Yusuf Blegur/ahm

Oleh: Yusuf Blegur

Sistem politik boleh saja memisah negara dengan agama. Tapi itu bukan berarti negara dapat leluasa melakukan intervensi terhadap kehidupan agama seseorang, kelompok atau umat tertentu. Pidato presiden yang mengusik komunikasi grup WhatsApp dan mengatur kegiatan pengajian istri-istri TNI-Polri, terlebih dengan mengaitkan radikalisme di dalamnya. Pada prinsipnya bukan hanya mengebiri hak asasi, lebih dari itu menjadi tindakan yang merendahkan marwah dan kewibawaan TNI-Polri.

Presiden kini semakin melampaui batas. Pernyataannya yang menyudutkan TNI-Polri, dengan mengangkat interaksi grup WhatsApp para istri TNI-Polri di hadapan publik. Semakin menunjukkan sikap pemimpin yang jauh dari kenegarawanan, tidak mampu mengayomi dan melindungi segenap anak bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia. Meski menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan serta panglima tertinggi TNI-Polri, bukan berarti presiden bisa seenaknya memperlakukan setiap orang atau institusi publik. Apalagi terhadap TNI-Polri, sebuah instrumen negara yang vital dan strategis yang kehadirannya menopang keberadaan dan eksistensi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Tak sepantasnya, upaya merongrong dan menjatuhkan martabat TNI-Polri dilakukan, sekalipun oleh seorang presiden.

Miris dan ironis, meski menyasar pada para istri TNI-Polri. Kekecewaan presiden yang kemudian diikuti sindiran terhadap suara batin dan nurani istri-istri prajurit itu. Sejatinya juga ikut menohok TNI-Polri. Seperti mengajari ikan berenang, presiden seakan ‘over lap’ menyinggung soal kedisiplinan dan kecenderungan radikalisme di tubuh TNI-Polri. Bukankah selain menjaga pertahanan dan keamanan demi keutuhan dan keselamatan NKRI, tugas TNI-Polri juga menjaga dan melindungi presiden?. Presiden yang masih bisa bertahan menduduki jabatannya meski dalam gelombang panjang demonstrasi dan mosi tidak percaya rakyat, bukankah itu karena peran dan fungsi TNI-Polri?.

Oleh karena itu, perilaku presiden yang sudah melewati batas kewajaran sebagaimana yang dirasakan seluruh rakyat Indonesia dalam semua sendi kehidupan. Sudah sepatutnya mendapatkan refleksi dan evaluasi bukan hanya dari rakyat, melainkan juga perlu langkah-langkah nyata dan konkrit dari TNI-Polri dalam menyikapi realitas faktual dan aktual kebangsaan. Bahwasanya, presiden seperti dikuasai dan diatur oleh “invisible hand” yang membuatnya begitu berjarak dengan rakyat dan TNI-Polri.

Presiden seperti dalam cengkeraman kapitalisme global, dalam hegemoni neo imperialisme dan kolonialisme serta dibawah kendali kuat oligarki. Istri-istri TNI-Polri sesungguhnya menjadi representasi semua ibu-ibu dan rakyat Indonesia, terhadap ketidaksetujuan IKN. Mungkin juga ketidaksetujuan terhadap kenaikan BBM dan harga sembako. Juga ketidaksetujuan pada utang negara yang semakin meradang, ketidak setujuan terhadap omnibus law, ketidaksetujuan pada presidensial treshold 20% dan JHT yang penuh siasat. Bahkan ketidaksetujuan akan banyaknya kebijakan presiden yang berdampak buruk bagi kehidupan rakyat, negara bangsa dan agama. Tentu saja, keadaan dan realitas ini membahayakan kelangsungan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI, jika dibiarkan terus-menerus dan larut terlalu dalam.

Pada akhirnya seluruh rakyat Indonesia, sembari menghidupkan kesadaran kritis dan gerakan perlawanan. Rakyat bersikeras, tetap mengandalkan dan menanti aksi TNI-Polri. Tidak sekedar menjaga Marwah dan kewibawaan TNI-Polri, akan tetapi demi martabat dan juga keselamatan negara bangsa Indonesia tercinta.
Menunggu aksi TNI-Polri sebagai pintu gerbang terakhir pertahananan keamanan RI, menghidupkan kembali api nasionalisme dan patriotisme yang telah lama redup, seperti yang telah dikobarkan oleh para istri-istri mereka yang hebat dan luar biasa itu.

Wallahu A’lam Bishawab.