JAKARTASATU.COM – Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES Wijayanto mengatakan bahwa ramainya isu penundaan pemilu merupakan metamorfosa dari isu presiden tiga periode yang secara konsisten telah disuarakan elit oligarkhi sejak berakhirnya pemilu 2019. Pada hakikatnya keduanya dalah upaya untuk memperpanjang kekuasaan dengan tidak demokratis.

“Alasan-alasan penundaan pemilu tidak masuk akal. Jika alasannya tidak ada dana, mengapa kita punya projek besar pemindahan ibu kota. Jika alasannya krisis ekonomi, maka justru pemilu bisa menjadi cara untuk menghukum pemimpin yang tidak mampu membenahi ekonomi. Alasan pandemic juga tidak masuk akal karena justru situasi pandemi hari ini sudah mengarah pada endemi. Tidak seperti pada tahun 2020 saat virus delta sangat tinggi angkanya, namun pemerintah tetap memaksakan pilkada,”jelas Wijayanto dari Pusat Media dan Demokrasi LP3ES dalam diskusi LP3ES pada 1 Maret 2022 dengan tema “Menunda Pemilu, Membajak Demokrasi”.

Dikatakannya penundaan pemilu merefleksikan kepentingan oligarkhi yang secara konsisten menghasilkan kebijakan politik yang memunggungi demokrasi dan mengabaikan suara publik mulai dari pelemahan KPK, pengesahan Omnibus Law, UU Minerba dsb.
“Penundaan pemilu memberi catatan lain yang semakin memperburuk kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi keprihatinan ilmuwan secara luas baik baik dari dalam dan luar negeri,” tambah Wijayanto.

Sementara itu Herlambang Wiratraman, Dosen FH UGM/Peneliti LP3ES menyampaikan
penundaan pemilu tidak memiliki pijakan di konstitusi kita. Konstitusi mengatur pada pasal 12 tentang keadaan bahaya yang memungkinkan penundaan, namun hari ini sebenarnya keadaan bahaya itu tidak terpenuhi. Pandemi sudah mereda. Tidak seperti tahun 2020 di mana wabah meningkat namun pemerintah tetap memaksakan pilkada.

“Meskipun sebagian pakar hukum menulis tentang kemungkinan penundaan pemilu melalui amandemen konstitusi, namun jika kita lihat secara seksama dengan pertimbangan hak asasi manusia, maka amandemen itu tidak perlu dilakukan apalagi jika semata untuk penundaan pemilu,” tambahnya.

Pendekatan ekonomi politik menjelaskan, bahwa hukum ketatanegaraan disubordinasi oleh kepentingan kekuasaan dominan, yang pada akhirnya justru memberi jalan kekuasaan yang kian otoriter dalam makna barunya (neoauthoritarianism politics).

“Terkonsolidasinya sistem kuasa oligarki melekat dalam representasi formal ketatanegaraan, yang kian menguatkan sistem politik kartel (cartelized political system) sehingga melumpuhkan prosesproses demokratisasi dan negara hukum,” lanjutnya.

Usulan 3 periode, penundaan pemilu – dominannya narasi yang bila diteruskan sesungguhnya kian menjelaskan relasi kuasa politik otoritarianisme dengan cara/watak berhukumnya yang legalisme otokratis. “Penundaan Pemilu = Krisis konstitusionalisme dan demokrasi politik,”tegasnya.

Di forum yang sama Hendri Satrio, Universitas Paramadina/Kedai Kopi menyatakan pendapat bahwa pada awalnya para elit tampak bercanda dengan wacana tunda pemilu semata untuk menyenangkan Jokowi tapi lama-lama serius.

“Saya curiga ini refleksi partai politik yang tidak percaya diri untuk pemilu 2024. Wacana ini berasal dari orang-orang yang ingin menunda KPU. Usulan ini berasal dari orang-orang yang menganggap remeh intelejensia rakyat Indonesia dan intelejensia pemimpin Indonesia berikutnya. Padahal dalam survey kedai kopi, masih banyak calon pemimpin yang lain.
“Ada beberapa alasan juga mengapa isu ini bergulir dari pimpinan partai. Pan, PKB dan Cak Imin elektabilitasnya tidak naik dengan baik. Erlangga apa lagi elektabilitasnya juga tidak naik. Saya curiga jangan-jangan ada yang menyuruh. Bahkan Tempo memberitakan seperti kata pengurus Partai Demokrat, jangan jangan ordernya dari istana. Ini baru feeling tetapi koq tidak berhenti dan terus menerus isu ini keluar,” ungkapnya.

Hendri juga mengatakan bahwa ini bisa terjadi dimana partai mengkudeta KPU. Golongan ini melempar isu karena menganggap remeh intelegensia rakyat seolah akan menerima. Kenapa kelompok ini tidak menghargai kelompok yang ingin mempercepat pemilu biar pemimpin cepat berganti. Keduanya baik menunda atau mempercepat mengundang kontroversi sehingga yang terbaik ikut jadwal yang sudah seharusnya. Jangan sampai menjerumuskan pak Jokowi dan menjerumuskan Indonesia.

“Kalau alasan ekonomi tidak diterima karena tidak ada hal yang membahayakan. Jika dengan alasan kepuasan terhadap Jokowi tinggi juga tidak masuk akal karena meskipun rakyat menjawab puas, tetapi survei ekdai Kopi juga mendapat jawaban bahwa kekurangan pemerintah juga sangat banyak,” tandasnya. (at/jaksat)