By M Rizal Fadillah

Jaksa Penuntut Umum adalah penegak hukum yang menjadi representasi masyarakat. Mewakili perasaan hukum dan keadilan masyarakat. Fakta di persidangan jelas tidak bisa dipungkiri bahwa dua orang anggota polisi yang menjadi terdakwa itu telah melakukan pembunuhan dengan sengaja. Meski dipoles sedemikian rupa sebagaimana sebuah cerita sandiwara, tetapi tetap saja sulit untuk mengelak. Tidak mungkin ada orang terbunuh tanpa ada pembunuh.

Pengadilan tidak membuka fakta hanya menyelaraskan ceritra. Wajar jika TP3 sebagaimana diungkap Marwan Batubara menilai tuntutan JPU yang hanya 6 tahun sebagai sebuah dagelan. Rupanya Jaksa masih bisa berhumor di depan tumpahan darah korban dari sebuah pembunuhan keji. Enam korban pembantaian yang dilakukan oleh aparat.

Fikri dan Yusmin hanyalah pemain figuran atau pemeran pengganti yang nampaknya ditumbalkan. Karenanya tuntutan ringan-ringan saja. Vonis pun kelak tidak jauh-jauh dari tuntutan tersebut. Masing-masing telah berbagi peran dan tinggal menghafalkan naskah drama. Selanjutnya mengikuti arahan sutradara. Esok Pengacara tidak perlu terlalu hebat dalam membela, sekedarnya saja. Pledoi serius dapat menjadi boomerang. Fikri dan Yusmin tidak boleh bebas. Bila bebas, buyar skenario.

Drama Pengadilan Jakarta Selatan saat ini diprediksi akan menorehkan prestasi yakni mampu mengalahkan permainan penegakan hukum seperti dalam film India. Awalnya tentu masuk dulu dalam nominasi untuk kategori “Best Comedy Drama Movies”. Saat pembacaan tuntutan JPU, di ruang Pengadilan hanya dihadiri oleh 3 orang anggota Majelis Hakim. Sepi dari hiruk pikuk kepedulian. Pengadilan bagai menjadi “ruang masa bodoh” (Apathetic Room).

Dakwaan pembunuhan berdasarkan Pasal 338 KUHP hukuman maksimal 15 tahun penjara. Sedangkan penganiayaan yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur oleh Pasal 351 ayat (3) KUHP terancam hukuman maksimal 7 tahun. Nah semestinya untuk membuktikan keseriusan dalam menangani perkara maka JPU harus menuntut kedua terdakwa dengan tuntutan maksimal 15 tahun penjara. Apalagi terdakwa adalah aparat Kepolisian yang mengerti akan pola pengawalan maupun batasan penindakan. Nah, dengan tuntutan hanya 6 tahun saja maka jelas dan terbukti JPU memang tidak serius.

Sebagai sandiwara hukum, tuntutan 6 tahun mungkin menjadi “terbaik”. Terlalu tinggi kasihan terdakwa yang belum tentu pelaku utama. Terlalu rendah khawatir nantinya putusan bebas (Vrijspraak). Bila putusan bebas maka ledakan baru bakal muncul di area publik.

Kasus km 50 menjadi perhatian masyarakat karena diyakini sebagai kasus politik. Seharusnya Jaksa dan Hakim dapat keluar dari jeratan “permainan politik” di ruang Pengadilan. FPI adalah target besarnya. HRS dipenjara atas urusan yang dibuat-buat dan Munarman pun diteroriskan.

Pak Jokowi harus bertanggungjawab atas kasus politik membantai FPI. Lebih khusus bertanggung jawab pula atas pembantaian 6 warga negara dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan Kasus KM 50. Ini persoalan pelanggaran HAM berat, ini persoalan politik dengan merekayasa hukum. Ini adalah bagian dari era kegelapan Pemerintahan Jokowi.

Sulit untuk dihapus, diputihkan, dan diotak-atik meski sampai rambut memutih dan kepala botak.TKP KM 50 yang telah diobrak-abrik adalah monumen yang akan mampu berceritra fasih tentang peristiwa keji tidak terlupakan dari generasi ke generasi.

Celetukan untuk hari ini “Enak sekali, membunuh sadis hanya dituntut enam tahun”.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 23 Februari 2022