Yusuf Blegur /ist

Oleh: Yusuf Blegur , Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Peribahasa “Nila setitik rusak susuk sebelanga” mungkin tak cukup lagi menggambarkan suasana batin presiden yang terkenal cuek dan planga-plongo ini. Namun pesan moral keagamaan “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, akan terasa lebih pas menusuk tajam relung-relung jiwanya. Sang presiden tak lagi dapat berkilah, “Saya ndak tahu” atau “Kok saya yang ditanya”. Terutama ketika rakyat pada akhirnya terusik dan punya rasionaliasasi sendiri menjawab rasa keingintahuannya. Sambil membatin, menghela napas dan berujar dalam hati, presidenku telah kehilangan rasa malu. Tak punya rasa malu lagi untuk 2 periode, 3 periode atau mungkin untuk selamanya.

Mungkin hanya pembangunan infra struktur yang bisa dinilai sebagai satu keberhasilan meski menjadi polemik dan kontroversi. Sebabnya, beberapa proyek jalan tol dan pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta Bandung dinilai terlalu banyak masalah. Selain setelah jadi langsung dijual murah, beberapa yang sedang dikerjakan terancam mangkrak. Program berbiaya besar dan sarat utang yang menjadi proyek mercusuar rezim itu, dipenuhi kongkalikong bisnis rente dan korupsi.

Selebihnya, hampir sebagian besar program pembangunan baik saat dikampanyekan dalam pilpres maupun ketika direalisasikan. Bisa dibilang tidak sesuai harapan dan kenyataannya. Justru bukan komitmen dan konsisten dalam menepati janji, presiden malah banyak mengeluarkan kebijakan ironi. Membuat rakyat mengalami kesengsaraan hidup yang berkepanjangan. Bahkan, saat masih diliputi pandemi sekalipun.

Presiden yang dipundaknya nasib seluruh rakyat dipertaruhkan. Memang terlihat sibuk kerja. Masalahnya kerja apa dan untuk siapa?. Pembangunan untuk kemakmuran dan keadilan rakyat atau hanya semakin membesarkan para cukong dengan korporasi borjuasinya?. Pemimpin untuk negara kesejahteraan atau rezim kekuasaan yang otoriter dan represif.

Kerja-kerja Memalukan

Alih-alih menghasilkan pembangunan dengan kinerja yang memuaskan. Pemerintahan justru tampil dengan perilaku yang banyak bicara sedikit kerja. Saking banyaknya bicara ketimbang kerja, keseharian rezim ini selalu diwarnai omong kosong, tidak ilmiah dan penuh kebohongan.

Segunung janji-janji terlontar saat kampanye, namun dimanipulasi setelah menjabat presiden. Janji memberantas korupsi, janji Esemka, janji stop impor, janji bank tani, janji ingin dikritik dan kangen didemo dan masih banyak lagi janji yang bagi rakyat hanya sebuah mimpi. Seperti lidah tak bertulang, bukannyamenepati menepati janji, presiden dan para pembantunya malah rajin beretorika yang lain.

Gegara rezim ini, negara terus mengeluarkan biaya besar untuk semua yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Konstitusi dipakai untuk melanggengkan kekuasaan dan sebesar-besarnya merampok uang rakyat. Buat yang mengejar harta dan kedudukan, silahkan bergabung menjadi bagian dari oligarki. Sementara yang menentang tinggal pilih kriminalisasi atau mati.

Mumpung selagi masih punya jabatan dan kewenangan. Oligarki tumbuh semakin besar dan kuat mencengkeram rakyat hingga tunduk dan tak berdaya. Pengaruhnya mewabah menjangkiti wilayah eksekutif dan legislatif pemeeintahan. Tampil dengan bahasa dan perilaku kekuasaan, jadilah pemerintahan yang sekarape dewe dalam mengelola negara. Rezim yang menjadi boneka bagi para cukong dan menjadi monster bagi rakyatnya. Faktanya,
pemerintahan menjadi representasi gerombolan elit tanpa harga diri dan martabat. Terutama presidennya, pun tak lagi memiliki simpati dan empati bagi setiap persoalan rakyat dan krisis kebangsaan.

Omnibus law yang memalukan karena inkonstitusional bersyarat, UU IKN yang dipaksakan dan maraknya KKN di lingkungan pemerintahan . Merupakan contoh nyata dari tidak sedikit masalah negara yang vulgar menunjukkan betapa rezim ini dalam kebobrokan menahun.
Semua kebijakan pemerintahan yang dilandasi dan menjadi motif membangun dinasti kekuasaan yang tirani dan pengumpulan sebanyak-banyaknya harta haram jadah. Hanya mengembangbiakan populasi dari ternak oligarki. Habitatnyapun hanya dipenuhi dan sesak dengan para penjilat, penghianat dan penista agama.

Tidak cukup KKN menghiasi lingkungan istana, kementeriaan hingga pemerintahan daerah dan dalam partai politik. Negara kini diguncang dengan aroma busuk KKN yang melibatkan keluarga presiden. Pelaporan Ubedilah Badrun seorang dosen sekaligus aktifis 98, ke KPK terkait dugaan korupsi yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep yang merupakan putra-putra presiden. Semakin mengokohkan rentetan daftar hitam kebohongan presiden yang terlanjur dijuluki publik “The King Of Lip Service”. Stempel tukang bohong terhadap janji-janji politik tentang kejujuran dan keadilan semakin sempurna takala disinyalir kasus Korupsi menjerat keluarganya sendiri. Presiden seperti ditampar dan terasa kehilangan muka keseluruhan. Rasa malu yang terus menyelimuti, betapapun citra diri dipoles dengan susah payah dan ongkos yang mahal.

Peribahasa “Nila setitik rusak susuk sebelanga” mungkin tak cukup lagi menggambarkan suasana batin presiden yang terkenal cuek dan planga-plongo ini. Namun pesan moral keagamaan “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, akan terasa lebih pas menusuk tajam relung-relung jiwanya. Sang presiden tak lagi dapat berkilah, “Saya ndak tahu” atau “Kok saya yang ditanya”. Terutama ketika rakyat pada akhirnya terusik dan punya rasionaliasasi sendiri menjawab rasa keingintahuannya. Sambil membatin, menghela napas dan berujar dalam hati, presidenku telah kehilangan rasa malu. Tak punya rasa malu lagi untuk 2 periode, 3 periode atau mungkin untuk selamanya.***