Ahmad Daryoko/IST

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Dalam sebuah diskusi Sektor Ketenagalistrikan, seorang teman mengatakan bahwa di Kalifornia (AS) penerapan mekanisme pasar bebas kelistrikan, bahkan sampai pada kompetisi penuh atau MBMS (Multy Buyer and Multy Seller) System sekalipun , tidak berakibat munculnya Kartel Listrik Swasta.

Statement seperti diatas kemungkinan ada benarnya. Tetapi itu di AS. Yang para pejabatnya bisa berlaku professional, ketika sedang menjabat. Tetapi sangat berbeda dengan Negara2 berkembang, misal Philipina contohnya.

Di Philipina ketika NAPOCOR (PLN nya Philipina) di jual ke GE (AS), Siemens (Jerman), EDF (Perancis), Arreva (Perancis), Kanshai (Jepang), Hyundai (Korea) dll, mantan Presiden Arroyo langsung menjadi pimpinan Kartel Listrik Swasta itu ! Itu semua terungkap dalam sidang MK. Begitu juga yang terjadi di Negara2 berkembang lain yang melakukan privatisasi perusahaan listrik akibat hutang luar negeri yang besar.

Bagaimana di Indonesia ?

Kalau di Philipina, berlangsung nya penjualan asset NAPOCOR dilakukan oleh seorang Presiden bernama Arroyo Macapagal, dan dia langsung memimpin Kartel Liswas, maka di Indonesia tidak tertutup kemungkinan pimpinan Kartel saat ini adalah para “Peng Peng” semacam Luhut BP, JK, Dahlan Iskan, Erick Thohir.

Mengapa demikian ? Ya karena karakter pemimpin di Negara berkembang (korban hutang luar negeri) dan menerbitkan LOI memang bermental “brocker” seperti Indonesia. Ini berbeda dengan Malaysia yang saat itu menolak didekte IMF untuk terbitkan LOI, sehingga tarip listriknya juga masih separonya Indonesia (Global Petrol Price, Pebruari 2022).

Karena ketundukan terhadap Kartel inilah kemudian ada program Subholding PLN, yang hakekatnya merupakan Naskah Akademik UU No 20/2002 dan UU No 30/2009.

Anehkan ? Naskah Akademik dari pemikiran program “Unbundling” yang ditolak MK saat ini dipakai untuk lakukan Subholding PLN ?

Innalillahi wa Inna ilaihi roojiuunn !!

JAKARTA, 24 MARET 2022.