Radhar Tribaskoro/ist

Oleh Radhar Tribaskoro

Di dalam demokrasi, setiap orang berhak dipilih dan memilih. Penjelasannya sederhana: bila rakyat berdaulat maka rakyat berhak terlibat dalam mengelola negara. Keterlibatan itu dituangkan dalam hak memilih dan dipilih.

Pada dasarnya hak itu bersifat universal, namun pembatasan boleh diberikan untuk menjamin bahwa hak dipergunakan secara efektif dan bertanggungjawab.

Pembatasan atas hak memilih telah dilakukan dengan banyak alasan. Di awal era demokrasi hak memilih hanya diberikan kepada orang bermilik (orang yang punya kekayaan), orang biasa (seperti tukang sado, buruh tani, petani kecil, dsb) tidak punya hak itu. LGBT, budak, narapidana, imigran juga tidak punya hak mencoblos. Di Amerika Serikat bahkan, diperlukan hampir 250 tahun agar perempuan boleh mencoblos. Namun sekarang, hak memilih di Amerika Serikat, dan seluruh dunia, sudah bersifat universal. Tidak ada pembatasan apapun lagi, kecuali usia. Hak memilih memiliki trend yang semakin lama semakin meluas.

Trend tersebut perlu juga dimaknai bahwa dengan semakin moderen dan maju suatu bangsa, semakin mudah pula bagi warganegara untuk terlibat dalam pengelolaan negara. Ini sebuah prinsip empiris.

Prinsip di atas mestinya berlaku juga untuk hak dipilih. Kita tidak menyangkal bahwa seorang pejabat memikul tanggung-jawab yang besar. Wajar bila pejabat yang dipilih memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Kemampuan itu terbaca dari track record kandidat. Soekarno misalnya, dipilih menjadi presiden karena semua orang mengakui tidak ada orang lain yang lebih berjasa dari dia dalam proses memerdekakan Indonesia dari kolonialisme. Soeharto tujuh kali dipilih menjadi presiden karena ia dianggap berjasa menyingkirkan PKI dan menggalakkan pembangunan. Kita juga bisa menerima Gus Dur menjadi presiden karena ia adalah pemimpin oposisi terkuat terhadap rejim Orde Baru.

Tetapi bagaimana bila presiden dipilih secara langsung? Di dalam pemilihan langsung keputusan akhir berada di tangan pemilih. Pemilih pada umumnya sangat sulit menilai kualifikasi seorang kandidat. Padahal kualifikasi itu sangat penting, sebab jabatan presiden tersedia hanya untuk satu orang.

KUALIFIKASI CALON PRESIDEN

Menurut hemat saya seorang calon presiden setidaknya harus memenuhi kualifikasi kepemimpinan, ideologis dan profesional. Semua kualifikasi itu dapat diuji oleh partai politik. Oleh karena itu saya tidak bermasalah bila calon presiden diusulkan oleh partai politik, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 ayat 6A butir 2. Pemilih kemudian bisa memfokuskan diri kepada apa yang ingin dikerjakan oleh capres, dan bagaimana ia melakukannya.

Saya membayangkan pemilihan presiden itu seperti suatu perusahaan yang ingin go public. Ia ingin memperoleh dukungan (dana) publik untuk membesarkan usahanya. Maka ia mendaftarkan diri ke bursa efek dan melalui underwriter ia menawarkan sahamnya kepada publik.

Kedudukan partai politik dalam hal ini mirip dengan kedudukan underwriter di bursa efek. Partai politik melakukan seleksi ketat capresnya dan berusaha keras “menjual” capres itu untuk dipilih rakyat. Bursa efek adalah KPU yang menjamin transaksi berjalan terbuka, adil dan akuntabel.

Rakyat percaya kepada (kompetensi dan kredibilitas) calon yang diajukan partai politik (underwriter), mengevaluasi rencana dan program yang diajukan calon (emiten), dan memutuskan untuk memilihnya (membeli saham) atau tidak.

PRESIDENTIAL THRESHOLD

Presidential threshold adalah ambang batas perolehan kursi/suara suatu partai atau gabungan partai yang diperlukan untuk dapat mengusulkan calon presiden. Konsep presidential threshold ini tidak dikenal dalam khasanah ilmu politik elektoral. Konsep ini cuma ada di Indonesia. Mengapa? Kita akan menjawabnya dalam uraian di bawah ini.

Di bursa efek, suatu perusahaan underwriter dapat bersindikasi dengan underwriter lain untuk kesuksesan pemasaran sahamnya. Namun, sindikasi itu bersifat sukarela. Sindikasi itu tidak boleh menjadi syarat atau kewajiban bagi emiten sebab akan merusak prinsip fairness yang membentuk permintaan dan penawaran di pasar saham. Di dalam teknis ekonomi, sindikasi yang dipaksakan itu akan menyebabkan munculnya sifat-sifat monopolistik di lantai bursa.

Demikian pula presidential threshold. Konsep ini memberikan pembatasan yang tidak punya hubungan dengan kualitas pemilu maupun kandidat yang diajukan. Dengan kata lain, presidential threshold adalah kualifikasi yang bersifat artifisial.

Konsep presidential threshold semata bertujuan menciptakan halangan monopolistik, mencegah munculnya calon-calon dari luar mainstream. Akibatnya, presidential threshold mendegradasi pemilu dan berpotensi melahirkan presiden sub-standard.

Lebih dari itu, presidential threshold membuat hak warganegara untuk menjadi calon presiden menyusut. Dengan presidential threshold 20%, secara teoretis, paling banyak menghasilkan 4 pasang capres. Dalam kondisi paling ekstrim koalisi pemerintahan yang menggabungkan 82% kekuatan partai politik di DPR dapat menciptakan satu pasang calon berhadapan dengan ‘kotak kosong’.

Kondisi di atas bertentangan dengan prinsip empirik “semakin moderen suatu bangsa, hak memilih dan dipilih mestinya semakin meluas.”

Dengan demikian kita pun mendapat penjelasan mengapa konsep presidential threshold tidak dikenal di negara-negara lain di dunia. Konsep tersebut menciptakan sistem pilpres yang monopolistik, dan dengan sendirinya melanggar hak-hak asasi manusia.

Di samping itu kehadiran oligarki dalam sistem politik Indonesia adalah fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Oligarki berkepentingan dengan pelestarian penguasaan kekayaan dan hal tersebut dengan mudah dapat mereka raih bila mereka menguasai kekuasaan politik.

Mahkamah Konstitusi seharusnya mencegah terjatuhnya sistem pemilu Indonesia ke dalam bursa monopolistik oligarki. Karena kalau tidak, demokrasi akan punah. Indonesia akan dipimpin oleh penguasa yang tidak mencintai rakyat, namun bersetia kepada oligarki yang memenangkan dirinya.

Catatan:
Sejumlah kawan berpendapat bahwa PT punya manfaat, yaitu menyederhanakan sistem kepartaian di DPR dan memperkuat sistem presidensialisme. Dalam artikel berikutnya saya akan tunjukkan bahwa pendapat di atas adalah mitos.***