jelas oleh para pengikutnya yang notabene adalah bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Soal intepretasi Pancasila harus bisa dijelaskan dan dipahami oleh para founding father terhadap bagian terbesar rakyat beragama. Sampai sekarangpun semestinya pemahaman dan penyamaan posisioning Pancasila tersebut harus selalu dilakukan dengan dialog-dialog yang dialogis dan tidak menuruti ego sektoral kekuasaan dalam penafsian tunggal Pancasila.

Ketika memasuki fase posisioning tersebut, kemungkinan terdapat 3 kelompok yang bersikap yakni, 1. Mereka yang tidak paham lalu mengambil jalan kontra produktif misalnya melakukan resistensi masif dan lain-lain. 2. Mereka yang paham tetapi sebenarnya tidak menyetujui. 3. Mereka yang tidak mau tahu, tetapi memanfaatkan posisinya untuk menghantam kelompok yang dianggap berseberangan.

Kedua, Persoalan aktualisasi pengamalan nilai-nilai Pancasila seharusnya bisa mandiri dan tidak bercampur aduk dengan sistem nilai yang terdapat pada agama-agama. Karena, Pancasila pasti tidak punya sistem nilai yang lengkap dan menyeluruh seperti yang dimiliki oleh agama-agama.

“Dalam penafsiran Pancasila, agama pasti kembali pada sistem nilai tersendiri yang dimilikinya. Dan itu harus dimoderasi secara baik oleh para pemuka agama,”tutupnya. (aen/jaksat)