Buku The Fourth Industrial Revolution Karya Klaus Schwab | IST
Buku The Fourth Industrial Revolution Karya Klaus Schwab | IST

Oleh: Hendrajit* 

Revolusi industri keempat berbasis digital dan teknologi saat ini, selain melaju dengan kecepatan eksponensial dan tidak lagi linear seperti revolusi industri kedua dan ketiga, juga berpotensi membentuk ulang manusia dalam konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Karakteristik dari revolusi industri berskala global yang kerap kita sebut revolusi industri 4.0, akan mempengaruhi negara seraya pada saat yang sama dipeengaruhi oleh negara terhadap sektor ekonominya, industrinya, dan pola kehidupan masyarakatnya.

Satu hal yang kita harus sadari saat ini, lahirnya sebuah cara pandang baru dalam melihat dunia yang disusul dengan munculnya teknologi-teknologi baru yang mutakhir, akan memicu perubahan secara mendalam pada sistem ekonomi, struktur politik dan struktur sosial.

Revolusi Industri berbasis digital ini berbasis keluasan-daya jangkau dengan penyebaran yang lebih cepat dan lebih luas daripada sebelumya.

Namun paradoks dari revolusi berbasis digital ini, 4 juta miliar orang yang tinggal di negara-negara berkembag, masih belum bisa mengakses internet. Bahkan dalam menikmati revolusi industri kedua, masih ada 1,3 miliar atau 17 persen dari populasi dunia, masih belum bisa mengakses listrik.

Disinilah salah satu ciri pembeda revolusi industri keempat yang berbasis digital dengan revolusi industri pertama. Misal, alat tenun yang merupakan simbol revolusi industri pertama, butuh 120 tahun untuk bisa menyebar ke seluruh kawasan Eropa. Sebaliknya internet sebagai salah satu komponen utama dari revolusi industri keempat, mampu menyebar ke seluruh dunia hanya dalam waktu kurang dari satu dekade. Bukan main!

Begitupun, dari aspek keadilan sosial dan kesetaraan, kondisi obyektif yang lahir dari Revolusi Industri Keempat ini, tetap memihak dan menguntungkan para kapitalis berbasis korporasi.

Apa salah satu dampak buruk dari revolusi berbasis digital ini? Tetap masih sama sepeti revolusi industri sebelumnya. Mengorbankan buruh demi investasi dan modal.

Mari kita simak fakta-fakta berikut ini. Pada 1990, tiga perusahaan besar di Detroit (pusat industri tradsional Amerika) memiliki kapitalisasi pasar sebesar 36 miliar dolar AS, dengan pendapatan sebesar 250 miliar dolar AS, dan punya 1,2 miliar pekerja.

Lantas bagaimana kondisi pada 2014? Tiga besar perusahaan Silicon Valley tersebut membukukan kapitalisasi pasar lebih tinggi yaitu 1,9 triliun dolar AS, menghasilkan pendapatan yang kurang lebih sama seperti era 1990an yaitu 247 miliar dolar AS, namun dengan jumlah pekerja yang hampir 10 kali lebih sedikit, cuma 137.000 orang.

Salah satu penyebab menurunnya jumlah pekerja, bukan semata disebabkan mesinnya atau teknologi menggeser pekerja manual atau tenaga kasar seperti di revolusi2 industri sebelumnya. Atau perubahan pola rekrutmen karyawan. Ada sesuatu yang lebih krusial. Adanya perubahan hakekat kerja itu sendiri.

Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution, yaitu maraknya Ekonomi berbasis permintaan telah mengubah sistem penyediaan tenaga kerja. Sehingga penyedia tenaga kerja dalam pemahaman yang tradisional (saya lebih sreg dengan istilah konvensional), sekarang sudah berubah jadi kumpulan pekerja mandiri yang menjalankan tugas-tugas khusus.

Situasi baru ini jelas menempatkan pekerja dalam posisi lemah dalam tawar menawar dengan pemilik perusahaan. Seperti ditulis Daniel Callagha, pimpinan eksekutif dari MBA & Company di Inggris dalam artikelnya di Financial Times kiranya sangat pas memotret posisi tawar yang lemah dari pihak pekerja:

“Anda kini bisa mendapatkan siapapun yang anda inginkan, kapanpun anda mau, persis seperti yang anda mau. Dan karena mereka bukanlah karyawan, anda tidak perlu berurusan dengan kerumitan dan regulasi-regulasi ketenagakerjaan.”

Barang tentu yang dimaksud Daniel Callaghan dalam tulisannya itu adalah untuk memotivasi para pengusaha, namun dari sini tergambar jelas kondisi obyektif Revolusi Industri Keempat berbasis digigal saat ini. Betapa lemahnya posisi tawar pekerja.

Meskipun dari sisi efek sampingannya, sebenarnya bukannya tidak ada celah yang menguntungkan bagi pekerja dengan sistem pekerja mandiri dengan tugas-tugas khusus seperti gambaran tadi itu.

Apa segi keuntungannya? Namanya juga pekerja mandiri yang tidak terikat oleh surat perjanjian kerja hak dan kewajiban karyawan kantoran atau pabrikan, keuntungan utamanya adalah kebebasan (untuk bekerja atau tidak) serta mobilitas tanpa batas yang mereka nikmati sebagai bagian dari jejaring kerja virtual global.

Bagi para pekerja mandiri yang secara mental siap memasuki kancah sistem baru ini, akan memandang situasi baru ini sebagai peluang dan tawaran yang ideal karena mampu menggabungkan kebebasan, stres yang lebih sedikit, dan kepuasaan pekerjaan yang lebih besar.

Melihat tren ini, global paradox tak terelakkan, kalau nggak mau dibilang kontradiktif. Revolusi kerja yang baru dan bersifat fleksibel ini, memang berpeluang bagi orang-orang yang kreatif dan inovatif dalam memberdayakan dirinya sebagai bagian dari jejaring kerja virtual berkskala global.

Namun pada saat yang sama, bagi para pekerja mandiri yang tidak siap memasuki kancah baru ini, yaitu munculnya kelas sosial yang sering berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, berpindah dari satu profesi bidang ke profesi bidang lainnya, yang didorong oleh kebutuhan hidup, dan bukannya didorong oleh jiwa eksplorasi untuk merasakan beragam bidang dan minat.

Dalam situasi ketika pekerja menjadi kelas sosial yang kerap berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain akibat desakan kebutuhan hidup, maka otomatis para pekerja mandiri yang tidak terikat surat perjanjian kerja itu berada dalam posisi tawar yang lemah dalam memperjuangkan hak-hak dan jaminan kerjanya.

Tantangan dalam menjawab era sistem pekerja mandiri yang menjalanka tugas-tugas khusus dalam Revolusi Industri Keempat adalah bagaimana memunculkan bentuk kontrak sosial dan kontrak kerja yang menguntungkan di tengah perubahan hakekat kerja yang sedang berevolusi dan sistem ketenagakerjaan yang baru.

Gagasan dasarnya adalah, membatasi kerugian yang muncul terhadap para pekerja akibat pesatnya perkembangan Revolusi Keempat berbasis Digital itu, sehingga terhindar sebagai obyek eksploitasi pemilik modal.

Menutup catatan singkat ini, ada sebuah peringatan dari Karl Marx yang jarang sekali kita kutip, padahal sangat pas ketika menggambarkan dampak buruk dari sistem kapitalisme abad ke 19 di Eropa terhadap para pekerja.

Menurut Marx, bagi seorang pekerja soalnya bukan dia terampil dan cakap dalam bidang apa, atau apa bakat unggulannya. Seorang pekerja dalam sistem produksi, bukan sekadar ingin sekadar bagian dari sebuah proses, tetapi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Dalam bahasa persisnya, Karl Marx yang terkenal dengan buku monumentalnya berjudul Das Kapital, mengatakan bahwa proses dari sebuah spesialisasi dapat mengurangi sensasi dari tujuan yang kita cari dari pekerjaan.

Ekspresi kekhawatiran Marx tersebut sangat tepat dan masih pas hingga kini. Dalam bahasa gampangnya, kita ini hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup?

Dan jika hidup untuk kerja, berarti hidup untuk berkarya. Di sinilah frase kalimat Marx jadi relevan di balik kalimatnya yang penuh kekhawatiran dan peringatan. Bahwa bekerja berarti menemukan sensasi dari tujuan yang kita cari dari pekerjaan. Artinya bekerja karena passion atau panggilan hasrat sejatinya.

Apakah sistem ketenagakerjaan yang berbasis para pekerja mandiri yang menjalankan tugas-tugas khusus tadi itu membuka ruang atau justru membunuh sensasi dari tujuan yang kita cari di balik bidang kerja yang kita pilih tersebut?

Disinilah pentingnya kita berkontemplasi dan merenungkan konsekwensi-konsewensi terburuk dari pesatnya perkembangan Revolusi Industri Keempat. Serta bagaimana mengantisipasinya.

*) Hendrajit,
Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dan Wartawan Senior