“Koalisi Indonesia Bersatu”,
Mungkinkah “Leading Sector”?!
Oleh Imam Wahyudi
PRODUK baru lazim mengundang minat. Aromanya menggugah selera. Sekadar icip-icip, boleh. Hingga ikut menyantap. Boleh dibungkus pula.
Itulah pesan tertangkap dari “Bertiga Bersatu”. Selanjutnya populer dengan sebutan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Penuh kejutan. Sejatinya “fresh from the oven”.
Album “new release” yang digagas “Tiga Sekawan”. Trio petinggi parpol. Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Zulkifli Hasan (PAN) dan Suharso Monoarfa (PPP). Trio AZS. Produk anyar yang meluncur di saat surut geliat politik. Ketika banyak orang masih larut suasana silaturahmi IdulFitri. Karuan, daya hentaknya melebihi konfigurasi parlemen Senayan.
Kemasan baru sebagai sebuah inisiasi. Mungkin saja model koalisi dini. Bergulir di ruang publik. Menyentak atmosfir gedung parlemen yang masih sepi penghuni. Mencolek kaget parpol tetangga. Mengusik pemerhati untuk bicara. Menguak tabir di antara spasi tak terkira.
Apa, mengapa dan menuju ke mana? Sejumlah tanya yang menyelinap. Lapak KIB menjadi terminal baru kekinian. Apalagi, kalau bukan mengait “tahun politik”. Dipastikan menjelang agenda 2024. Betapa pun masih dua tahun lagi, rasanya sudah harus dimulai. Hendak ke mana? Biarlah dinamika dan waktu yang menjawabnya. Tak seorang pun dari boss parpol itu lugas menjawab. Sekurangnya, biarlah mengalir ke muara bersama.
KIB mengambil inisiatif dinamika dan waktu tadi. Paling tidak, memaklumkan sebuah konfigurasi parlemen pada kesempatan pertama. Modal awal yang setara 25,7% dari kekuatan 575 anggota DPR RI. Berjumlah 148 kursi, meliputi Partai Golkar (85), PAN (44) dan PPP (19). Terpenuhi prasyarat “parliamentery threshold”.
Hemat penulis, bukan semata “ambang batas” 20%. Tapi, lebih pada aspek “positioning” politik. Tak cukup berpegang pada “tiba saat tiba akal”. Kenapa tidak berperan sebagai pendahulu. Tidak harus dalam arti mendahului. Peran pemrakarsa, biasanya mengundang apresiasi. Gagasan yang menawarkan pesan, “Ayo Bersama!”. Bersahaja dalam wacana. Rasanya, bukan hendak menabuh “genderang perang”. Bukan. Secara umum, sebuah langkah penjajagan.
Nyatanya, KIB mulai dilirik. Pergelaran perdana memicu magnet. Menginspirasi. Tak kurang Ridwan Kamil dari Jawa Barat mendadak berkunjung. Tak cukup berkedip di balik niat silaturahmi pascalebaran. Meski, tak tampak tersirat niat. Rasanya sulit untuk mengatakan sebagai tiada kaitan kontestasi pilpres. Tak mudah pula memanai, semata dalam rangka “tahun politik”. Selebihnya olahan pembuka. Figur lain yang muncul di lahan survei pun memadu komunikasi. Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Sandia Uno, dan lainnya. Konon, di sirkuit politik mengajarkan: “Tak boleh kalah melangkah.” Atau “ketinggalan kereta”. Lagi-lagi, penjajagan pula.
***
Proposal KIB bisa diharapkan sebagai “call” politik. Manuver politik tingkat dewa. Sebuah “embryo” koalisi parlemen. Menuju Pemilu Serentak 2024. Utamanya agenda pilpres. Menara KIB juga menjadi sinyal kuat tiadanya penundaan jadual Pemilu. Tak kecuali soal periodisasi jabatan presiden. Dengan kata lain, berlanjutnya tradisi berdemokrasi secara konstitusional.
Akhirnya, akankah KIB terus menggelinding? Akankah KIB, kelak menjadi “leading sector” kekuatan politik pilpres 2024? Hemat penulis, KIB bisa menjadi “pro memoria”. Setidaknya, dalam posisi yang berlanjut solid — bisa diharapkan menjadi “bandul”. Senantiasa berdentang ke kiri dan ke kanan. Bunyi dan bunyi. Eskalasi tak surut berhenti di sini. Jalan masih panjang dan berliku. “The Long and Winding Road”.***
– Penulis, wartawan senior di Bandung.