Presiden Joko Widodo meninjau calon ibu kota baru itu bersama dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Manoarfa, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar serta Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor/IST

Oleh Letjen TNI (Purn.) Marinir Suharto, PNKN

Saat saya masih di ABRI, setiap tahun kita selalu memperbaiki apa yang kita sebut dengan Kontigensi Nasional, yaitu kontingensi tentang ancaman dari luar. Khusus ancaman yang terkuat yang selalu kita waspadai itu ancaman dari utara. Sehingga kita membuat laut Natuna, Kepulauan Riau, dan Kalimantan adalah leading war commander atau komandan perang kita terdepan untuk menghadapi ancaman dari utara.

Dengan demikian pada saat ibu kota negara (IKN) akan dipindahkan ke Kalimantan (Kalimatan Timur, Kaltim), justru ini menjadi pertanyaan yang paling besar. Apakah betul IKN ini harus kita masukkan kepada Theatre of War, harus kita masukan kepada garis depan pertahanan kita.

Saya terbuka disini, dan selalu melihat *ancaman dari utara, ancaman dari China, ancaman dari Komunis.* Yang sampai sekarang masih menjiwai kami dari ABRI untuk bertahan supaya republik ini tidak jatuh ke dalam genggaman Komunis.

Sehingga apabila Kaltim termasuk dari bagian Theatre of War, maka adalah tidak bijak kalau IKN kita pindahkan ke Kaltim, karena ini sudah masuk garis depan. Kita masih ingat bagaimana Belanda menguasai Indonesia? Untuk menguasai Indonesia kuasai seluruh Jawa. Untuk menguasai pulau jawa, kuasailah Batavia, itulah konsep yang dipakai.

Tapi itu bukan tanpa perhitungan. Oleh karenanya saya juga sangat heran apabila ini kita majukan ke dalam mandala perang ibu kota. Ibu kota ini adalah sebetulnya markas komando untuk melawan ancaman dari luar. Dan di abad informatika/IT ini, markas komando negada dimanapun bisa yang penting aman. Ditempatkan di Papua pun tidak masalah, karena semua prsarana untuk mendukung itu ada.

Oleh karenanya dengan rasa hormat saya kepada negara, adalah tidak bijak kita memindahkan IKN Baru ke Kaltim. Hal yang paling menyakitkan atau hal yang paling mendalam, saya tidak tahu mekanisme yang dipakai pemerintah, dan tiba-tiba Joko (wi) memerintahkan kita pindah kesana. Tidak bisa begitu!!

Kalau kita menganut Pancasila dan UUD 1945 yang asli, Presiden itu adalah mandataris daripada MPR. Sehingga apapun yang dia kerjakan atas perintah MPR, karena disitulah sebetulnya kedaulatan bangsa ini, kedaulatan rakyat disini.

Tapi apa lacur kita lihat sekarang empat kali amandemen, justru MPR dimandulkan, dibancikan sebanci-bancinya. Oleh karenanya saya dating ke kantor bapak Ketua DPD. Mari bersama-sama kita bangkitkan, kita fungsikan kembali MPR ini.

Agar supaya kedepan suara rakyat itulah suara yang dijalankan, itulah suara yang harus kita junjung. Bukan kita ikuti suara seorang kepala negara. Dia hanya mandataris dari pada MPR.

Khusus untuk pindah IKN ke garis depan, sulit bagi kami terima dan itu tidak bijak, sangat tidak bijak. Saya kira cukup pidato saya ini, terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

(Disampaikan saat Audiensi PNKN dengan Pimpinan DPD RI, Maret 2022).