JAKARTASATU.COM – Pernyataan Anggota Komisi III F-PDIP Arteria Dahlan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI bersama Kejaksaan Agung yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung ST. Burhanuddin Senin (17/1/2022) di ruang rapat Kompleks DPR/MPR Jakarta yang awalnya meminta agar jajaran Kejaksaan Agung bersikap professional dalam bekerja yang terkahir meminta Jaksa Agung meminta Jaksa Agung memecat Kajati yang menggunakan bahasa sunda ketika rapat kerja, telah menimbulkan ketersinggungan kami sebagai masyarakat Tatar Sunda, Suku Bangsa Sunda Diaspora, Perantauan dan Tentunya Suku Bangsa Sunda Asli, koq ada anggota DPR RI dari Fraksi yang menjadikan kemandirian dalam budaya sebagai jiwa Partai berpikir sempit secara gampang mengaitkan profesionalisme dan kinerja dengan dilakukannya berbahasa sunda pada rapat kerja yang tentunya di Kejaksaan Tinggi di Tatar Sunda, dimana pastinya hanya beberapa diksi yang digunakan.

Kami mengetahui secara pasti bahwa sangat jarang sekali Pejabat termasuk di Hari Rebo Nyunda di Kota Bandung yang mampu berbahasa Sunda secara penuh apalagi dengan undag usuk bahasa , maka untuk mempertahankan kebudayaan dimana kebudayaan itu utamanya dari bahasa memang masyarakat menuntut pada siapapun pejabat publik yang mendapatkan amanah dari pemerintah Pusat melakukan bauran berkebudayaan, sesuai dengan peribahasa dimana bumi dipijak disana langit dijungjung yang merupakan peribahasa leluhur Bapak Ateria Dahlan yang terhormat.

Dalam kesempatan ini kami sebelum menyatakan sikap atas Pernyataannya di Rapat Kerja III yang merupakan tempat Rapat terhormat bukan tempat melakukan provokasi politik , menjelaskan tentang pemahaman kami soal kebangsaan dan kenegaraan di NKRI dan peran serta Suku Bangsa Sunda dalam menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Dalam

Acara Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020 : “ Merajut Komitmen Berkerarifan Budaya untuk Kebaikan Bangsa Dalam Bingkai NKRI”, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan Yudi Latif, PhD menjelaskan tentang Suku Bangsa dan Apa itu Bangsa Indonesia, Suku Bangsa itu itu diambil dari pemikiran Ir. Soekarno dari bahasa Sunda yaitu Suku artinya kaki kalau di Jawa diksinya Soko artinya pilar, jadi Suku Bangsa adalah masyarakat yang mendiami suatu wilayah atau tempat berpijaknya tentunya, maka bangsa dan negara Indonesia ditopang oleh fondasi dan pilar dari bangsa bangsa, dan yang dijunjung tinggi sesuai Sumpah Pemuda 1928 adalah menjujung tinggi bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Keberadaan Perpres No 63/2019 tentang Komunikasi di Kantor Pemerintah dan Swasta Wajib Gunakan Bahasa Indonesia tidak berarti bila ada diksi diksi selapan dalam komunikasi publik merupakan sebuah kesalahan bahkan dikaitkan ketidakprofesionalan yang menjadi alasan kuat langsung adanya tuntutan pemecatan sebagai artikulasi seorang anggota Dewan yang terhormat.

Apakah Artaria Dahlan sudah membaca Perres 63/2019 yang masih membolehkan penggunaan bahasa daerah dan tidak ada sanksi apapun terhadap penggunaan bahasa daerah dan apakah Komisi III sudah mengevaluasi secara bertafakur UUD 1945 Pasal 32 “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai kebudayanya.”Itupun negara baru setelah 72 Tahun Merdeka berhasil menetapkan Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Berkaitan dengan pernyataan terbuka diruang publik rapat Komisi III yang secara simplisistik mengaitkan penggunaan bahasa sunda dengan ketidakprofesionalan pejabat publik yang berbudaya sunda dengan pemecatan oleh anggota DPR RI yang selama ini gayanya seperti Provokator Publik sok jago, sok hebat jauh dari budaya leluhurnya juga artinya termasuk anggota DPR RI yang tidak beradat atau setidaknya dalam pengamatan kami termasuk dalam banyak peristiwa publik berkategori “goreng adat’ (beradat buruk), tidak mampu bersikap ramah, kritik yang bersiloka dan berpantun maka menurut kami penting sikap DPP PDIP untuk menjaga marwah Partainya kepada masyarakat Sunda yang merupakan pemilih terbesar dalam konstatasi politik melakukan tindakan yang tegas dan lugas.

Kami masyarakat Tatar Sunda dari berbagai perkumpulan dan organisasi terhadap bola panas yang terjadi yang sering merusak dan menganggu fondasi bernegara “Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Darma Mangrwa” ( Berbeda itu satu tidak ada darma/kerja kebaikan yang mendua) menyatakan sikap atas perilaku Anggota DPR RI Provokator yang tidak profesional dan tidak beradat itu dengan juga memikirkan masalah penting visi, misi, program yang harus dilakukan negara sebagai berikut :

(1) Negara dalam hal ini pemerintahan Jokowi – KH. Maruf Amin wajib menyelesaikan tugas konstitusional yang penting yaitu merumuskan Strategi Kebudayaan Nasional sesuai kewajiban konstitusional UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan , sehingga arah pembangunan jiwa warga negara Indonesia jelas tapi memitigasi persoalan persoalan SARA ditengah zaman Industri 4.0 yang penuh dengan disrupsi dan pergeseran ini.

(2) Meminta Ketua Umum PDIP Dr (Hc) Megawati yang lama memahami kebudayaan urang Sunda dengan Jiwa Trisaktinya me-Recalling/Pergantian Antar Waktu (Memecat) Bapak Arteria Dahlan yang telah secara terbuka dan tidak beradat menyatakan kepentingan rendah insting politiknya didepan publik yang menyinggung SARA kami warga Tatar Sunda.

(3) Meminta Pemerintah Pusat bahwa Bauran Kebudayaan bagi para Pejabat Publik yang berada di pusat pemerintahan dan yang ditempatkan di daerah daerah merupakan sebuah “code of conduct” (sikap ethics), sehingga merupakan bagian dari Pepres yang harus dikeluarkan Presiden sebagai pengejawantahan UU no. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menginginkan NKRI Ber Jati Diri.

Bandung, 19 Januari 2022
Kami Yang Bertandatangan Dibawah Ini

Masyarakat Tatar Sunda Mengugat

GERPIS