“Jebakan Batman” Pengacara Ade Armando

402
Eddy Soeparno, Sekretaris Jenderal PAN/IST

“Jebakan Batman” Pengacara Ade Armando

Oleh Imam Wahyudi *)

LAGI dan lagi, pengacara Ade Armando unjuk rapuh dalam pertahanan. Potensial gawang kebobolan. Di laga publik pula. Kadung tanpa tepuk tangan khalayak. Dia, Muannas Alaidid — memaksa diri jadi “striker tunggal”. Dadakan dari bangku cadangan. Rapuh. Tak siap tanding dan rentan “zona marking”. Bisa kocar-kacir . Resiko gol cuma soal waktu.

Paragraf ringkas lugas di atas ingin menjelaskan bab “counter” Muannas. Menumpang di jalanan milik Eddy Soeparno. Usai Sekretaris Jenderal PAN itu memenuhi undangan Polda Metro Jaya, Senin kemarin, 23 Mei 2022. Tak ada yang aneh. Mestinya, tak perlu bikin pening kepala Muannas. Sebuah tahapan baku alias standar, menyusul LP oleh Eddy pada 25 April lalu. Semata kepentingan pemeriksaan sebagai saksi pelapor. Itu saja.

Muannas pasti maklum soal itu. Pengacara, gitu lho. Lantas, apa relevansi dan korelasi — yang memaksanya beropini. Toh, tak berguna — tak bermakna. Dari sisi mana pun. Tampak, emosi terlanjur labil. Sebaliknya, pihak Eddy melangkah tegap. Mengalir dalam jalur “on the track”. Terbilang, santuy.

***

SEMULA, saya tak percaya sang pengacara Ade Armando bakal terusik. Diam dan mengamati, mestinya lebih baik. Ibaratnya, seloroh “nyanyimu bagus — tapi lebih bagus diam. Duduk menyimak, sambil ngopi. Memaksakan “counter opini” yang tak perlu. Dangkal! Lagi-lagi, opini publik tak beranjak. Tak berpihak padanya. Cuma bikin gaduh. Tampaknya, belum juga mau siuman akan guliran sanksi sosial.

Geliat sang pengacara yang mengingatkan “jebakan batman”. Terjebak di parit arogansi. Ingin unjuk kebal (hukum). Tampak bebal. Cenderung tak peduli bakal terinjak dan layu. Tragedi yang terpicu “psiko massa” di depan Gedung Rakyat, 11 April 2022 — nyata tak menjadikannya sebagai inspirasi berintrospeksi. Sok beraksi, jadinya malah terkurung aksi. Terkapar.

Bukti soal berlanjut arogansi. Mengesankan, bahwa Ade Armando sebagai kebal hukum. Lagi, malah mempertontonkan bebal. Sebisa mungkin memindahkan panggung sandiwara. Dari cedera fisik hingga ICU ke pentas medsos (twitter). Jelas, mengada-ada dan diada-adakan. Merespons semau gue opini Eddy. Tipikal arogansi diawali menyergah. Meminta pesan itu dihapus. Lantas mendesak somasi. Tentu, tak digubris. “Emang siapa loe..?!!” Pengacara Ade Armando tengah mendemonstrasikan demokratisasi kebablasan. Abai ruang kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sederet itu sudah lebih dari cukup untuk menyebut sebagai aksi arogansi.

Sudah pas, pihak Eddy merespons lewat jalur formal. Jalur hukum. Mendorong proses LP sebagai jawaban. LP terhadap dugaan pencemaran nama baik atasnama Muannas Alaidid. Pas, sudah. Tak ada yang salah soal langkah. Ciamik dan bijak. Weleh-weleh, malah Muannas menumpang opini. Mengesankan kebakaran jenggot. Mungkin, panik pula.

Lagi-lagi, membangun opini liar. Lagi, padahal sepi respons. “Dia yang nuduh Ade Armando penista agama, kok bisa dia yang laporkan saya merasa dicemarkan nama baik,” kata Muannas. Tak menduga, pernyataannya begitu dangkal. Gagal memahami substansi. Atau kadung “zig zag”. Ngeles. Terbukti tak mahir bermain di jalur “special stage”. Minus referensi dan ketahanan (endurance). Maaf, baca lagi berulang pernyataan Eddy Soeparno di laman twitter. Maaf lagi, silakan Muannas mengkaji seksama. Utamanya aspek tata bahasa dan urutan kata dalam kalimat itu. Tak ada titian alur hukum.

Tak ada kata Ade Armando. Cuma initial AA. Gak perlu panjang lebar berdebat soal ini. Hingga ke pengadilan pun, hemat penulis — pihak Eddy cukup berhenti pada sebutan AA. Tak dimungkinkan adanya tekanan, bahwa AA sebagai Ade Armando. Di spasi awal ini saja, pihak Ade Armando sudah salah kaprah. Lebih paranormal ketimbang pengacara.

Sebut saja, Muannas telah dengan sengaja menyerang Eddy Soeparno. Tanpa konsiderans yang memadai, level faham hukum. Lebih pada peran pengacara sebatas profesi. Gebyah uyah, semata kejaran berkah. Dia memaksakan diri memaknai, pihak Eddy menghakimi dengan “komentar sadis sebagai penista agama”. Merujuk itu, malah seolah pihak Ade Armando menyadari (pernah) berbuat sebagai “penista agama”. Logika sederhana, bila berpendirian “Tidak” — tentu, tak perlu serta-merta membaca kata AA sebagai Ade Armando. Rasanya abai memahami narasi dalam konteks titah berbahasa secara benar. Seputar ini, penulis siap berdebat di darat. Ayo…!!

Menyusul opini dangkal Muannas, sejatinya memberi amunisi buat Eddy Soeparno. Siap menembakkan balik. Sekjen DPP PAN pun mudah menangkis. Cukup dengan senyuman. Mengacu kontennya, Eddy tak menyebut AA sebagai penista agama. Lagi, cuma tertulis AA — bukan Ade Armando. Tak ada diksi bersifat spesifik. Tak ada arah pencemaran nama baik terhadap Ade Armando. Konten, sebatas menyebut “menistakan agama”. Bukan “penista agama”. Dua hal berbeda arti dan makna. Substansi konten lebih pada penegakkan hukum. Hal yang pasti kita bersepakat, peringatan itu menunjukkan peran Eddy Soeparno di parlemen. Jelas pisan, euy.

*)Penulis, wartawan senior di Bandung.