Salamuddin Daeng, Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)/IST

Oleh : Salamuddin Daeng

Dalam berbagai kesempatan pemerintah hanya menyebutkan harga minyak dunia sebagai indikator dalam merumuskan kebijakan harga BBM dalam negeri. Jarang sekali menyebutkan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika. Padahal pengaruh nilai tukar sama besarnya dengan harga minyak.

Pemerintah harus terbuka dan tidak menutup nutupi masalah ini. Bahwa kegagalan BI dalam menjaga nilai tukar ikut andil dalam menekan anggaran negara dalam mengalokasikan subsidi bahan bakar minyak. Makin merosot nilai tukar rupiah terhadap dolar makin besar anggaran subsidi BBM yang diperlukan.

Sekarang nilai tukar rupiah terhadap USD terus merosot. Hal ini dikarenakan beberapa hal yakni :

1. Adanya tekanan peningkatan suku bunga global terutama kebijakan the Federal Reserve yang menaikkan suku bunga dalam menekan inflasi di USA.

2. Meningkatnya beban pembayaran luar negeri Indonesia sebagai bunga utang baik bunga utang pemerintah maupun swasta. Bunga utang pemerintah ke depan akan menjadi beban yang lebih dominan.

3. Adanya defisit didalam neraca transaksi berjalan akibat arus modal keluar lebih besar dari arus modal yang masuk ke dalam negeri. Penerimaan dolar pemerintah lebih besar dari dari pengeluarannya. Sekarang masih sedikit beruntung karena neraca perdagangan ditopang oleh ekspor komoditas.

Sikap tidak terus terang pemerintah bisa menyesatkan publik dan kalangan pengambil kebijakan sendiri terkait pengaturan secara detail tentang kebijakan subsidi dan kompensasi atas selisih harga BBM dengan harga keekonomiannya.

Hal ini berujung pada kesalahan dalam membuat kebijakan yang muaranya dapat merugikan operator yang diberi tugas dalam mendistribusikan BBM bersubsidi yakni Pertamina, juga bantu subsidi dan kompensasi yang harus diberikan kepada PLN sebagai operator listrik.

Kecenderungan flugtuasi dalam nilai tukar yang sangat dinamis saat ini harus diwaspadai oleh pemerintah dengan merumuskan besaran kompensasi dan subsidi BBM kepada pertamina. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pergantian kompensasi BBM seringkali hanya menjadi catatan piutang Pertamina karena tidak dibayar tepat waktu oleh pemeirntah, dan terlambat dua sampai tiga tahun.

Hal ini jangan sampai terkesan sebagai bentuk tindakan lepas tangan atau lepas tanggung jawab pemerintah Jokowi yang terindikasi akan mewariskan beban utang kepada pertamina pada pemerintahan yang akan terpilih 2024 nanti. Dengan demikian maka semua logika kebijakan yang diambil sekarang harus terbuka, transparan dan inclusive. (*)