Anthony Budiawan/ist

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Dalam sistem presidensil seperti Indonesia, presiden bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan negara. Untuk menjalankan tugas ini, presiden diberi kekuasaan sangat besar, yang disebut hak prerogatif. Antara lain bisa mengangkat dan memberhentikan menteri: kapan saja dan siapa saja.

Pernyataan Jokowi sebelumnya juga menguatkan ini: “tidak ada visi-misi menteri, yang ada hanya visi-misi presiden.” Jokowi secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab penyelenggaraan negara ada di pundak presiden, bukan di pundak menteri.

Artinya, kinerja menteri merupakan tanggung jawab presiden: kinerja menteri adalah cerminan kinerja presiden. Karena, kebijakan menteri merupakan perintah langsung dari kebijakan presiden. Bukankah begitu?

Reshuffle kabinet, mengganti menteri, sah-sah saja, karena memang merupakan hak prerogatif presiden. Tetapi, mengganti menteri bukan untuk menghilangkan tanggung jawab presiden, atas kinerja buruk atau kesalahan kebijakan menteri. Artinya, reshuffle tidak bisa mengalihkan tanggung jawab presiden kepada menteri.

Karena itu, di negara yang menghormati konstitusi, dan beradab secara politik, kita sering dengar presiden atau perdana menteri mundur akibat salah satu menterinya melakukan pelanggaran, misalnya korupsi, meskipun mungkin presiden atau perdana menteri bersangkutan tidak terlibat kasus korupsi tersebut.

Maka itu, antusiasme masyarakat terhadap rencana reshuffle merupakan ungkapan emosional yang tidak tepat, seolah-olah menteri lah yang bertanggung jawab atas kinerja kabinet. Hal ini membuat sistem pertanggungjawaban presiden menjadi melenceng.

Akar permasalahan terjadinya distorsi pertanggungjawaban presiden ini terletak pada DPR yang tidak menjalankan fungsi dan wewenang yang diberikan konstitusi kepadanya, antara lain untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja presiden secara terus-menerus, selama masa jabatan.

Fungsi pengawasan DPR ini tidak hilang meskipun amandemen UUD menghilangkan mekanisme pertanggungjawaban presiden pada akhir masa jabatan. Karena konstitusi memberi wewenang kepada DPR untuk dapat meminta pertanggungjawaban presiden setiap saat apabila diperlukan.

Namun, fungsi pengawasan DPR saat ini sedang lumpuh total sehingga merusak sistem ketatanegaraan: check and balances tidak berfungsi. Kondisi ini menciptakan rezim tirani. Tidak ada yang mengawasi sepak terjang eksekutif. Karena itu, banyak undang-undang bermasalah dan digugat ke Mahkamah Konstitusi, yang kini juga menjelma menjadi penjaga tirani.

Distorsi ini membuat eksekutif menjalankan roda pemerintahan untuk kepentingan kelompoknya, kepentingan partai politik dan oligarki. Mengangkat ketua umum dan kader senior partai politik menjadi menteri, menambah fungsi pengawasan DPR semakin teramputasi.

Karena itu, tidak ada harapan DPR mampu membela kepentingan rakyat banyak, mampu mengusut tuntas misalnya kasus kartu prakerja yang menurut BPK ‘salah sasaran’, kata lain dari ‘penyimpangan’ atau ‘korupsi’? Karena, aktivitas kartu prakerja berada di bawah tanggung jawab menko perekonomian yang sekaligus menjabat ketua umum partai, yang tentu saja mempunyai pengaruh besar di DPR, khususnya terhadap anggotanya?

DPR juga tidak berdaya ketika dihadapi dengan kasus tes PCR yang sangat mahal, di mana melibatkan pengusaha yang juga sekaligus merangkap menteri.

Dengan kondisi sistem pemerintahan yang sakit seperti digambarkan di atas, jangan berharap berlebihan. Jangan berharap reshuffle dapat memperbaiki kinerja eksekutif. Terbukti. Reshuffle Juni lalu malah menjadi antiklimaks, menambah satu ketua umum partai politik di jajaran menteri.

Karena itu, rakyat harus dapat meluruskan kembali tugas dan wewenang presiden sesuai sistem presidensil. Yaitu, kinerja menteri merupakan tanggung jawab presiden. Kalau menteri salah, maka presiden yang bertanggung jawab. Sehingga presiden harus hati-hati dalam mengangkat menteri. Reshuffle selama ini hanya penting bagi partai politik, bagi-bagi jabatan dan memperkuat tirani.

Selain itu, rakyat wajib menuntut DPR agar menjalankan fungsinya sesuai perintah konstitusi, mengawasi eksekutif demi kepentingan rakyat banyak. DPR sebagai perwakilan rakyat harus tunduk kepada rakyat, karena kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat, seperti dinyatakan dalam konsitusi:

_“… disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …”_

Artinya, wewenang DPR berasal dari rakyat dan wajib membela kepentingan rakyat banyak. Apabila tidak maka rakyat dapat mencabut wewenang yang diberikan kepadanya. Bagaimana caranya? Semoga para tokoh bangsa dapat mencari solusi penyelesaian krisis konstitusi ini: Krisis konstitusi kedaulatan rakyat.

— 000 —