By Pierre Suteki
Menyimak banyak tuntutan kelompok kecil yang dapat dinilai sebagai tuntutan disruptif alias radikal, maka kelompok itu dapat disebut sebagai sebuah kelompok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap carut matut negeri dengan tetap mengandalkan akal bukan okol. Dalam perspektif Toynbee, maka kelompok ini dapat disebut sebagai creative minority.
Creative Minority merupakan sebuah konsep yang seharusnya akrab bagi para baik itu mahasiswa, dosen, guru, pegawai, maupun alumni sekolah atau perguruan tinggi sebagai pihak yang berkompeten terhadap jatuh bangunnya peradaban suatu bangsa. Konsep ini pertama kali digagas oleh Arnold Joseph Toynbee, seorang sejarawan Inggris melalui buku yang bertitel A Study of History yang diterbitkan pada tahun 1934. Konsep ini sering kita dengar dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia. Sebuah pertanyaan sederhana kemudian muncul, apa sebenarnya yang dimaksud dengan creative minority?
Terkait dengan pertanyaan apakah creative minority itu Arnold Toynbee menyatakan bahwa:
“A society develops into a civilization when it is confronted with a challenge which it successfully meets in such a way as to lead it on to further challenges. The challenge may be a difficult climate, a new land, or a military confrontation (even being conquered). The challenge must not be so difficult as to be insurmountable or even so difficult that the society does not have sufficient human resources and energy to take on new challenges.”
Selanjutnya Toynbee menyatakan bahwa:
“the ideas and methods for meeting the challenges for a society come from a creative minority. The ideas and methods developed by the creative minority are copied by the majority. Thus there are two essential and separate steps in meeting a challenge: the generation of ideas and the imitation/adoption of those ideas by the majority. If either of those two processes ceases to function then the civilization breaks down”.
Menurut Toynbee, kemampuan masyarakat untuk tetap bertahan itu dimotori oleh sekelompok kecil orang yang secara kreatif menggagas dan mengaplikasikan ide dan solusi-solusi baru untuk menghadapi tantangan yang ada. Ide dan solusi tersebut sangatlah tepat dan sesuai dalam menjawab tantangan yang ada, sehingga kemudian diadopsi oleh masyarakat secara keseluruhan. Sekelompok kecil orang inilah yang kemudian disebut Toynbee sebagai “The Creative Minority“.
Konsep Creative Minority ini kemudian dimaknai sebagai kelompok kaum pemimpin, yang merupakan golongan kecil, namun karena superioritas jiwa dan rohnya serta kekuatan dan keteguhan keyakinannya, sanggup menunjukkan jalan dan membimbing massa yang pasif, kehilangan arah dan mengalami kebingungan (Sutarno, 2011). The Creative Minority ini adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki idealisme, jiwa kepemimpinan sejati, kemampuan, kemauan dan keberanian, untuk melawan arus pendapat dan perilaku umum yang kacau dan kehilangan nilai-nilai serta norma-norma hukum dan etika yang luhur. Kita sebagai bangsa yang besar harus mempunyai visi untuk menjadi sebuah komunitas cendekiawan yang mampu menampilkan ciri creative minority di atas.
Ada satu hal yang sangat menarik dari konsep creative minority-nya Toynbee, yakni persoalan kedekatan hubungan antara AGAMA dan JATUH BANGUN-nya PERADABAN MANUSIA, sebagaimana konsep yang dikembangkan oleh Samuel Huntington. Secara lengkap, Toynbee menyatakan:
“The universal religion and its philosophy are usually borrowed from an alien civilization. The development of the new religion reflects an attempt by the people of the internal proletariat to escape the unbearable present by looking to the past, the future (utopias) and to other cultures for solutions. The religion eventually becomes the basis for the development of a new civilization. Religion amounts to a cultural glue which holds the civilization together. There is thus a close relationship between religions and civilizations”.
Berdasar uraian di atas kita dapat ditegaskan bahwa dibutuhkan creative minority untuk melakukan perubahan yang bersifat “disruption”. Oleh karena jatuh bangunnya peradaban manusia sepanjang sejarah sangat ditentukan oleh “religion”, maka kebangkitan peradaban ke depan tidak bisa dijalankan secara SEKULER melainkan harus colored by religion. Sektor pendidikan, mulai dari pendidikan pra sekolah, dasar, menengah hingga pendidikan tinggi mempunyai peran strategis dalam menyongsong kebangkitan peradaban suatu bangsa. Maka sungguh aneh bila konsep pendidikan di negara ini hendak dijalankan secara sekuler yang hanya mengejar aspek skill, kompetensi, dan kompetisi dengan melupakan aspek religion.
Jadi, agar kebangkitan peradaban yang ditandai dengan adanya perubahan keadaan dari kelemahan dan kehinaan menjadi bangsa yang kuat dan disegani, maka creative minority tidak boleh diarahkan menjadi sekuler, melainkan generasi creative minority yang bila diterjemahkan secara konkret memiliki karakter sebagai berikut:
1. KOKOH AKIDAH (keyakinan agama dapat diandalkan, tidak ateis, tidak sekuler);
2. PECINTA ILMU PENGETAHUAN (sesuai bidangnya, IT, statistik, psikologi dll);
3. KUAT IBADAHNYA (visi karyanya adalah pengabdian kepada Tuhannya (Alloh));
4. ZUHUD (hidup dalam kesederhanan tetapi berkualitas).
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mampukah kelompok kecil dapat terbimbing dalam atmosfer keberadaban yang sejati, yakni sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu peradaban religius (Religious Civilization) bukan peradaban sekuler (Secular Civilization) sehingga mampu membangunkan macan Asia yang tidur dan mampu membangkitkan kembali keterpurukan berbagai sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Tuntutan kelompok kecil ini akan dapat tercapai jika kelompok itu benar-benar memiliki karakter creative minority. Jika tidak, jangan berharap perubahan disruptif akan terjadi apalagi menginginkan adanya REVOLUSI AKHLAK. Andakah salah satu bagian dari CREATIVE MINORITY itu?
Tabik..!!!
Semarang, Senin: 18 Juli 2022