Researcher dari Global Future Institute, Hendrajit memaparkan sejumlah hal dalam konteks saat ini baik Global atas perang Rusia -Ukrainamaupun soal konteks AS dan juga Bagaimana pengaruh atas Indonesia yang akan menggelar Pemilu 2024. Tokoh yang lahir di Jakarta pada 8 September 1963 menyampaikan ini kepada Redaksi saat diwawancara di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Berikut adalah wawancara Hendrajit dengan JAKARTASATU.COM
Kenapa China dan Iran memilih abstain saat sidang majelis Umum PBB dalam memutuskan bahwa Russia melancarkan agresi ke Ukraina?
Begini. Langkah yang ditempuh Iran dan China menurut saya secara taktis sangat jitu. China dan Iran itu kan sejatinya merupakan negara sahabat Rusia. Sebagai mitra strategis Rusia, Iran maupun China bagaimanapun memandang aksi militer Rusia ke Ukraina itu tetap saja kontroversial, mengundang pro dan kontra. Jadi jalan tengahnya ya abstain saja.
Pertimbangannya, kalau masuk dalam 135 negara yang mengutuk serangan Rusia, Iran dan China tidak mau masuk skema persekutuan dengan Amerika. Namun mendukung aksi militer Rusia ke Ukraina terlepas Iran dan China bisa mengerti alasannya, rasanya juga nggak pas karena bagaimanapun juga kedua negara tersebut tidak setuju dengan opsi militer. Maka keputusan taktis yang paling tepat ya bersikap abstain. Nah Indonesia harusnya mengambil sikap abstain seperti Iran dan China. Seruan Presiden Jokowi agar Rusia dan Ukraina menghentikan perang, sebenarnya sudah awal bagus. Karena seruan penggunaan kekuatan bersenjata kan memang sesuai piagam PBB. Tapi bukan berarti otomatis menyalahkan pihak yang menyerang duluan dan membela yang diserang.
Sebab bagaimanapun juga Ukraina sejak 2014 cenderung jadi proxy AS dan blok Barat. Sehingga tidak bijaksana kalau Indonesia merapatkan barisan dengan 135 negara yang mengutuk aksi militer Rusia. Pengalaman Indonesia dengan Timor-Leste maupun Papua yang selalu dirongrong Australia dan negara-negara yang berbasis etnik Melanesia sejak era Orde Baru hingga sekarang, sudah seharusnya kita punya empati pada Rusia terkait urusannya dengan Ukraina.
Maka itu, harusnya Indonesia bersikap abstain seperti halnya Iran dan China di Sidang Umum PBB beberapa bulan yang lalu. Apalagi kalau saya tidak salah, India yang pada dasarnya masih tetap berkomitmen dengan Inggris yang terikat dalam The Common Wealth, maupun Jerman yang notabene tergabung dalam NATO, juga bersikap abstain. Begitupul Turki yang juga masih NATO pun bersikap abstain.
Dalam merespons Strategi Indo-Pasifik yang dimotori AS untuk membendung pengaruh Cina yang kian meluas di Asia Pasifik, menurut anda apa Indonesia bakal ikut sepenuhnya ke dalam persekutuan Indo-Pasifik?
Nah ini juga menarik. Kalau mau jujur, yang mengkuatirkan AS dan blok Barat itu adalah keberhasilan evolusi geopolitik China. Bukan sekadar karena sekarang jadi negara adikuasa di bidang ekonomi.
Tapi China mampu membuktikan dirinya menjadi negara maju tanpa meniru model Barat. Itu kekuatiran pokok AS dan Eropa Barat yang saya istilahkan keberhasilan evolusi geopolitik China sekarang. Sebab kalau kisah sukses China ini ditiru negara-negara Asia lainnya, termasuk di Kawasan Asia Tenggara, AS dan Barat bakal nggak laku lagi promosinya selama ini bahwa suatu negara bakal maju kalau menganut liberalisme dan kapitalisme.
Karena China sudah membuktikan meski tetap sosialis bisa kok jadi negara maju. Asal para pemimpinnya kreatif, inovatif dan kritis. Di antara 10 negara ASEAN aja, ternyata beberapa diantaranya tertarik dengan model keberhasilan China. Seperti Kamboja, Laos dan Myanmar. Selain Indonesia, Thailand juga tertarik menjalin kerjasama dengan China. Apalagi dalam skema One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiatives (BRI), China mengaitkan kerjasama ekonomi dengan negara-negara Asia Tengah, Asia Tenggara maupun negara-negara di kawasan Afrika, dengan konektivitas geografis melalui paying Strategi Nasional China yang bernama Silk Road Maritime Initiatives, yang kemudian dituangkan ke dalam kebijakan luar negeri maupun kebijakan ekonomi. Skema China dalam membangun kerjasama ekonomi berbasis konektivitas geografis jalur sutra inilah yang juga mengkuatirkan AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat. Karena yang namanya Jalur Sutra itu, secara geografis membentang dari Xinjiang di China, terus mentok sampai laut mediterania di kawasan Eropa.
Nah jalur sutra itu ada beberapa lintasan seperti via utara yang melaju dari China lewat Asia Selatan dan Asia Tengah, terus ke Eropa. Ada yang via Barat lewat Asia Tengah ke Iran dan Irak yang masuk kawasan Asia Barat, dan ada yang via Selatan, yang melintasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan beberapa negara ASEAN. Sayangnya karena skema politik luar negeri kita tidak jelas, maka kita tidak secerdas Pakistan dan Iran memanfaatkan skema Silk Road Maritime Initiatives China atas dasar kerjasama saling menguntungkan dengan China. Sebab kalau kita jeli, dalam skema Silk Road Maritime Iniaitives tersebut, selain kerjasasama ekonomi, lewat konektivitas geografis ini juga membuka ke arah kerjasama di bidang diplomasi kebudayaan.
Lantas, apakah Indonesia akan sepenuhnya mendukung strategi Indo-Pasifik yang dimotori AS?
Saya kira sampai sekarang, kementerian luar negeri kita pun masih memandang konsep dan gagasan Indo-Pasifik sebagai wacana geopolitik yang harus dikaji dan jadi bahan pertimbangan. Tapi Indonesia belum memutuskan mendukung atau menolak. Apalagi kalau kita cermati, strategi Indo-Pasifik AS sarat dengan agenda untuk memecah belah persekutuan 10 negara ASEAN, dan memecah-belah 24 negara anggota forum kerjasama ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Apalagi di antara negara-negara anggota ASEAN maupun APEC, ada yang dulunya eks koloni AS seperti Filipina dan eks koloni Inggris seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
