Yusuf Blegur /ist

Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Yayasan Aktifis Human Luhur Berdikari.

Selain dipenuhi korupsi dan persekongkolan bisnis. Pemberlakuan PPKM yang berjilid-jilid tak berujung dan kebijakan prokes yang serba tumpang tindih. Seperti politik rasialis yang memilih tempat, orang dan suasana. Lebih ironis PPKM menyasar pembatasannya pada momen-momen keagamaan tertentu saja. Wajar saja saja vaksinasi dan PCR juga begitu mendesak untuk dipaksakan. Ada aliran cuan yang deras selain politik licik disela-sela pandemi. Rezim ini sungguh tak punya hati dan menjadikan nyawa rakyat sebagai taruhan bisnis dan kekuasaan politiknya.

Belakangan muncul lagi virus varian baru yang namanya mirip popcorn, cemilan santai berbahan jagung. Virus yang menandai era pandemi saat dunia diliputi perang modern proxy dan asimetri. Jelajahnya bagaikan ideologi kapitalitalis dan komunis. Menjadi keniscayaan diantara keharusan dan rekayasa.

Otoritas profesi dan badan dunia kesehatan terbelah menyikapi latarbelakang, penyebaran dan dampak Covid-19. Kerancuan juga terjadi bahkan pada keberadaan dan eksistensi pandemi yang sesungguhnya. Ada “split opinion” dari WHO dengan institusi-inistitusi kesehatan setiap negara. Keraguan dan penolakan pandemi juga terjadi di kalangan para pakar kesehatan dan dokter-dokter di dunia.

Pelbagai varian yang menjalar hingga prosedur kesehatan yang melingkupinya. Membuat virus Covid-19 menjadi aturan baru bagi tata kelola penyelenggaraan negara baik dalam hubungan internal, bilateral maupun internasional. Dunia berjamaah mengikuti pandemi yang menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan. Publik internasional dipaksa untuk limbung menyikapi pandemi, termasuk menelan informasinya yang absurd.

Ilusi Pandemi

Di Indonesia sendiri, fenomena Covid-19 dan penanganannya. Telah melampaui batas-batas aspek kesehatan semata. Sama yang terjadi pada dunia, secara perlahan dani berangsur-angsur. Pandemi telah dimodifikasi dan menjadi komoditi baik secara politik maupun ekonomi.

2 tahun digerus pandemi seiring perjalanan pemerintahan Jokowi. Rezim kekuasaan benar-benar memanfaatkan pandemi tidak sekedar dalam ruang lingkup kesehatan dan keselamatan rakyatnya. Simpang-siur sosialisasi dan edukasi menimbulkan lemahnya penanganan pandemi. Belum lagi ditambah tidak konsisten dan diskriminasi aturan dan uu kesehatan. Kondisi buruk yang demikian semakin diperparah dengan korupsi bansos penanganan Covid-19 yang diikuti persekongkolan bisnis PCR pejabat dan dan pengusaha serta lingkaran istana. Oligarki menyusup juga di pusaran pandemi.

Jadilah persefektif dan proyeksi politik, rezim menjadikan pandemi sebagai musibah dan berkah. Protokol kesehatan dimanfaatkan sebagai alat efektif meredam dinamika demokrasi. Regulasi kebijakan terkait pandemi disiasati sebagai instrumen politik melanggengkan kekuasaan. Rezim benar-benar mengambil “blessing in the sky” dari momentum pandemi. Menari-nari di atas penderitaan dan kematian rakyat. Kematian yang debatebel, apakah alami atau rekayasa?.

Logika dan rasionalitas publik seiring waktu, mulai memahami apa yang sesungguhnya ada pada pandemi. Selain jenuh dengan dampak pandemi yang tak berkesudahan. Rakyat cenderung mencium aroma busuk konspirasi jahat pandemi di negerinya sendiri. Ujung-ujungnya soal uang dan kekuasaan yang sebenarnya terjadi di balik pandemi Covid-19.

Vaksinasi yang dipaksakan dan diikuti ancaman pidana. Termasuk pada usia anak dan balita. Dengan tanpa pemahaman utuh dari sisi medis dan dampaknya. Semakin membuat rakyat percaya dan akan cenderung menganggap ini sebagai agenda terselubung kejahatan kemanusiaan. Dicurigai sebagai program genosida massal.

Sejauh pandemi berlangsung. Terbukti vaksinasi apapun nama dan jenisnya. Tak serta-merta membuat orang terpapar atau mengidap virus covid-19. Justru sebaliknya, dalam beberapa kasus ditemukan penurunan daya tahan tubuh dan bahkan tak sedikit dijumpai angka kematian pasca vaksinasi. Belum lagi kemungkinan resiko berat dan mungkin mengerikan setelah beberapa tahun kemudian.

Hari berganti hari, bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Pandemi semakin tak jelas dan berujung. Silih berganti vaksin tak mengindari tubuh mengidap virus. Benarkah virus itu telah menjadi pandemi?. Akuratkah kematian demi kematian karena Covid-19 semata?. Lebih ekstrim lagi, apakah sesungguhnya pandemi itu ada?.

Semoga saja apa yang buruk dan terburuk dari kegelisahan akan pandemi tak akan terjadi. Semoga vaksinasi benar dan jujur adanya sebagai upaya penanggulangan pandemi. Bukan ilusi. Bukan juga vaksinasi sebagai cara sehat menuju sekarat.

Semoga!