Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin/IST

by M Rizal Fadillah

Empati kepada rakyat semestinya menjadi sikap utama seorang pemimpin. Apalagi Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dan diamanati oleh rakyat. Dalam situasi pandemi atau menghadapi problema serius maka empati harus lebih tinggi. Mampu menggembirakan dan memberi solusi nyata.

Wakil Presiden yang menyarankan rakyat untuk makan dua pisang sebab dinilai cukup mengenyangkan sangat menyinggung. Masalahnya hal itu bukan konsumsi yang dicontohkan oleh Wakil Presiden sendiri. Bahkan di media ditampilkan Wakil Presiden sedang menyantap hidangan yang serba lengkap di depan mejanya. Pisang bukan makanan pokok, kecuali untuk onyet.

Sementara Presiden minta masyarakat agar saat halal bil halal pasca Ramadhan untuk tidak makan dan minum. Sesuatu yang tidak lazim bahkan aneh. Justru budaya melekat pada halal bil halal adalah makan dan minum. Wujud dari silaturahim, tasyakur dan kebahagiaan umat. Jika “dilarang” makan dan minum maka dipastikan nilai halal bil halal tersebut menjadi hambar. Jangan jangan Pak Presiden yang pelit ga mau ngasih makan pada tamu. Eh bukan pelit tapi kopit kopit.

Presiden dan Wakil Presiden kurang memiliki kepekaan sosial. Waspada memang perlu tetapi paranoid adalah keliru. Yang bahaya justru jika pandemi ditunggangi oleh kepentingan politik dan ekonomi.
Setelah dua tahun pandemi berjalan maka saatnya untuk segera melakukan audit menyeluruh dana pandemi tersebut. Juga evaluasi kebijakan politik yang diduga menyimpang. Termasuk ocehan-ocehan Menteri yang dinilai ngawur atau mengada-ada.

Julukan-julukan di masyarakat seperti Presiden raja dusta, boneka, jago pencitraan, tukang lempar-lempar hadiah, rindu tapi didemo kabur, menuduh radikal atau hobi jual aset adalah bukti rendahnya wibawa dan keraguan atas kualitas dirinya. Begitu juga dengan Wapres yang pendiam. Keberadaannya tidak dirasakan . Ada sama dengan tiada.

Musibah bagi bangsa Indonesia yang memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang kurang bermutu. Di dunia internasional juga kurang membanggakan. Satu dua media dunia ikut mencibir eh prihatin. Tapi sudahlah toh sebentar lagi juga akan ada proses penggantian. Jika ada aspirasi pasangan ini agar diperpanjang, maka itu ‘out of the box’ atau kata orang Sunda ‘mahiwal’. Mungkin berbasis big data abal-abal.

2024 adalah tahun harapan untuk memiliki pemimpin bangsa yang lebih baik. Tentu dengan ikhtiar yang lebih keras dan do’a lebih khusyu. Siapapun boleh berkompetisi dan hasilnya adalah ‘primus inter pares’ yang terbaik yang menang.
Kita bukan bangsa keledai yang terperosok dua kali di lubang yang sama.

2024 adalah tahun perubahan untuk prosesi normal. Tapi semua tergantung rakyat. Jika rakyat mau lebih cepat maka itupun haknya, ada aturan Konstitusi yang mengaturnya. Yang pasti jika menunda atau memperpanjang maka hal ini namanya melawan atau melanggar Konstitusi. Dan itu tidak boleh.

Pemimpin itu datang dan pergi. Jika sebelumnya Presiden atau Wakil Presiden dinilai kurang bermutu, kita rakyat Indonesia berharap penggantinya jauh lebih baik. Lebih berkhidmat pada kepentingan rakyat, adil dalam menegakkan hukum, tidak memperkaya diri dan kroni, serta siap mundur atau dimundurkan jika gagal menjaga kemurnian Ideologi dan Konstitusi.

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebaiknya fokus untuk mengakhiri jabatan dengan baik. Jangan berusaha untuk menumpuk kekayaan terakhir dengan baik. Bekerja demi nama baik, agar dikenang rakyat Indonesia. Bila tidak baik, maka akan ada buku yang berjudul “Dari Istana ke Penjara”.

2024 adalah batas akhir. Batas akhir.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 23 April 2022