Radhar Tribaskoro/ist

Oleh: Radhar Tribaskoro

George Washington adalah pahlawan perang Amerika. Ia memimpin tentara Amerika yang compang-camping namun berhasil mengalahkan tentara profesional Inggris. Setelah mengantarkan kemerdekaan Amerika Washington tidak lantas mabuk kekuasaan. Ia memutuskan meninggalkan dinas ketentaraan dan memilih menekuni tanah pertaniannya di Mount Vernon. Tetapi tidak lama, ia dipanggil untuk memimpin Constitutional Convention di Philadelphia yang bermaksud merumuskan konstitusi Amerika.

Washington terbukti tidak cuma bisa memimpin tentara, ia juga bisa memimpin tokoh intelektual dan filsuf sekelas John Adams, Benyamin Franklin, James Madison, Alexander Hamilton, Thomas Jefferson, dll. Maka tidak heran setelah konstitusi Amerika disahkan, Washington terpilih menjadi presiden pertama Amerika Serikat.

Washington sudah meminta James Madison menulis pidato perpisahan ketika masa jabatan pertamanya akan berakhir. Namun saat itu negara terancam terbelah. Di satu sisi partai Federal yang dipimpin Hamilton berkeinginan memperkuat (negara) federal, sementara di sisi lain partai Demokrat-Republik yang dipimpin Jefferson menghendaki penguatan negara bagian. Hanya setelah kedua bapak bangsa yang berbeda visi itu datang dan mengancam Amerika akan terbelah bila ia tidak memimpin lagi, Washington setuju pencalonan dirinya sebagai presiden.

Tetapi memasuki akhir masa jabatan kedua, Washington sudah merasa cukup. Ia masih orang paling dihormati dan dicintai oleh orang Amerika. Tidak akan ada orang yang bisa mengungguli dirinya andaikan ia ingin menjadi presiden lagi. Beberapa bulan sebelum pilpres ia menyatakan tidak mencalonkan diri lagi. Pernyataannya ini menjadi preseden yang sangat langka.

Di masa itu, bahkan sampai sekarang, sangat langka ada orang yang meninggalkan kekuasaan, just like that. Tidak Napoleon, tidak Bismarck, tidak Hitler, tidak Soekarno, mau melakukannya. Maka tidak heran bila Raja George III dari Inggris, musuh bebuyutan George Washington dalam perang Revolusi Amerika, ketika mendapat berita bahwa Washington tidak melanjutkan jabatan ketiga, mengatakan, “Kalau ia benar melakukannya, ia adalah orang terbesar di dunia.”

Dengan menolak jabatan ketiga, Washington dengan sangat sadar menjadikan dirinya sebagai suri tauladan untuk tidak menjadikan kekuasaan sebagai segala-galanya. Ini adalah moral politik yang ia ingin berkembang di Amerika. Namun begitu Washington masih saja didesak untuk menjadi presiden. Kawan-kawan Washington sangat mencemaskan keadaan negara yang semakin terbelah. Persaingan diantara kedua partai semakin sengit. Washington menggambarkan, “Sudah tidak ada kebenaran. Tidak ada kesopanan. Mereka menyerang karakter hanya lantaran perbedaan politik.” “Sebagai seorang federalis, saya seperti tidak berhak memperoleh dukungan dari kaum republik-demokrat.” Washington menambahkan.

Washington tetap menolak tawaran jabatan ketiga, sekalipun Presiden John Adams sudah membukakan jalan lebar dengan mengangkatnya sebagai KSAD.

Washington tidak menyadari bahwa penolakannya itu justru menjadi kunci yang menjawab masalah keterbelahan yang ia khawatirkan. Pembatasan 2 kali masa jabatan, menurut Gideon Maltz (2007), secara tidak langsung menciptakan proses transisi politik sebagai peristiwa yang normal, teratur, dan dapat diprediksi, sehingga pihak-pihak yang bersaing memiliki sedikit insentif untuk mengganggu sistem melalui cara-cara luar biasa seperti kudeta atau cara lain.

Moral politik yang ditanamkan oleh Washington berhasil meredakan ketajaman pisau perbedaan politik yang mengiris-iris bangsanya. Bagaimana pun tajam perbedaan politik tidak membuat bangsa Amerika jatuh ke dalam kekerasan. Pembatasan masa jabatan meredam ketegangan di masyarakat karena memungkin rotasi kekuasaan secara damai.

Suri tauladan Washington dipatuhi sampai 150 tahun kemudian ketika FD Roosevelt memenangkan masa jabatan…keempat. Namun pelanggaran moral politik Washington ini dengan cepat direspon oleh Parlemen Amerika. Pada tahun 1951 Parlemen menyetujui amandemen ke-22 yang menegaskan batas 2 kali masa jabatan bagi presiden Amerika Serikat.***