Aksi Super Damai 212/IST

Oleh: Yusuf Blegur

Pada kenyataannya, umat Islam boleh menjalani kehidupan keagamaannya secara ritual. Melaksanakan semua kegiatan yang terkait peribadatan. Namun tidak untuk kegiatan politik. Islam di dunia dan di Indonesia sendiri. Didesain sebagai agama kebudayaan yang dibatasi pada urusan shalat, puasa, zakat dan haji. Menjadi terlarang dan mewujud sebuah ancaman, jika umat Islam bisa mengambil posisi dan peran sosial politik, sosial ekonomi, sosial pendidikan dll.

Harus diakui, sebagai mainstream pergerakan kemerdekaan dan upaya-upaya yang melahirkan Indonesia. Umat Islam tidak pernah merasakan kepemimpinan yang hakiki baik secara struktural maupun kultural. Sepanjang berdirinya republik, dengan posisi sebagai mayoritas sekalipun. Umat Islam hanya ditempatkan sebagai obyek, pelengkap dan pemanis belaka. Dalam ranah konstitusi dan pelbagai kehidupan sosial.

Umat Islam lebih tepatnya menjadi pasar potensial dan korban eksploitasi. Sebagai pengusung utama keberadaan NKRI, umat Islam termarginalkan dalam urusan pengelolaan negara. Terlebih ketika semua kekuasaan di Indonesia menggunakan konsep politik yang memisah relasi negara dengan agama. Konsekuensinya, negara yang berlandaskan Panca Sila dan UUD 1945 harus menerima kenyataan pahit berada dalam pengaruh kekuasaan Kapitalisme dan komunisme global. Umat Islam suka atau tidak suka menjalani kehidupan bernegara dan berbangsa, dengan prinsip-prinsip sekulerisasi dan liberalisasi dinegerinya yang dilahirkan sendiri, tumbuh kembang dan dirawat meskipun dengan spiritualitas keagamaan yang kental.

Dengan sejarah dan pengalaman distorsi keagamaan. Umat Islam di Indonesia yang tergusur dari peran kepemimpinan, pemerintahan dan tata kelola negara. Disadari atau tidak, umat Islam telah mengalami deislamisasi dengan modus moderasi. Gencarnya sekulerisasi dan liberalisasi Islam semakin kentara seiring munculnya eksistensi politik umat Islam.

Meskipun dihujani stigma stereotif seperti gerakan intoleran, radikal dan fundamental. Bahkan dicap agama teroris. Kekuatan umat Islam yang mulai tercerahkan, semakin menunjukan peran dan pengaruhnya. Betapapun framing jahat mengepung, politik identitas kekuatan umat Islam terus berproses memasuki ranah dan sistem negara. Tentu saja menimbulkan sikap reaktif, respon cepat dan siasat kriminal. Umat Islam harus berhadapan dengan rezim represif dan otorier. Kekuasaan yang ditopang oleh oligarki dan borjuasi korporasi. Kekuatan yang bersumber dari kapitalisme dan komunisme internaional yang sejatinya memusuhi dan anti Islam.

Substansi Melawan Moderasi

212 tidak saja sekedar forum silaturahim dan ajang ukuwah Islamiyah. Melainkan lebih dari itu, 212 merupakan peran politik Islam yang sudah sekian lama menghilang. Gerakan umat yang dipelopori para Ulama dan Habaib itu menjelma menjadi kekuatan kultural sekaligus strukural. Secara kulltural mampu memengaruhi kebijakan negara. Secara struktural mengancam melengserkan rezim kekuasaan. 212 Seperti menjadi cermin sekaligus representasi kekuatan umat Islam yang selama ini mengalami mati suri.

212 adalah kemurnian dan antitesis terhadap kegagalan kepemimpinan formal dan rusaknya sistem negara yang menyebabkan kemudharatan hampir di seluruh sendi kehidupan rakyat. 212 menjadi semacam “renesaince” dari upaya meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan RI yang terlanjur salah jalan dan hilang ditelan bumi. 212 bukan sekedar politik identitas, ia juga menjadi realitas identitas dari NKRI yang identik dengan Islam. Dengan tidak bermaksud mengabaikan keberadaan dan eksistensi umat yang lain. Umat Islam telah membuktikan dapat hidup damai dan rukun berdampingan dengan politik identitas lainnya. Meski hidup dengan kebhinnekaan dan kemajemukan dalam negara bangsa. Namun tak terbantahkan bahwasanya Islam menjadi roh sekaligus badannya dari kenyataan Indonesia.

Hal yang demikian itu, membuat rezim kekuasaan, menempatkan 212 sebagai entitas politik yang berbahaya dan harus segera dieliminasi. Pelbagai cara dan usaha terus dilakukan pemerintah untuk menghambat atau menggagalkan agenda 212 termasuk acara reuni tgl 2 Desember 2021. Intervensi dari luar dan dalam 212 terus dilakukan rezim sebagai upaya penolakan gerakan 212. Selain tidak memberikan perijinan, melakukan agiprop acara 212, tidak sedikit pemimpin dan ulama dalam 212 yang membelot ke pemerintah. Bukan hal mengejutkan. Lontaran itu sudah banyak terungkap. salah satunya dari Habib Bahar Bin Smith, yang dianggap dekat dan setia kepada Imam Besar Habib Rizieq Syihab pemimpin 212 yang lebih dulu dizdolimi rezim.

Kini semua bergantung pada umat Islam sendiri. Maukah menjadikan 212 sebagai saluran politik ideal dari kebuntuan partai politik dan konstitusi yang ada. Setelah terjadinya simpang siur dan adanya upaya penggembosan terhadap rencana kegiatan reuni 212. Bisakah umat Islam membanjiri Patung Kuda Jakarta saat 2 Desember 2021, yang mengulang 2 Desember 2016?. Akankah kali ini menjadi momentum yang luar biasa bagi umat Islam dan Indonesia?. Mungkinkah umat Islam merasa memiliki dan merawat 212?. Setidaknya sebagai manifestasi ghiroh Islam jika belum disebut jihadnya kaum muslimin dan muslimat itu.

Wallahu a’lam bishawab.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.