Yusuf Blegur /ist

Oleh: Yusuf Blegur | Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Hidup memang tidak memberi kemewahan untuk menjaga kebenaran. Atau memberi kebebasan untuk memilih antara yang benar dan salah. Hidup sering membawa seorang berada di persimpangan jalan. Saat menjadi pilihan sulit antara menyelamatkan hidup atau kehormatan.

Begitu banyak orang menganggap pekerjaan adalah terkait soal rezeki. Kelayakan pekerjaan hanya dapat diukur dan diakui dari seberapa tinggi status sosialnya. Orang kemudian ramai memburu pekerjaan yang berujung kepada kepemilikan harta dan jabatan. Persfektif hidup yang kemudian menjadi budaya itu, menempatkan materi dan kebendaan lainnya menjadi standar pengakuan dan penghargaan pada setiap orang. Harta dan jabatan perlahan menjadi tujuan hidup. Alih-alih menjadikan pekerjaan sebagai harga diri dan tanggung jawab kepada Tuhan. Pekerjaan justru dijadikan simbol keangkuhan, arogansi dan alat penindasan, meski hanya sekedar skrup-skrup kapitalisme dan menjadi sampah materialisme.

Soal-soal harga diri dan martabat, tak ada kolerasi yang signifikan dengan prinsip-prinsip dan nilai. Hanya ukuran kekayaan yang boleh dibilang sebagai syarat menentukan drajat seseorang. Bukan pada menghadirkan Tuhan dalam segala aktifitas dan apapun pekerjaannya. Terutama pada saat agama dianggap sebagai candu masyarakat. Menempatkan agama sebagai penghalang kebebasan, sebagai penghambat ekspresi dan pantangan mencicipi nikmat duniawi.

Secara masif dan eskalatif, mayoritas tersekap dalam kanal besar kapitalisne dan modernitas. Orang miskin yang minoritas merupakan penyakit sosial yang rendah dan harus dieliminasi. Sementara orang kaya menjadi cita-cita dan keharusan bagi yang memujanya. Jadilah populasi manusia sebagai konunitas hewan paling ganas yang memburu dan memangsa kemanusiaan.

Perangkap kehidupan memang tersebar hampir di setiap jalan. Ada yang menjajakan kenikmatan dan semua pesona mengumbar birahi. Meskipun menyimpan lubang hitam yang dalam, sekelebat pandangan terlihat menarik dan menggoda. Begitu menggebu keinginan merasakan atau memilikinya, maka nasehat dan peringatan dianggap kebisingan.

Budak Nafsu

Jalan menyusuri kejayaan status sosial terlanjur ramai dan penuh sesak. Bukan hanya hiruk pikuk dan penuh kegaduhan, keserakahan dan nafsu menguasai tumbuh kembang secara global. Sedikit orang yang mau dan mampu menjejaki jalan kesunyian dan lorong-lorong kesadaran. Memaknai kesendirian dalam keramaian. Begitu juga kearifan bersama dalam mengelola ambisi pribadi.

Saat pasar raya kepentingan tak mampu lagi menampung hasrat setiap orang, maka benih-benih perseteruan mulai membuncah. Dalam suasana itu, keharmonisan dan keselarasan semakin tergusur. Setiap orang mulai abai pada kebersamaan meski berada dalam suasana menyatu. Bersuara lantang dalam senandung persatuan dan kesatuan, namun tak memaklumi perbedaan yang hakiki.

Ketika sudut pandang berjarak, mengatasinya lebih sering dengan menggagas friksi dan distorsi. Dinamika geliat kebhinnekaan dan kemajemukan ternoda dilumuri dengan premis kebencian dan permusuhan. Sejatinya manusia berperang dengan pasukan nafsu dan amarah sebagai panglimanya.

Konflik dalam lintasan vertikal dan horisontal, menjadi transaksi sosial yang tak memiliki batasan kejenuhan. Malah menjadi modul dan strategi kekuasaan. Perselisihan dan pertarungan sesama dijadikan sarana memperoleh kekayaan dan jabatan. Lupa dan meremehkan dampak dan ongkos sosial yang begitu besar untuk memulihkannya.

Adanya yang memerintah dan diperintah, juga kehadiran pemimpin yang memegang amanat dan rakyat yang manut dan tak berdaya. Begitu ada gejala penyimpangan kekuasaan. Tanpa memiliki visi kekuasaan sebagai alat untuk mendesain dan mengkreat idealisme. Maka yang terjadi hanyalah sekedar subyek dan obyek. Pelaku dan korban, sebagaimana potret realitas penguasa dan rakyat yang tertindas.

Sayup-sayup terdengar di kedalaman sosial masyarakat kecil dan lemah. Derita mereka yang teraniaya, terusir dan tergusur. Rakyat yang mengidap kedzoliman rezim harus menyimpan amarah yang tersekat. Dalam gelombang luka dan duka haru biru.

Sembari terus mengikuti arus jaman dan pesarnya perubahan. Sejatinya kemanusiaan telah memasuki fase yang ringkih, dalam interaksi kepada sesama, terhadap semesta alam dan keyakinan Ketuhanannya. Kebenaran dan keadilan semakin tercerabut dari setiap jiwa. Orang menjadi begitu egois dan menganut Machiavellis. Manusia yang berakal dan beretika tak ubahnya menjadi hewan kanibal.

Manusia seperti telah kehilangan kemanusiaannya sendiri. Bagai ruh bergentayangan mencari wadah lahiriah yang ideal. Berusaha menemukan jasad yang tangguh tempat berlindung komitmen dan konsistensi pada nilai-nilai. Terlebih saat manusia semakin sulit membedakan batasan yang benar dan salah. Ketika materi dan kebendaan lainnya menjadi tujuan, dan hakekat kemanusiaan menjadi ilusi dan basa-basi. Terlebih saat kemanusiaan berada di usia senja keberadaban.***