M Rizal Fadillah /Foto by AME Jaksat

by M Rizal Fadillah

Bisnis test PCR yang konon melibatkan dua menteri yang belum juga tuntas kini diramai lagi soal karantina dengan hotel berbayar mahal. Kasus penumpukkan TKI di Bandara menjadi sorotan sebagai ekses dari kewajiban karantina. Vaksin jenis apapun menjadi tidak berguna.

Pemerintah gamang pada tiga persoalan yaitu kekhawatiran pandemi yang akan meningkat kembali, sektor usaha atau bisnis yang harus dipulihkan, serta pembengkakan dana penanganan pandemi. Kegamangan ini mengakibatkan kebijakan kesehatan yang tidak sistematis, sewenang-wenang, dan menciptakan ketidakpastian hukum.

Jika tanpa kendali aturan yang mamayunginya maka kebijakan kesehatan itu dapat menjadi kejahatan atau bahkan berkisi penjajahan. Meski mungkin terlalu ekstrim akan tetapi cukup beralasan.

Pertama, membuat aturan karantina sebagai kewajiban yang dibarengi dengan kewajiban membayar hotel berharga 8,5 juta ke atas adalah pemerasan atau pemaksaan. Kecurigaan permainan bisnis perhotelan harus diklarifikasi. Termasuk mafia yang ikut terlibat.

Kedua, beratnya pendatang untuk memasuki “neraka” karantina dapat menjadi boomerang bagi bisnis pariwisata dan penerbangan luar negeri Indonesia. Garuda yang megap-megap karena hutang akan semakin terpuruk dengan kebijakan ini. Karantina 10 hari bukan waktu yang menyenangkan.

Ketiga, penuhnya “karantina gratis” terbukti telah menelantarkan khususnys TKI. Keresahan yang terjadi adalah gambaran dari terjadinya pelanggaran HAM berdalih penangan kesehatan. Semestinya semua kebijakan yang memberatkan harus berdasar Undang-Undang bukan Permen apalagi sekedar Surat Edaran.

Penanganan acak-acakan sulit untuk ditoleransi. Apalagi jika mindset para pengambil kebijakan itu adalah “bisnis”. Kasus test PCR yang menguap perlahan mendorong keberanian untuk melakukan bisnis lanjutan. Jika tidak dicegah maka kejahatan kesehatan akan semakin menjadi-jadi.

*) Pemerhati politik dan Kebangsaan

Bandung, 22 Desember 2021