JAKARTASATU.COM – Edna C Patissina, wartawan KOMPAS Group yang paling banyak meng pos di Hankam mengatakan bahwa salah satu yang perlu dipahami kini bahwa sejak Refomasi 98 mengubah secara gradual sistem bernegara kita termasuk TNI untuk lebih profesional sebagai tentara.
“Jabatan Panglima TNI sekarang tidaklah seperti dulu. Dia tidak lagi menjadi lembaga supebody, serba kuasa dan ada di berbagai lini bangsa,”jelasnya dalam DISKUSI PUBLIK FORUM EKONOMI POLITIK DIDIK J RACHBINI, SPACE TWITTER bertema “KEAMANAN DOMESTIK DAN PEKERJAAN RUMAH ANDIKA” pada 19 November 2021.
Edna juga menambahkan bahkan belakangan, pihak partai politik terlihat cenderung suka menarik-narik tentara. Dimaklumi, karena kesan masyarakat kita terhadap tentara masih menempati posisi nomor satu yang disukai pada beberapa survei ketimbang posisi parpol yang cenderung dipandang negatif, jelasnya.
“Jenderal Andika bukanlah sosok panglima yang “angker” seperti typology panglima TNI masa lalu. Ia pribadi yang cukup terbuka, komunikasi dengan media ataupun LSM cukup baik dan kita bebas untuk memberikan masukan atau kritik kepada beliau, meskipun via Whatsapp. Tetapi media pun tahu bahwa sebagai Panglima TNI kita harus menghormati dia dalam posisinya sebagai Panglima,” ungkapnya.
Background Jenderal Andika cukup menarik, lanjut Edna Tujuh tahun studi public policy di Amerika Serikat (AS) menyebabkan Andika paham dan mempunyai karakter kepemimpinan yang cukup terbuka terhadap sipil, baik ketika beradu argumen atau berbeda pendapat, dan mau mengakui jika pendapat kita benar.
“Pengaruh TNI terhadap perkembangan demokrasi. Secara struktural dan kultural sejak reformasi 1998 TNI telah mengambil posisi berbeda, bahkan anggaran pertahanan selalu rendah hanya 1 persen, bahkan tidak sampai. Bandingkan dengan Singapura yang sampai 3 persen terhadap PDB. Malah, masyarakat sipil yang terkesan gagal dalam melakukan konsolidasi demokasi. Hal itu dibuktikan dengan realitas kapasitas birokrasi sipil kita yang memang masih kedodoran di berbagai lini,” ungkapnya.
Ditambahkan Edna terbukti lagi, ketika gawat-gawatnya pandemi covid 19 kemarin, peran TNI dan Polri dalam ikut mengamankan dampak wabah menjadi lebih dominan ketimbang masyarakat sipil yang seharusnya lebih terdepan dalam penanggulangan pandemi covid 19. Padahal, TNI hanya bertugas memantau dan membantu pengamanan. Hal itu sebenarnya tidak disukai tentara karena mereka mengakui tidak disiapkan untuk tugas-tugas di luar tugas pokoknya.
“Mengapa harus tentara lagi yang berada di garis depan. Sehingga dari kejadian itu muncul anekdot bahwa bagi tentara semua tugas harus dikerjakan kecuali tugas pokok. Sekali lagi, masyarakat sipil harus kembali belajar untuk membangun kapasitas dirinya. Hal itu juga sebagai pendidikan bagi kematangan tingkat demokrasi sebuah bangsa, apalagi terdapat adagium bahwa kualitas tentara sebuah negara adalah juga kualitas rakyat dari negara tersebut,” paparnya.
Edna juga menyoroti persoalan Papua, Jenderal Andika cukup sadar, bahwa memenangkan Papua tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan militer saja. Tetapi pendekatan sipil dengan cara operasi melawan insurgensi kepada seluruh rakyat Papua. Bukan perebutan wilayah yang harus dimenangkan, tetapi heart and mind (merebut hati dan pikiran) rakyat Papua, tambahanya.
Meski sebagai prajurit, TNI harus cukup kuat namun bukan untuk menyakiti masyarakat. Yang harus dihabisi adalah pikiran untuk merdeka, bukan orang yang menuntut merdeka. Kunci melawan insurgensi adalah dengan merebut hati dan pikiran rakyat, dan hal itu kini sangat berlomba dengan waktu. Kekalahan Amerika di Afghanistan kiranya cukup menjadi pelajaran.
Masih kata Edna bahwa urgensi melawan insurgensi di tengah rakyat Papua semakin mendesak ketika BPK pada temuan hasil auditnya mengemukakan bahwa sebagian dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua ternyata telah dialirkan untuk membantu OPM. “Hal itu selain menjadi ranah penegakan hukum, juga menjadi sinyal penting untuk segera melaksanakan metode operasi melawan insurgensi dengan merebut hati dan pikiran rakyat Papua,”ungkapnya.
Sementara itu di Fotum yang sama Anton Aliabbas Ph.D, Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy melihat dari aspek legal dan keputusan politik di era reformasi memang ada pemisahan yang rigid terkait pengelolaan pertahanan keamanan. Urusan keamanan diserahkan kepada TNI dan ranah sipil diserahkan kepada Polri.
“Sayangnya, pengambilan keputusan politik lupa ada daerah abu-abu di mana di samping masalah keamanan terdapat juga dimensi pertahanan pada UU TNI Pasal 7 selain melaksanakan tugas pokok, masalah Kedaulatan juga dirinci di dalamnya termasuk hal operasi perang dan non perang yang membutuhkan keputusan negara,” ungkapnya.
Terkait dimensi Pertahanan, menjadi mendesak karena adanya masalah Papua. Masalah Papua jelas adalah masalah Kedaulatan Negara. Meski dilabeli sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), persoalan Kedaulatan Negara menjadi penting karena memang terdapat unsur Separatisme di Papua. Sebagaimana di Aceh keterlibatan TNI mau tidak mau tak terhindarkan karena itu adalah soal keamanan domestik. “Jadi dimensi tugas pokok TNI ada di situ. Meski intensitas keterlibatan juga butuh definisi tersendiri. Jadi, segi keamanan domestik ini harus juga menjadi atensi Jenderal Andika,” jelasnya.
Anto berharap apa yang dilakukan TNI dalam mendorong peran diplomasi militer dalam politik Luar Negeri Indonesia, telah dilakukan kemarin ketika mengadakan latihan bersama skala besar bersama tentara Amerika Serikat. Hal itu menunjukkan upaya Kemenhan dalam meningkatkan hubungan dengan negara-negara yang mempunyai pengaruh kuat, dan dimainkan oleh TNI dengan mencoba memberikan perhatian pada konteks dinamika geopolitik. Lokasi latihan menjadi menarik, di Baturaja Sumsel, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur.
“Persoalan Papua adalah sesuatu yang rumit. Terdapat banyak komplikasi ihwal perebutan kekuasaan dalam Sumber Daya Alam, yang terdiri dari aktor lokal dan internasional yang bisa dikategorikan MNC ataupun faktor USA. Termasuk juga kerumitan cara pandang soal Pepera, atau ada LSM yang selalu mengkritisi pelanggaran HAM di Papua. Namun jika secara jernih dipikirikan, sebenarnya semua pihak mengingihkan agar Papua maju dan rakyarnya sejahtera,” bebernya.
Penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Jenderal Andika terhadap persoalan keamanan domestik, termasuk soal Papua. Dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan di DPR Andika hanya membawa 6 lembar slide (PPT) dengan problem yang disajikan terkesan normatif. Mestinya dipaparkan pendekatannya mau seperti apa dalam persoalan Papua, misalnya. Apa yang akan dilakukan terkait gelar operasi di Papua, apakah sudah ada keputusan negara atau belum, termasuk persetujuan parlemen dan bagaimana operasi intelijen dan sinergitas operasi. “Dalam hal itu harus dituntaskan metode apa untuk menyelesaikan penembakan-penembakan yang terjadi, sehingga publik tidak perlu menebak-nebak pendekatan seperti apa yang akan ditempuh,”ungkapnya.
Anton juga menambahkan sebaiknya Jenderal Andika juga memulai langkah pembenahan personil TNI. Bagaimana formula penataan personil terutama bagi mereka yang terdidik lulusan Inggris dan sebagainya, di mana ruangnya dan sebagainya.
“Namun untuk itu tidak perlu dengan penambahan usia pensiun terlebih masa bakti yang terbatas hanya 13 bulan. Khusus masalah pensiun ini rasanya sipil atau parpol tidak perlu genit untuk memperpanjang usia pensiun Jenderal Andika, hingga nanti terkesan sipil selalu tidak percaya diri,”pungkasnya. (WAN/JAKSAT)