Ahmad Daryoko/IST

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST

Program Privatisasi/penjualan asset/swastanisasi BUMN merupakan konsekuensi logis di tanda tangani-nya LOI (Letter Of Intent) tangal 31 Oktober 1997 oleh Pemerintah Indonesia. Dan didalam argumentasi, dokumen ini muncul akibat hutang LN RI ke “International Financial Institutions” (IFIs) seperti WB,ADB, dan IMF saat itu $AS 140 miliar.

Pada Sektor Ketenagalistrikan, PLN harus melakukan deregulasi dan privatisasi melalui konsep “The Power Sector Restructuring Program” (PSRP) yang diterjemahkan sebagai “The White Paper” Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan oleh Departemen Pertambangan dan Energi RI pada 25 Agustus 1998.

“The White Paper” diatas kemudian dijabarkan (menjadi Naskah Akademik) kedalam UU No 20/2002 dan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan maupun UU No 11/2020 ttg Cipta Kerja Cluster Ketenagalistrikan.

Perlu diketahui, UU diatas memuat pasal “Unbundling” sebagai dasar hukum privatisasi/penjualan/swastanisasi PLN yang semua itu sudah dibatalkan oleh putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dan putusan MK No 111/PUU-XIII/2015 tanggal 14 Desember 2016.

Meskipun demikian semuanya dilanggar oleh penguasa yang sekaligus sebagai pengusaha (Peng Peng), hingga akhirnya PLN dikuasai oleh mereka ini yang bekerjasama dengan Aseng/Asing serta Taipan 9 Naga.

Saat ini asset PLN hanya yang berada di luar Jawa-Bali ( atau hanya 15% dari kelistrikan Nusantara). Sedang yang di Jawa-Bali hanya tinggal Transmisi dan Distribusi saja (PLN hanya sebagai penjaga tower). Akibatnya tarip listrik tidak bisa dikontrol lagi, karena sudah ditentukan melalui mekanisme pasar bebas. Dan akhirnya, sebenarnya, Pemerintah telah mengeluarkan subsidi 2020 sebesar Rp 200,8 triliun (Repelita Online 8 Nopember 2020) meskipun PLN melaporkan pada LK 2020 justru untung Rp 5,99 triliun.

Kejadian diatas menggambarkan bahwa Negara sudah tidak memiliki kedaulatan lagi di Sektor Ketenagalistrikan. Belum lagi dari masalah keamanan, juga sangat rentan gangguan, karena bisa saja mereka melakukan sabotase dengan menghentikan operasional pembangkit dengan alasan teknis, misal pura2 jebol turbinnya, boillernya, generatornya dll.

Pada saat PLN P2B (Pusat Pengatur Beban) yang berada di Cinere sana dilepas dari PLN dan menjadi unit Independent Pengatur System dan Pengatur Pasar nantinya ( sesuai arahan “The Power Sector Restructuring Program”), maka saat terjadi “black out” spt terjadi pada 4 Agustus 2019 yang lalu, Pemerintah akan susah mendeteksi apa penyebabnya. Sementara bila sudah demikian berarti PLN Jawa-Bali sudah bubar. Maka masing-masing unit kelistrikan ex PLN seperti Pembangkit, Transmisi, Distribusi, Ritail, yang sudah dimiliki oleh badan usaha yang berbeda beda, sesuai pengamatan empirik Prof. David Hall (saksi Ahli di MK dari Greenwich University, UK), mereka akan saling lempar tanggung jawab.

Disinilah akan terlihat nantinya, bahwa akhirnya Pemerintah tidak memiliki lagi kompetensi atas sektor ketenagalistrikan itu! Karena telah melanggar pasal 33 ayat (2) UUD 1945, “Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara”.

KESIMPULAN:

Sistem ketenagalistrikan yang sudah dipegang Kartel Swasta diatas, telah memiliki “bargaining position” yang tinggi terhadap Pemerintah karena telah mengambil alih monopoli kelistrikan yang semula di pegang PLN. Dan saat ini PLN hanya dipinjam namanya khususnya dalam mekanisme pemberian subsidi.

Artinya NKRI sudah kehilangan Kedaulatan pada System Ketenagalistrikan. Dan terpaksa harus “menebus” dengan subsidi ratusan triliun serta terpaksa “bersandiwara” agar PLN terkesan masih berjaya dan baik baik saja!

MAGELANG, 23 NOPEMBER 2021