JAKARTASATU.COM – Kalau kita bicara utang, ada dua jenis hutang yang patut disoroti, yaitu utang pemerintah dan utang luar negeri. Kedua jenis utang tersebut mempunyai risiko yabg berbeda.
Utang pemerintah mempunyai risiko krisis fiskal atau APBN. Utang luar negeri mempunyai risiko krisis valuta atau krisis cadangan devisa, seperti yang terjadi di Sri Lanka. Demikian dikatakan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthoni Budiawan dalam acara Gurita Utang Mencekik Rakyat: Saatnya Kita Tuntaskan pada Kamis 14 Juli 2022 di Aula Masjid Agung Sunda Kelapa Jalarta Pusat
Sedangkan utang dalam negeri pada prinsipnya tidak mengandung resiko sama sekali. Karena pemerintah mempunyai dua kiat untuk mengatasinya:
1. Pemerintah mempunyai hak mencetak uang, seperti tahun 2020 ketika pandemi dengan memberdayakan Bank Indonesia membeli surat berharga negara di pasar perdana.
2. Pemerintah bisa menaikkan pajak seperti dilakukan tahun ini menaikkan PPN. Utang luar negeri tidak bisa dikendalikan karena kita harus membayar dengan mata uang asing, dengan devisa. Kita hanya bisa mendapatkan devisa kalau neraca perdagangan kita positif.
“Kalau terjadi kekurangan devisa maka bisa memicu terjadi krisis cadangan devisa, krisis valuta, krisis tahun 1997/1998, seperti tahun 1965, dan seperti Sri Lanka saat ini. Tahun 1998 terjadi penarikan dolar ke luar negeri secara besar-besaran, memicu terjadi krisis devisa. Semua ini akibat struktur ekonomi yang kurang sehat,”jelasnya.
Ditabahkan Anthoni artinya transaksi berjalan mengalami defisit berkepanjangan. Untuk menghindari krisis cadangan devisa agak tidak terjadi seperti Sri Lanka, pemerintah harus memperkuat struktur ekonomi dengan membuat neraca transaksi berjalan surplus.
Masih kata Anthoni bahwa defisit transaksi berjalan berarti utang terhadap luar negeri bertambah, surplus berarti utang luar negeri berkurang. Indonesia net borrower, semakin lama semakin besar, sehingga risiko krisis juga semakin besar.
“Akibat kenaikan harga komoditas, neraca transaksi berjalan dalam dua tahun belakangan ini membaik. Tetapi, ketika harga komoditas turun, maka risiko krisis cadangan devisa membesar,”pungkasnya. (R/Y)