Yusuf Blegur /ist

Oleh: Yusuf Blegur

Meskipun hanya muncul dari kegelisahan istri-istri TNI-Polri dalam grup WhatsApp. Tidaklah bisa dianggap enteng dan layak diapresiasi, karena benih-benih kesadaran sebagai refleksi dan evaluasi terhadap krisis kebangsaan itu kini mulai tumbuh di tubuh keluarga TNI-Polri. Tak bisa dipungkiri dibalik kehebatan para pemimpin, sesungguhnya ada kekuatan sang istri. Nasionalisme dan patriotisme pada TNI-Polri yang selama ini mati suri, seakan bangkit lewat para istri sang belahan jiwa dan tambatan hati.

Untuk kesekian kalinya, presiden mempermalukan dirinya sendiri di hadapan publik. Setelah banyak pidato kampanye dan janji politik yang diingkari, tanpa sadar ia mengungkap ada aroma menentang kebijakan IKN dari lingkaran TNI-Polri. Meski terlontar dari para istri TNI-Polri dan hanya melalui WhatsApp (WA) grup. Fenomena ini menunjukkan, sejatinya seorang presiden tak bisa menguasai segalanya dan tak bisa mengatur semuanya. Tidak di setiap tempat, tidak dalam setiap waktu dan bahkan tidak pada setiap orang. Betapapun seorang presiden menjadi panglima tertinggi TNI dan menjadi orang nomor satu yang berkuasa di negeri ini.

Dengan narasi tidak membangun kedisiplinan dari yang kecil dan dari yang sederhana yang ditujukan kepada TNI-Polri. Pidato kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI Jakarta pada Selasa 1 Maret 2022, yang menyinggung adanya ketidaksetujuan IKN dari para istri anggota TNI-Polri. Pada prinsipnya, membuktikan presiden tak akan bisa memaksakan kebijakan politiknya kepada rakyat, termasuk kepada anggota TNI-Polri beserta keluarganya. Apalagi jika keputusan presiden tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, demokrasi dan kedaulatan serta eksistensi negara ke depannya. Presiden seperti mengalami apa yang diungkap pepatah “menepuk air di dulang, terpericik muka sendiri”.

Cukilanan sambutan presiden di hadapan petinggi TNI-Polri itu, bukan hanya membuktikan ia tidak dihargai dan dihormati oleh para isteri TNI-Polri yang tidak menyetujui pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara,
Kalimantan Timur. Lebih dari itu, menunjukkan betapa banyak kelemahan dan tidak berwibawanya seorang presiden bahkan di lingkungan terdekatnya. Selain korupsi dan kejahatan negara lainnya yang marak mengelilinginya.

Sebelumnya perilaku
presiden sering menjadi bahan ejekan dan olok-olokan rakyat yang pidatonya tidak mencerminkan satunya kata dengan perbuatan. Dengan kata lain rakyat menilai kampanye dan janji politik presiden lebih banyak menghasilkan kebohongan publik. Belum lama juga seorang menteri koordinator yang tidak respek dan beretika ketika berbicara di hp saat presiden sedang berpidato, sebuah peristiwa langka yang memalukan dan merendahkan presiden yang ditonton rakyat. Sudah tak terhitung seringnya peristiwa yang menegaskan betapa presiden tak mampu menjadi orang yang bisa dijunjung serta diteladani karena tidak memiliki kecerdasan dan ketegasan. Publik terlanjur menilai, presiden boneka dan planga-plongo, pula.

*TNI-Polri Sebagai Alat negara, Bukan Alat Kekuasaan*

Ketika salah satu isi pidato presiden, membuncah ekspresi kekecewaan pada para isteri TNI-Polri karena tidak mendukung IKN, padahal UU pemindahan ibu kota negara itu sudah disetujui pemerintah dan DPR, sebagaimana kilah presiden. Sesungguhnya, presiden yang belum usai periode keduanya itu, secara tidak langsung mengungkit keraguan UU IKN baik dari sisi legalitas maupun legitimasinya. Seperti menghangatkan kembali polemik dan kontroversi soal IKN yang berkepanjangan bahkan sebelum ditetapkan menjadi UU hingga saat ini.

Pertama, dengan gelombang demonstrasi dan tuntutan penolakan hampir semua kebijakan presiden di periode keduanya. Membuktikan langkah-langkah ekonomi, politik, dan hukum yang dijalankankan presiden bukan hanya tidak populis, tapi memiliki resistensi luas dan menyengsarakan kehidupan rakyat dipelbagai sektor penting dan strategis. Kebijakan pemerintah yang disetujui DPR mewakili siapa?. Kalau mewakili rakyat, rakyat yang mana?. Justru kebanyakan rakyat menilai itu menjadi kepentingan oligarki. Kebijakan struktural dan sistemik melulu melahirkan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Pemilik modal besar semakin berkembang borjuasinya dan masif menguasai negara.

Kedua, dinamika yang timbul dari para istri TNI-Polri seperti mewakili rakyat pada umunya dan emak-emak di negeri ini khususnya. Aspirasi para istri TNI-Polri falam salah satu platform media sosial itu menjadi eskalatif dan akumulatif dari penolakan semua kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Seperti omnibus law, PT 20%, kelangkaan bahan pangan dan mahalnya sembako seiring menurunnya daya beli masyarakat, JHT meski dianulir presiden sendiri karena kuatnya desakan publik, dan masih banyak lagi distorsi kebijakan penyelenggaraan negara yang mendapatkan resistensi tinggi dari rakyat termasuk dari lingkungan TNI-Polri.

Ketiga, kegelisahan dan kecemasan terhadap IKN dari para istri TNI-Polri yang tertuang di grup WhatsApp, seakan menandakan masih adanya cahaya kesadaran fungsi dan peran TNI-Polri yang sebenarnya. Ada benih-benih kekuatan moral yang tak pernah redup, bahwasanya TNI-Polri itu pada hakekatnya menjadi alat negara, bukan alat kekuasaan. Kesetiaan dan pengabdian utamanya lebih kepada rakyat, bukan kepada para pejabat. Apalagi kepada para pejabat yang menghianati amanat penderitaan rakyat dan beresiko menghancurkan kedaulatan negara dan bangsa.

Loyalitas dan dedikasi tinggi dari TNI-Polri harusnya dan hanya ditujukan kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, bukan kepada sistem kapitalisme dan cecunguk oligarki. Meskipun dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan TNI-Polri ikut terseret dalam atmosfer politik dan tak berdaya harus melindungi oligarki sembari represi kepada rakyat, karena terikat oleh aturan dan istitusi negara.

Jadi, pidato yang membuka aib kepemimpinan presiden sendiri, biar bagaimanapun tetap terbesit adanya harapan dan keyakinan rakyat melalui para istri TNI-Polri. Bahwasanya TNI-Polri akan kembali ke pangkuan rakyat. TNI-Polri sepatutnya menjadi alat negara. TNI-Polri tidak sama sekali sebagai alat kepentingan kekuasaan dan kepentingan oligarki. TNI-Polri secara alami berasal dari rahimnya rakyat, mengabdi dan melayani seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali dan tanpa “reserve”.

Akhirnya rakyat kini mulai bisa berharap dari para isteri TNI-Polri. Belahan jiwa dan tambatan hati kalangan militer, mulai meniupkan kembali api sapta marga TNI-Polri. Para istri-istri hebat itu seperti membangkitkan nasionalisme dan patriotisme TNI-Polri yang telah lama mengalami mati suri. Bagaikan membedah persoalan kebangsaan dan solusinya dari persefektif perempuan atau kalangan ibu-ibu. “Power of Emak-Emak”, terus menjalar, menjalar, dan menjalar.

In syaa Allah.