Yusuf Blegur/ame-jaksat

Oleh: Yusuf Blegur

NKRI semakin sempurna menjadi negara gagal. Selain bejadnya moral pejabat, kebijakan penyelenggaraan negara makin membuat rakyat sekarat. Negeri mengalami krisis kepemimpinan, kemiskinan dan kebangkrutan nasional. Seiring pandemi, kehidupan rakyat dalam pelbagai dimensi terus dieksploitasi oligarki.

Bagaikan perampok yang sedang berpesta pora usai menjalankan aksi kejahatan menjarah harta benda dan membunuh korbannya. Begitulah kekuasaan mengelola pemerintahan. Kekayaan negara hanya menjadi harta bancakan segelintir orang dan korporasi. Pengusaha dan birokrasi bersekongkol membajak negara melalui institusi pemerintahan, partai politik dan konstitusi. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi representasi dari wajah pemerintahan yang didominasi oligarki.

Akibatnya, kehidupan rakyat menjadi korban dari kejahatan negara berwatak kapitalisme global. Rakyat sebagai pemilik kadaulatan yang sah atas negara dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Terpinggirkan, tergusur dan mengalami intimidasi serta teror dari rezim yang tiran. Demi menuhi syahwat materi dan jabatan, boneka kekuasaan oligarki tanpa beban menyakiti, menganiaya dan membunuh rakyatnya sendiri.

Kedzoliman rezim bahkan saat pandemi terjadi, tidak menghilangkan kerakusan birokrat dan politisi untuk merampok uang rakyat, menindas dan tak segan-segan mengorbankan nyawa rakyat. Korupsi bansos, korupsi PCR, perampasan lahan rakyat, manipulasi konstitusi untuk memperpanjang kekuasaan hingga hilangnya bahan pangan dari peredaran. Menjadi bukti falid dan tak terbantahkan dari kenyataan negara gagal dibawah kendali oligarki.

Setelah babak belur dihantam pandemi, rakyat tetap harus bergumul dengan kesulitan hidup. Menanggung beban utang negara melalui kenaikan pajak, harga-harga sembako dan kebutuhan strategis hajat hidup rakyat lainnya. Demokrasi dikebiri, agama dinista dan konstitusi dimanipulasi. Rakyat dilanda sikap skeptis dan apriori terhadap negerinya dan para pemangku kepentingan publik. Terlebih ketika KKN menghianati semangat reformasi dan angkuh membelenggu negara.

Rakyat menjerit dan meronta-ronta, dalam kemiskinan semakin sulit bukan saja tak mampu membeli, apalagi mendapatkannya secara cuma-cuma. Selain mahal rakyat juga menghadapi kelangkaan bahan pangan seperti minyak goreng, kedelai, gula, daging sapi dll.

Realitas pemandangan ini bukan saja mengusik akal sehat, lebih dari itu mengguncang nurani dan kesadaran kemanusiaan. Negeri yang kaya tapi rakyatnya miskin. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Hajat hidup orang banyak dikuasai dan diatur seenaknya hanya oleh segelintir orang. Negaranya berbingkai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI, namun praktek-praktek pemerintahannya dipenuhi amoral dan kebiadaban.

*Dari Frustasi Menuju Massa Aksi*

Sikap pasrah yang nyaris menbulkan keputusasan rakyat dalam menghadapi gaya dan perilaku kekuasaan. Pada prinsipnya bukan tanpa kesadaran kritis dan perlawanan terhadap rezim.
Hanya saja meski aksi potes dan demonstrasi bagaikan gelombang yang tak pernah surut sebagai bentuk penolakan distorsi kebijakan pemerintah. Belum terangkai dan tersusun menjadi instalasi gerakan terstruktur, sistematik dan terintregrasi. Meski tetap spartan perlawanan masih masih belum masif dan terasa parsial.

Akan tetapi, ketika kesengsaraan dan penderitaan rakyat sudah mencapai titik nadir. Terutama saat sudah menyentuh hal-hal yang pokok dan sudah menjadi kebutuhan dasar rakyat. Seperti sembako, listrik, gas, pajak dsb. Boleh jadi itu menjadi titik balik dari “silent mayoriti” yang selama ini diam fan menjadi api dalam sekam. Sejarah peradaban bangsa menegaskan betapa rakyat yang kelaparan dan dalam kemiskinan yang tak terkira dapat melahirkan pemberontakan.

Rakyat Indonesia yang harus menghadapi pandemi tanpa kehadiran negara dan justru menjadi korban komoditi wabah global yang sarat rekayasa dan poitis itu. Kondisi rakyat yang terepresi dan terdepresi, secara alami mengalirkan arus benih ketidak percayaan dan pembangkangan rakyat terhadap aparatur negara. Seperti menyusuri kanal-kanal kritis dan menembus bendungan anti kemapanan. Rekyat seakan sedang menyiapkan energi revolusi. Entah melalui ekstra parlementer atau cara-cara konstitusional. Meminjam istilah Bung Karno, rekonstrusi dan dekonstruksi,enjebol dan membangun. Dengan massa aksi atau “people power, rakyat bergerak menjejaki langkah revolusi seiring pandemi. Dengan kata lain, rakyat kini berada dalam situasi dan kondisi, usai pandemi menggeluti revolusi.

Ayo!. Seluruh rakyat Indonesia, bersama mahasiwa, bersama buruh, bersama kekuatan lintas agama dan bersama seluruh kekuatan progresif revolusioner.
Banjirilah jalanan, tumpah ruahlah berduyun-duyun, bergelombang bagai ombak yang tak pernah surut dan bergemuruh laksana petir. Tegakkan konstitusi, Tunaikan amanat penderitaan rakyat serta selamatkan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI tercinta.