Anies Baswedan/ FOTO ANDI SOIPIANDI/JAKSAT

Oleh: Yusuf Blegur

Aendra Medita Kartadipura seorang jurnalis nasional, menulis “Disandingkan Dengan Sandal Jepit pun, Tokoh Ini Akan Jadi Presiden 2024”. Sebuah pernyataan yang cukup menggelitik. Pastinya ada rasionalisasinya meski politik itu tidak selalu matematis. Entah jumawa atau memang masuk akal. Lepas akurat atau tidaknya, publik perlu tahu deskripsi dari jurnalis senior itu. Penasaran siapa dia?. Kita tinggal ikuti saja pemaparan tuntasnya.

Dari sekian banyak bakal capres 2024 yang bertebaran, publik memang tidak ada banyak pilihan. Maksudnya selain popularitas, rakyat hanya disuguhkan figur-figur yang diproduksi oleh sebuah sistem politik yang menumpang pada demokrasi kapitalistik yang transaksional. Mekanisme pemilu yang digerakkan oleh konsep liberalisasi dan sekulerisasi, tak ubahnya menjadi industri demokrasi. Proses menuju kekuasaan dan mlahirkan kepemimpinan yang layaknya jual beli suara rakyat. Kriteria seorang capres tak mesti lagi diukur dari kapasitas, akuntabilitas dan integritasnya. Lebih penting dan menarik bagaimana figurnya terkenal, banyak harta dan sering tebar pesona. Betapapun sesungguhnya capres itu dipenuhi skandal korupsi atau anasir-anasir kejahatan negara sekalipun.

Akses kepemilikan modal besar dan pendekatan penggunaan kekuasaan menjadi pemain utama dalam skenario penyelenggaraan aspirasi kedaulatan rakyat, terutama saat menentukan pemimpin nasional sekaligus perwakilan rakyat. Pelbagai pola dan strategi menjadi variabel pendukung, seperti kehadiran buzzer dan influencer, lembaga survey dan konsultan politik, termasuk peran media massa yang cukup signifikan untuk menjadikan seorang capres sebagai ‘media darling’. Diluar itu yang tak kalah pentingnya ialah bagaimana seorang capres memanfaatkan segala fasilitas dan kemudahan jabatan publiknya sebagai alat kampanye potensial. Termasuk menggunakan insitusi pemerintahan negara, dan lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu sekalipun jika diperlukan. Lebih ironis lagi, jika seorang capres menjadi boneka atau bayangannya oligarki. Oligarki yang mewujud borjuasi korporasi dan partai politik.

Semua instrumen dan perangkat demokrasi yang menyelenggarakan dan terkait dengan pemilu itu, semuanya bersumber dan menjadi subkoordinat dari seberapa banyak uang tersedia dan seberapa maksimal aparatur negara bisa digunakan. Demokrasi yang nyaman dengan pemilihan langsung dari ratusan juta pemlik suara itu, benar-benar menjadikan uang dan kekuasaan sebagai alat sekaligus tujuan utamanya. Sementara, berulang-ulang rakyat menghadapi persoalannya sendiri dan kesengsaraan  bertalu-talu sesudah perhelatan akbar yang melahirkan kepemimpinan nasional, yang ditentukan rakyat sendiri.

Anies Menjadi Magnit Politik

Anies memang memiliki poularitas baik sebagai publik figur maupun pemangku kepentingan publik. Sama halnya dengan kebanyakan capres yang bergantung pada populeritas dan sumber daya sosial politik dan sosal ekonomi yang lain. Termasuk Anies, capres-capres itu berjuang sedemikian rupa untuk meraih dan meningkatkan elektabilitasnya. Menampilkan rayuan maut dan hipnotis keras untuk kesan baik dan sempurna sosok capresnya.

Namun ada satu hal yang prinsip dan mendasar yang terkadang diabaikan oleh capres-capres lain dan bahkan oleh sebagian besar rakyat pemilih. Bahwasanya seorang capres itu tak cukup sekedar merengkuh populisme semata. Ia juga harus memiliki jejak rekam, kinerja dan prestasi yang berkorelasi dengan kepentingan rakyat. Capres yang bukan hanya sekedar dibentuk dari pencitraan dan mengandalkan janji-janji semu kampanye, yang sering berujung kebohongan publik dan penghianatan amanat penderitaan rakyat. Distorsi kepemimpinan nasional produk demokrasi tirani mayoritas, memang sering menjungkirbalikkan harapan dan keinginan rakyat. Ekspektasi berlebihan yang cenderung menimbulkan rasa frustasi, seringkali terjadi terlebih pada irisan dan kostituen serta hubungan emosional pada personal dan partai politik tertentu.

Anies Baswedan terus bertumbuh populisme dan dukungan rakyat karena performans kepemimpinannya selaku gubernur DKI Jakarta yang begitu impresif. Tak cukup dengan pelbagai prestasi dan penghargaan, gaya kepemimpinan dan karakter humanis yang menonjol, mampu menjadikan Anies sebagai figur yang pantas menjadi presiden di mata rakyat. Memiliki visi dan misi yang jelas dan terukur dalam membangun Jakarta selama hampir lima tahun ini. Membuat pemimpin yang berlatar intelektual dan akademisi ini, terus menjadi idola publik. Cerdas, berwibawa, bersih dan santun, menyemat dalam dirinya.

Aspek menejemen birokrasi Anies dikenal komitmen dan konsisten teguh memegang disiplin pemerintahan. Kehati-hatian untuk menggunakan politik anggaran berorientasi kepada kepentingan publik dan ketat, menghindari Anies dari korupsi dan kolusi utamanya dengan dunia usaha. Menjadikan Anies sebagai pemimpin yang relatif bersih aman fan terpercaya. Penanganan proyek reklamasi di wilayah utara Jakarta menjadi satu bukti yang tak terbantahkan, selain beragamnya keberhasilan pembangunan pro rakyat lainnya.

Wajar saja dan seperti menjadi keniscayaan, seorang Anies secara substansi dan esensi berbeda dengan capres yang lain. Anies bukan saja menjadi capres ideal bagi seluruh rakyat Indonesia, ia juga menjadi tumpuan harapan yang paling rasional dan realistis. Terutama saat kekinian Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpiban nasional. Dalam bahasa yang ekstrim sekalipun dan terbuka, tak terkecuali pada persfektif plus minus seorang pemimpin. Jika Anies masih bisa dilihat kekurangan dan kelemahannya, maka Anies adalah kenyataan dimana ia seorang pemimpin yang terbaik dari yang terburuk di Indonesia. Tak ada pilihan lagi buat seluruh rakyat, setidaknya Anies punya sisi-sisi humanis dan keukeh menjadi pemimpin pro rakyat.

Seperti yang dikatakan Aendra Medita Kartadipura, analis dan praktisi media lebih dari dua puluh tahun itu. Anies ‘flowring’ meniadi magnet dalam konstelasi dan kinfigurasi politik nasional. Anies dipasangkan dengan sandal jepit pun sudah bisa jadi presiden dalam pilpres 2024. Sebah perumpamaan Anies dengan alas kaki yang sudah lama identik dengan posisi tawar politik rakyat marhaen yang rendah, yang sering diinjak-injak oleh elit kekuasaan. Atau setidaknya, itu bukan ilusi atau utopis sebagaimana SBY yang menang berpasangan dengan cawapres siapapun, pada periode keduanya dalam pilpres 2009 yang lalu.

Wallahu a’lam bishawab.